07

197 21 19
                                    

Florence Nursing Home

Langit gelap meski baru pukul lima petang. Tapi di dalam ruang tunggu yang didekorasi dengan norak, satu lampu meja bersinar terang, menerangi wajah pucat Wu Xie. Sementara rona keabuan memberi Madam Huo tampilan wajah seseorang yang sebentar lagi akan meninggal.

"Dia terlihat seperti baru bangkit dari kubur," katanya pada Pangzi.

"Tutup mulut sinismu," si gendut menggerutu, sedikit bergidik. Dalam hati sebenarnya ia setuju dengan ucapan Wu Xie, jika diteliti, ekspresi wanita lanjut usia itu cukup membuat siapa pun merinding.

"Kau yakin kita tidak keliru mengunjungi orang?" bisik Wu Xie lagi, pura-pura menggaruk lehernya, berpaling sedikit pada Pangzi.

"Tidak. Dan kalaupun kita keliru, kita sudah berada di sini. Manfaatkan waktu dan kesempatan."

"Aku tidak yakin." Wu Xie mencibir tipis.

"Jangan berlagak. Bayangkan saja pemuda tampan yang menciummu itu. Kau melakukan semua ini demi dia, bukan?"

Wu Xie berkedip cepat, secepat ingatan itu datang. Kata-kata Pangzi membuatnya berpikir lebih jernih. Dia putuskan untuk bersyukur saja. Tidak mudah bagi wartawan sepertinya yang bisa menemui seorang cenayang senior, itu pun setelah melalui banyak formalitas yang rumit dan menjengkelkan.

"Nah, kau saja yang mulai bicara padanya."
Wu Xie menyentuhkan bahunya pada bahu sang kawan.

Pangzi berdehem sekilas, mengamati wajah keriput Madam Huo. Sorot matanya nampak kosong.
"Selamat sore, Nyonya. Senang bisa bertemu dan bicara denganmu. Kami harap tidak mengganggu waktu santaimu yang berharga."

"Siapa kalian? Mengapa lagi-lagi ada banyak wajah asing di kamarku. Aku bisa gila," keluhnya dengan suara bergetar, dia mengulurkan tangannya ke arah dua pemuda. "Tolong suruh mereka pergi."

Pangzi terbengong-bengong, sementara Wu Xie mencengkeram lengannya.

"Mereka? Ah, Anda sudah keliru. Hanya ada kami di sini."

Mata kelabu Madam Huo melirik ke sudut kamar, ke pintu, dan satu titik tepat di belakang Wu Xie.

"Mereka ada di belakangmu," desisnya lelah dan bosan.

Wu Xie mulai gemetar. Perlahan dia menolehkan kepala ke belakang. Hanya ada dinding kosong.

"Tidak ada siapa pun selain kami," ia berkata dengan gayanya yang naif.

"Huh, mengapa kalian tidak bisa melihatnya. Semua sangat jelas dan mengerikan." Madam Huo bersikeras meski suaranya sudah gemetar hingga Pangzi khawatir dia akan kehabisan napas.

"Maaf, Nyonya, tapi kami hanya manusia biasa tanpa kemampuan lebih. Bukan cenayang seperti Anda," Pangzi menjelaskan sesopan mungkin. Dilihatnya wanita renta itu mengedip-ngedipkan mata, seakan mencoba mencerna penjelasan Pangzi. Kemudian ia berkata datar,

"Benarkah? Aku lupa kalau hanya aku yang berbeda."

Astaga, Wu Xie menggigit bibir gemas.

Wanita tua ini melelahkan. Di sisinya, Pangzi menghela napas panjang.

"Jadi apa tujuan kalian menemuiku?" tanya Madam Huo lagi, mencoba fokus pada wajah dua anak manusia yang terbengong kaku.

"Uhm, begini ... " Pangzi memikirkan beberapa kata pembuka, sedikit bingung hingga ia menyikut pinggang Wu Xie.

Terkejut oleh gerakan Pangzi, Wu Xie nyaris terlonjak dan mengatakan apa yang terlintas di benaknya saat ini.

"Kami ingin melihat arwah," ujarnya bersemangat.

𝐅𝐚𝐥𝐥𝐢𝐧𝐠 𝐈𝐧𝐭𝐨 𝐓𝐡𝐞 𝐃𝐚𝐫𝐤 (𝐏𝐢𝐧𝐠𝐱𝐢𝐞) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora