viii. out of the cage

55 3 0
                                    

Ayah dan ibu mencoba mengambil hati Audrey kembali. Berbagai kalimat manis dan lembut terlontar dari mulut mereka. Kata maaf selalu mereka sisipkan ketika mengakhiri sebuah penjelasan.

Audrey menanggapinya dengan senyuman yang hambar. Ia tak bisa dengan mudah melupakan semuanya.

Penjelasa-penjelasan yang mereka ajukan sangat klise dan malah terdengar konyol. Audrey masih kukuh dengan pikiran-pikirannya.

"Mungkin kau butuh adaptasi, sayang." Ucap ibu sambil membelai rambut Audrey

"Ayah tahu kau tidak bermaksud buruk. Ayah tahu kau adalah anak yang baik dan pandai." Tambah Ayah pula
Dalam batinnya Audrey ingin berteriak sambil tertawa gila mendengarnya. Mereka mungkin pikir Audrey adalah sebagian dari mereka.

"Kita sudahi saja ibu, ayah. Aku tidak ingin membahasnya."

"Ayah tahu kau akan berpikir lebih jernih lagi soal ini. Mulailah untuk bersikap sama seperti saudara-saudaramu yang lain. Kau hanya belum merasa diterima dan masih merasa asing."

"Nah, sekarang ibu yakin kau sudah paham apa yang terjadi. Para pendeta suci pastinya kau sudah mendengar khotbah mereka. Hanya saja kau belum terbiasa dengan hal-hal baru."

Senyuman ibu itu tidak lagi terlihat hangat. Ia sudah Audrey anggap sebagai wanita pelacur yang membawa-bawa nama agama untuk setiap nafsunya.

Untuk mempersingkat, Audrey hanya mengiyakan omongan mereka yang semuanya adalah sampah belaka. Sepenggal katapun tak ada yang masuk kedalam hatinya.

Sepanjang waktu Audrey habiskan dengan menyendiri. Bahkan jika akan makan bersama, ia memilih untuk diam tak mengeluarkan sepatah katapun.

Beberapa waktu lalu ia menemukan kembali Viviane tengah mengaduk-ngaduk isi lemari didapur mencari sesuatu persis seperti hari itu. Wajahnya cemas dan tidak tenang.

Kedatangan Audrey yang hendak mengambil segelas air itu membuatnya terperajat. Ia kaget setengah mati. Pelipisnya terlihat berkeringat.

"Kau mencari apa Viviane?"

Ia menggeleng lalu menelan ludahnya dengan kasar.

"Apa ada yang luka? Sini aku bantu mencari."

"Tidak perlu." Cegahnya sebelum Audrey mendekat lalu pergi meninggalkan lemari itu setelah dibereskan sekenanya saja.

Audrey tak jadi mengambil air. Ia memandangi punggung itu hingga hilang dari dapur.
Setelah itu Viviane menjadi sangat sensitif. Ia juga terlihat lebih pucat dari sebelumnya. Wajahnya sering berkeringat dengan mata yang selalu terlihat berair dan bening.

Jika mereka sedang berkumpul, ia sesekali akan berlari kekamar mandi. Viviane mengalami mual yang parah. Setiap saat ia akan merasa mual dan pusing pada kepalanya.

Ibu membawa seorang dokter kerumah dan barulah Audrey tahu bahwa Viviane sedang hamil.

Entah siapa yang menghamilinya, Audrey tidak tahu. Sejak kejadian-kejadian waktu lalu Audrey merasa kehamilan Viviane sudah pasti akan terjadi.

Audrey berpura-pura tidak terjadi sesuatu. Ia bersikap acuh seperti yang seharusnya ia lakukan.

Kandungan itu mereka biarkan. Bahkan sangat dielu-elukan. Hanya saja Viviane merasa tidak senang dan beranggapan bahwa itu adalah beban baginya. Belum lagi ia harus menentengnya kemanapun ia pergi.

"Dia adalah penerus." Ucap ayah seraya mengelus perut Viviane yang masih belum membesar.

Tanpa sepengetahuan mereka Viviane telah mencoba beberapa kali menenggak obat-obatan untuk menghancurkan janin itu tetapi rupanya akarnya terlalu kuat. Ia seperti mempunyai jangkar raksasa yang sangat susah untuk diangkat.

The Children of GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang