-¦- -¦- -¦- 44 -¦- -¦- -¦-

7 2 0
                                    

Dari sekian banyaknya tempat, Bagas malah menumpahkan minuman dinginnya di sebelah pentolan sekolah. Jangankan Sultan dan Fikri, bahkan satu kelas juga tahu Bagas itu selain punya humor garing dan banyak omong dia juga ceroboh. Memang yang terakhir itu jarang terlihat tapi sekalinya muncul pasti langsung menjerumuskan dia ke jurang kematian.

"S--sorry, Yu! Sumpah nggak ada maksud!" ucap Bagas panik. Fikri dan Sultan di belakang mundur perlahan, meninggalkan Bagas atas urusan peliknya itu. Pura-pura tidak tahu padahal merekalah alasan Bagas tersandung. Dan menumpahkan sedikit minuman di celana Wahyu.

Wahyu melirik dengan tajam, tangannya sudah mengepal kencang karena celananya di bawah basah terkena tumpahan minuman. Bagas sebenarnya sudah mengikhlaskan diri, dia sudah siap merasakan hal yang sama seperti apa yang terjadi di kantin beberapa hari yang lalu. Tapi yang terjadi setelahnya, membuat Bagas tercengang.

"Nggak papa." kata Wahyu dengan nada santainya. Sibuk mengaduk mie ayamnya yang masih mengebul panas.

"T--tapi, Yu---"

"Nggak papa!" ulang Wahyu. Masih sibuk menikmati mie ayam di mangkoknya. Mengusir Bagas untuk enyah dari pandangannya. "Mendingan lo pergi, deh. Gue mau makan."

Tanpa babibu lagi, Bagas langsung kalang kabut. Walaupun sempat menabrak pelajar lainnya dia tetap pergi entah kemana. Tapi saat Wahyu masih terus menikmati makannya, temannya tidak begitu. Sadar ada hal berbeda dari komplotannya itu. Pendy melirik pada Akmal, sama-sama memandang bingung. Tapi juga sama-sama menaikan kedua bahu mereka. Sementara Rizal, dia mengeleng saat tahu dua orang itu mulai untuk menjahili Wahyu.

"Kayanya pentolan sekolah jadi baik, nih, hari ini. Boleh kali sekalian traktir." celetuk Akmal dengan tawa garingnya. "Ya, nggak, Pen?"

Pendy menganguk setuju. "Yoi. Gue liat-liat banyak duit lo hari ini. Beli mie ayam." sindirnya. "Dapet persenan dari babe lu?"

Lagi-lagi Rizal hanya diam, menggeleng pening. Biarkan saja mereka, dia tidak mau ikut-ikutan. Sejenak tidak ada respon, alasannya karena Wahyu masih sibuk menyeruput mie ayamnya. Baru setelah itu dia berkomentar. "Nggak usah ganguin gue. Gini-gini mood gue lagi nggak bagus."

Akmal melihat ke arah lain. Tapi Pendy jelas tidak berhenti. "Bercanda." katanya. Lalu kembali bicara. "Lagian mood lu jelek mulu perasaan."

Rizal mengikut Pendy untuk menegurnya tapi orang ini emang agak ngeyel. Wahyu sendiri tidak membalas apapun. Dia sibuk sendiri saja menghabiskan makanannya. Bersamaan itu dia melihat Fifi datang dari lorong, tapi arahnya dari lorong lapangan. Okay, memang jaraknya jauh dari tempat Wahyu. Tapi baginya gadis itu akan jadi pemandangan paling menarik sejauh apapun itu.

Fifi di sebelah sana keluar dari lorong, jalan memotong lewat lapangan basket. Kebetulan hari ini lapangan itu digunakan anak-anak basket yang sedang bermain sembari latihan. Gadis itu berjalan di pinggir mengabaikan anak-anak basket tapi belum setengah jalan langkahnya di hadang. Wahyu menarik salah satu alisnya karena penasaran siapa laki-laki itu. Dan begitu dia lihat lebih jelas, membuatnya menghela napas sebal.

Jelas saja itu Dewa. Siapa lagi memangnya yang bisa membuat Wahyu sejengkel itu?

Mereka agak berbincang sebentar tapi gadis itu tampaknya sudah kesal sejak awal jadi dia langsung melengos pergi meninggalkan Dewa yang memanggilnya di sana. Melihat pemandangan itu, agak membuat Wahyu senang sendiri. Merasa menang walau tidak ada persaingan apapun.

"Itulah, kalau nggak bisa menjauh. Jangan sok-sok menjauh." ledek Pendy. Wahyu melirik sensi. Tapi temanya yang satu ini terus bicara walau agak panik. "Kecuali lo selesaiin masalah lo secepat mungkin."

"Udah lo cari tahu siapa mereka?" tanya Wahyu ketus. Mencoba kabur dari topik barusan.

Akmal menganguk menyela. "Iksan, Gema, Abim sama Faisal. Mereka emang satu komplotan. Satu geng di 08." ungkapnya. "Lo udah tahu soal si Iksan, kan? Selain emang pengen ngerebut posisi si Rakha tujuan dia kayanya emang lo. Katanya si Faisal pernah di tolongin sama si Iksan, punya hutang budi sampai sekarang jadi pengikut setianya si Iksan. Kalau Abim gue rasa dia ada kesepakatan sama Iksan. Dia bantuin Iksan, Iksan bantuin Abim. Gue rasa si tentang tempat balap. Cuman kalau si Gema---" Akmal menggeleng. "--gue nggak tahu kenapa dia gabung sama mereka. Apa cuman ikut-ikutan doang?"

How To Get YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang