«11»

1.9K 102 2
                                    

Hari paling dikutuk sejuta umat telah kembali. Saemi rasanya ingin mengambil cuti lalu hibernasi - jika tak mengingat sebentar lagi tanggal muda datang. Meski rangka tubuh serasa diremukkan ulah aktivitas akhir pekan, ia teguh pergi berjuang. Ada manusia lain yang mesti ia hidupi dari hasil perjuangannya di kota ini. Mereka-bapak serta adiknya- di kampung.

"Selamat pagi, Pak Asta..." Saemi mengapeli sang pimpinan teladan di ruangan sambil membawa bahan rapat untuk rapat internal manajemen.

Sebagaimana biasanya, Asta membalas singkat. Masih betah menekuni komputer sebelum Saemi menyerahkan berkas yang ia bawa.

"Pak Asta ga capek?" sembari menunggu sang pimpinan mengecek, Saemi menyeletuk pertanyaan santai.

"Kenapa?" meski atensinya tertuju ke berkas, Asta sudi menanggapi.

"Aktivitas Pak Asta tinggi, tapi bisa ga telat ke kantor atau waktu janjian. Pasti pas sekolah Pak Asta ga pernah ngerasain dijemur di lapangan sambil hormat bendera, ya, kan?"

"Saya dididik seperti itu,"

Pantas, batin Saemi tak heran lagi. Asta memang layak dikatakan sebagai pimpinan. Biarpun irit bicara juga terkadang sekali berkecap - kalimat yang dikeluarkan - bikin Saemi ingin membalik meja.

Dirasa tidak ada yang perlu dikoreksi, Asta meloloskan berkas tersebut. "Minggu depan berarti Kamu pulang?" tanya sang pimpinan sebelum sang sekertaris pamit.

Saemi sontak mengangguk, "Memangnya ada apa, Pak?"

"Ya sudah," sebatas itu, Saemi pikir sang pimpinan akan melarang atau mencegah seperti sekenario drama yang muncul di otaknya. Si puan gendut ini memang mesti merehabilitasi otak agar tak menciptakan drama-drama romansa di dunia khayalinya. Dia terlalu jauh berangan, lupa jika sosok sang pimpinan adalah cinta yang tak bisa diraih.

Sudut bibir Asta berkedut kala sang sekertaris meninggalkan ruangan dengan bersungut-sungut, sambil sesekali melayangkan tatapan perang. Entah untuk alasan apa ia bertanya, hanya senang bila sang sekertaris bersikap begitu ketimbang bertingkah ajaib. Apalagi disertai senyuman mirip cengiran kuda.

Petang menjelang tapi Saemi masih terbenam di kantor. Apa itu pulang cepat? Saemi serta rekan-rekan lain belum menunjukkan tanda-tanda pulang. Justru kian menggelapnya langit mereka makin sibuk. Baru ketika waktu menunjuk angka 7, satu persatu dari mereka beranjak.

"Cari makan sekalian apa nanti, ya?" monolog Saemi seraya membereskan peralatan bertempur. Andai ia kenal robot kucing biru dari negeri sakura, ia akan minta dipinjamkan kekuatan teleportasi. Agar tidak perlu capai mengendarai motor untuk sampai indekos. Terkadang selain pekerjaaan, menghabiskan hari diperjalanan justru penyumbang kecapaian pada tubuh.

Saemi bertemu sang pimpinan di area parkir begitu keluar dari gedung. Sang kembaran ketujuh Chef Juno itu tampak menenteng bungkus plastik entah dari mana.

"Selamat malam, Pak Asta..." sebagai bawahan yang baik ia menyapa dulu sang pimpinan sekalian menuju mesin tunggangannya.

Alih-alih menyahut, Asta mengerahkan bungkusan plastik yang dibawanya kepada Saemi. Belum menerima, sang sekertaris menatapi bingung pengerahan sang pimpinan.

"Saya tadi makan dengan nasabah di warung tenda, dan ternyata penjualnya mengenal Saya." jelas Asta mengenai dari mana ia mendapat makanan tersebut.

"Kok buat Saya?" inilah yang justru Saemi ingin tanyakan. Ketimbang asal muasal, ia lebih penasaran alasan dibalik pemberian itu.

"Ya sudah," Asta hampir membatalkan pemberian tersebut dan hendak memberikan ke bagian pengamanan. Namun segera disambar oleh sang sekertaris.

"Terima kasih Pak Asta yang baik..." kata Saemi seramah dan sehalus mungkin, membaik-baiki sang pimpinan yang tampaknya akan merajuk. Mengesampingkan berbagai pertanyaan yang menyerbu benak. Saemi tidak ingin berlebihan, tapi ia jadi merasa spesial di mata sang pimpinan. Bolehkah Saemi merasa demikian?

"Pulang dengan hati-hati," pesan sang pimpinan sebelum memasuki mobil. Hal kecil tersebut berhasil membuat perasaan sang sekertaris menguntum. Duo kombo kebahagian menghampiri serentak. Datang makanan ketika bimbang harus membeli kapan. Serta ucapan bernada perhatian bagi ia si jomblo premium. Keluh capainya tadi serasa debu tertiup angin, ringan menghilang. Perjalanan melelahkan jadi penuh senyum sekarang.

Lampu-lampu yang berpijar menggantikan tugas sang rembulan jadi saksi, bagaimana bibir tipis kembaran ketujuh Chef Juno tak henti mengembang. Kedua sisi pipinya memanas, akan tetapi terasa hangat bagi perasaannya yang beku selama beberapa tahun pascaputus. Entah sejak kapan, ia tak menyadari telah memberi atensi lebih kepada sang sekertaris.

Mengelak, semakin ia sangkal perasaan tersebut kian berkembang. Organ-organ pada tubuhnya seakan bersekongkol mengejeknya, bila menepis perasaan aneh yang tumbuh seiring waktu tersebut. Memaksanya untuk mengakui saja bahwa ia...

"Apa yang Kamu pikirkan?!" Asta tersentak sadar dari pengembaraan benak, ketika mobilnya hampir menabrak mobil lain di depan. Beruntung, tak ada kendaraan lain yang mengikutinya dalam jarak dekat. Sang pimpinan menyudahi pengembaraan benak, ia menyetel radio agar tak ada celah kosong yang dapat disusupi bayang sang sekertaris.

"Gimana caranya mengagumimu tanpa rasa ingin memiliki, Pak Asta?" gumam Saemi yang saat ini tengah menyantap nasi gurih lele kremes pemberian sang pimpinan. Ia mendadak galau usai mengabsen atensi-atensi dari sang kembaran ketujuh Chef Juno. Membuatnya makin takut apabila perasaannya terus tumbuh untuk cinta yang sulit digapai.

Pertanyaan mengapa menyusup tak ada habisnya. Ibarat tenggelam satu mekar seribu. Sang puan gendut hanya tak ingin salah menyimpulkan sebagaimana pengalaman sebelumnya. Ia pernah menaruh harapan tinggi pada sebuah kebaikan dan perhatian seseorang. Meski pada penghujung cerita ... semua sekedar sangkanya saja.

Sialan! Saemi benci situasi penuh emosi ini!

"Gara-gara tanggal tua, nih!" tuding sang puan gendut menyalahkan pergantian hari bulan yang mendekati akhir. Apa itu galau? Kata galau perkara asmara tidak ada dalam formula hidupnya.

Saemi melahab cepat makan malamnya agar kegalauan segera sirna. Tumpukan pekerjaan lain sudah menanti di pelupuk mata. Tidak boleh ada penundaan jika tak ingin mengacaukan agenda seminggu ini. Berlalu, sang sekertaris Asta kini telah dibuai oleh bunga tidur.

››♣‹‹

"Kenapa?" sudah dua hari ini Asta mengamati sang sekertaris tampak lesu sambil sesekali memegangi area punggung bawahnya. Kendati demikian, sekalipun belum ia dengar keluh langsung dari si puan gendut.

Saemi menegakkan kepala yang semula menumpu meja. Gadis ini memilih tinggal saat rekan-rekan lain mencari makan siang. Menampilkan senyuman khas, Saemi lantas menyahuti tidak terjadi apa-apa pada sang pimpinan.

"Kamu seperti ini dari kemarin," Asta sampaikan hasil pengamatannya.

Meski memang raganya sedang sedikit bermasalah, Saemi masih sempat tersipu-sipu. Ia diperhatikan, mana mungkin ia tak bungah.

"Mau datang bulan mungkin, Pak." Saemi tak begitu yakin akan jawabannya sendiri, mengingat belum genap dua pekan ia menerima tamu dari bulan.

Asta mengangguk, hendak berlalu akan tetapi pupilnya menemukan sesuatu di bawah dagu sang sekertaris.

"Apa itu?"

"Huh?"

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Where stories live. Discover now