-¦- -¦- -¦- 50 -¦- -¦- -¦-

4 3 0
                                    

"Fi!"

Mendengar namanya dipanggil. Fifi menoleh ke asal suara. Ternyata yang memanggil adalah sahabatnya. Dari pintu kelas, Acha masuk ke dalam, menghampiri sahabatnya itu bahkan duduk di kursi depan yang tengah kosong.

"Tumben lo ke sini." sewot Fifi heran. "Bentar lagi padahal gue mau ke kelas lo."

Acha menaikan bahunya. "Iseng aja. Tadinya mau nungguin lo tapi keburu males lama-lama di kelas."

Fifi sibuk sendiri dengan balasan itu. "Lah? Kenapa?"

"Sepi." katanya. Acha melihat ke sekeliling kelas. Tidak heran dengan keadaan kelas Fifi yang tidak jauh berbeda dengan kelasnya. "Kelasan lo juga banyak yang nggak masuk, ya?"

Fifi mengangguk. "Hooh, lima belas orang kaga masuk."

Semua ini penyebabnya adalah karena penyerangan kemarin. Kabarnya si banyak yang menjadi korban dari serangan 08, bahkan Fifi dengar informasi dari grup kelasnya ada anak dari kelas lain yang sampai masuk ke rumah sakit karena terkena bacokan celurit. Untungnya selamat tapi dampaknya, hari ini sekolah jadi sepi. Mungkin setengah pelajar izin tidak masuk. Kebanyakan karena takut ada serangan lanjutan.

"Masih mending. Kelasan gue cuman sepuluh orang anjir yang masuk. Sepi banget." ungkapnya heboh. "Tapi ada enaknya juga si. Kelasan gue, kan, congornya banyak bacot. Jadi, hari ini agak tenang dikit."

Fifi tertawa geli. "Sendirinya juga banyak bacot. Lo kalau ngamuk, kan, suara lo menggelegar kaya toa." ledekan itu sempat membuat Acha berniat memberikan pukulan pada temannya itu tapi di tahan karena sama-sama saling tertawa. "Lo sendiri kenapa nggak ikutan izin? Lo kaga kena kemarin?"

"Untungnya nggak, kemarin gue pulang agak cepet. Kerja kelompok." kata Acha. Dia mengerutkan dahinya, curiga bukan main. "Kenapa lo nanya gitu, nggak seneng gue masuk, ya?"

Fifi terdiam sebentar, teringat kejadian panjang kemarin. Rasanya kemarin adalah hari terpanjang yang pernah dia lalui. Karena setelah dia pulang dari markas 08 pun, itu belum berakhir. Reza jadi diinterogasi oleh Ayah dan Ibunya soal luka yang dia dapatkan. Mungkin karena sudah tiga kali dia terluka saat bersama Reza. Pertama, tempat balap. Kedua, saat tangannya terkilir dan terakhir penyerangan kemarin. Sebagai orang tua jelas mereka khawatir. Mereka percaya pada sepupunya itu makanya mereka menanyakan alasannya. Awalnya menutupi tapi akhirnya membongkar semuanya termasuk penyerangan itu. Dan setelahnya, Reza jadi dapat omelan keras. Dan mengatakan tidak akan mengadukannya pada orang tuanya tapi dia didesak untuk Fifi menjadi tanggung jawabnya.

Reza hanya diam menurut tapi Fifi tahu sepupunya itu pasti ada rasa kesal, entah padanya yang menjadi beban juga pada masalah yang terjadi. Itu sebabnya dia tidak berkomentar apalun kemarim. Termasuk Reza yang diminta untuk mengantar jemputnya beberapa hari ini sampai keadaan membaik.

"Woi! Malah bengong." tegur Acha. Fifi menarik napas beratnya. Dia sedikit menggulung lengan seragamnya. Menunjukan perban di atas sikunya itu. Melihat itu jelas Acha panik. "Anjir, Fi? Lo kena?"

Gadis ith menggaruk ujung alisnya. Kebingungan bagaimana menjelaskannya. "Nggak, si. Ini cuman kegores aja. Cuman kalau diserang anak 08. Iya, gue kena.." katanya lelah. "Gilanya, gue malah kejebak ditengah-tengah mereka yang lagi pada tawuran."

Acha memekik tidak percaya. "Hah? Lo serius? Trus gimana?"

"Ya, untungnya nggak papa." Fifi menarik senyumannya, tertawa geli. "Ternyata seru juga kejebak ditengah tawuran."

Temannya itu memutar bola matanya malas. Sebal Fifi selalu menyepelekan kejadian berbahaya seperti itu. "Serius, elah."

"Ok, ok." katanya dengan gelak tawa. "Gue nggak papa. Untungnya kemarin satu metro sama Wahyu."

How To Get YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang