«26»

1.6K 108 8
                                    

Di tengah ramai para penggosip kantor membicarakan kencan atasan mereka, tampak seseorang terbeku. Mengikuti pembicaraan mereka hanya diawal, kemudian lebih banyak berkelana dalam benak.

Oh, jadi ini yang katanya mau ngajak jadi rekan hidup?

Saemi tahu hari seperti ini akan datang, tapi apakah harus secepat ini? Dia belum siap apa-apa. Belum merencanakan akan bersikap bagaimana ke depan terhadap sang pimpinan yang kini dikabarkan kencan. Memang berita ini belum terkonfirmasi benar, baru sekadar tebakan belaka. Spekulasi meluas akibat beredar cuplikan Asta makan bersama seorang puan muda, yang tak sengaja terekam oleh pengunjung di tempat sama.

"Mundur alon-alon kita, Saem..." lontar Trisna sebagai salah satu penggemar Asta sambil menyenggol lengan besar Saemi.

Saemi tersadar dari kelana benak, lantas mengangguki saja ucapan sang rekan kerja. Tentu tak lupa berakting seolah baik-baik saja.

Pergosipan mereka bubar dengan sendirinya seiring jam memasuki waktu kerja. Mereka berpencar ke kubikel masing-masing dan mulai bergelut. Begitupun Saemi. Ia langsung bergegas menuju ruang rapat, memastikan persiapan yang sempat tertunda oleh berita kencan sang pemimpin rapat.

"Selamat pagi, Pak Asta..."

Semua kompak menyapa Asta yang baru tiba dengan senyuman penuh arti dari beberpa pegawai perempuan. Pimpinan yang rajin tiba lebih awal itupun mengerutkan kening sambil menyauti sapaan mereka.

"Yang abis kencan auranya beda, ya, wak..." celetuk salah seorang di sebelah Trisna.

"Iya, wak. Sampek datangnya agak telatan dari biasanya," sambung Trisna sambil menahan cekikikan.

Ada yang aneh? Kening Asta setia mengkerut hingga ia sampai di singgasana. Membatini sikap para pegawai yang sedikit tidak biasa saat menyambutnya tadi.

Suara ketukan menormalkan kerut kening Asta, disusul kemudian oleh kemunculan sang penguasa hatinya. Saemi masuk, menyerahkan bahan-bahan rapat ke meja sang pimpinan.

"Kenapa dengan mereka?" Asta arahkan pupil ke arah luar ruangannya yang tertutup tirai.

Saemi mengikuti arah pandang Asta, memahami siapakah gerangan yang dimaksud.

"Mereka menyambut Saya dengan pandangan aneh tadi. Apakah ada yang salah dengan tampilan Saya hari ini, Saemi?" lanjut Asta seraya bangkit memperlihatkan penampilannya. Tidak jauh dari biasanya, menurut Asta.

Saemi memperhatikan bagaimana Asta sampai memutarkan badan untuk memastikan kesempurnaan tampilan.

"Perasaan Pak Asta aja mungkin," timpal Saemi. Ingin sekali ia berkata jujur, tapi ia belum siap menerima kenyataan. Hati mungil nan rapuhnya saja masih tergoncang oleh pergosipan baru lalu. Setidaknya besok, jangan sekarang. Saemi perlu menguatkan batin dan pikiran.

Asta mengangguk, mempercayai saja kalau sang penguasa hati yang bersabda.

"Kamu minggu ini berarti pulang, ya?" kata Asta mengganti tema pembicaraan. Menunda niat Saemi untuk undur diri kembali ke habitat.

"Iya, Pak." Saemi benarkan.

"Bagaimana kalau Saya-"

"Maaf, Pak. Saya mau manggil para manajer, waktu rapat hampir tiba." Sela Saemi mengurungkan perkataan Asta.

Sang kembaran ketujuh Chef Juno tak bisa berkutik, lantas ia persilakan sang sekertaris berlalu. Ia bisa meneruskan ucapannya nanti-nanti, masih ada waktu.

Saemi banyak bersyukur dewi keberuntungan memihaknya, memberi ia kesempatan untuk tidak berlama-lama di dekat Asta. Jujur saja, menghirup oksigen dalam satu ruang dengan sang pimpinan terasa menyakitkan bagi sang puan gendut. Seakan kenyataan terus menusuk-nusuk hingga tembus ke jantung.

Rapat diiringi hujan badai di luar sana baru saja ditutup Asta. Mereka membubarkan diri usai sang pimpinan memimpin jalan keluar. Saemi sebagai tangan kanan Asta pun mengekori.

"Saya ingin makan siang di luar," tutur Asta ketika tiba di ruangan.

Saemi hanya memberi respon gerakan kepala, selebihnya geming.

"Tapi sama Kamu," lanjutan Asta seketika menarik kepala Saemi untuk mendongak dari ketertundukan. Raut terkejut tak bisa Saemi tutupi mendengar pernyataan tersebut.

"Bagaimana jika makan malam saja?" Asta menilai kegemingan Saemi sebagai bentuk keberatan. Ia sadar masih jam kantor, otomatis anggapan orang akan aneh-aneh bila mereka hanya makan siang berdua apapun alasannya.

Saemi belum bersuara, memimbang harus mengiyakan atau tidak. Bukan masalah jika tak ingat permintaan Winarti tempo hari, juga kabar kencan sang pimpinan pagi tadi. Dia akan kegirangan kalau saja berita dan permintaan Winarti tidak datang bertubi-tubi. Kenapa waktunya harus sekarang?

"Saya anggap Kamu setuju," putus Asta sepihak, kontan Saemi menggeleng.

"Saya ada janji sama orang, Pak. Maaf ga bisa," kilah Saemi asal. Soal pembenaran dipikir nanti saja, biarkan sementara ia tipu sang pimpinan. Dia harus belajar bersikap tegas mulai detik ini. Jangan biarkan perasaan terus berkembang dan Asta makin bergerilya menunjukkan keseriusan.

Asta mengangguk sambil tersenyum kecut, tapi tidak lantas membuat ia patah semangat.

Saemi gegas meninggalkan ruangan sang pimpinan, merapal syukur lantaran sang kembaran ketujuh Chef Juno tidak memperpanjang perkara. Entah aktingnya yang mumpuni, atau ajakan itu sekadar ajakan semata tanpa makna. Saemi tak ingin ambil pusing.

"Halo, Mas?" saut Saemi mendapat telepon dari Dian begitu ia sampai di habitat.

"Bisa banget," sambungnya semangat begitu Dian menyampaikan ajakan keluar. Bak gayung bersambut, Saemi tidak perlu merasa berdosa telah membohongi Asta. Betapa Maha Baiknya Tuhan pada sang puan gendut yang sedang belajar menjauhi sang pimpinan.

Wajah Asta berubah keruh mengamati sang puan penguasa hati, tengah tersenyum sambil mengangguk semangat kala melakukan telepon entah dengan siapa. Ekspresi kebahagiaan terpancar jelas di wajah sang puan, tapi sama sekali tidak berkalu untuknya hari ini. Sepanjang pengamatan sang puan terus geming, berinteraksi sewajarnya, dan lebih banyak menghindar. Seakan sang puan tengah membangun tembok agar ia tak bisa menjangkau.

Kamu kenapa Saemi?

Asta menutup tirai ruangan, membatasi pandangan dirinya dan orang di luar. Memadamkan bara kecemburuan yang menyala-nyala bila terus memandangi kegiatan Saemi, bicara entah dengan siapa gerangan. Ia hanya berharap semua prasangka semata. Bisa saja Saemi tengah berbincang dengan sahabat atau saudaranya, kan?

Tidak, Asta tidak bisa sepositif itu sekarang. Semakin ia coba berbaik sangka, bayangan pria yang pernah ia lihat bersama Saemi kala itu terus melintas. Sang puan gendut pernah menceritakan terkait seniornya di kampus, yang sedang mengambil skripsi dan meminta bantuannya. Bisa saja semua itu hanya alibi, kan? Mana pernah tahu kalau senior itu punya maksud lain, semisal menyukai Saemi mungkin?

Sial!

Asta kesal bukan main dengan keliaran berpikirnya, sampai ia banting perangkat keras mirip tikus di genggaman. Saemi sukses mengacaukan ketenangan alam pikir dan batinnya. Membuat konsentrasinya pecah berserakan.

"Pak Asta mau makan di luar?"

Langkah Asta berhenti sejenak, sekadar menanggapi pertanyaan Saemi dengan anggukan. Dua pasang netra mereka sempat beradu, tapi lekas pula mereka berpaling. Sang pimpinan lanjut berlalu tanpa melontar sepatah kata. Sejujurnya ia marah dan cemburu, tapi tak ingin menunjukkan perasaan negatif tersebut pada sang puan penguasa hati. Maka dari itu ia memilih berlalu tanpa kata.

"Pasti mau kencan lagi," celetuk salah satu penggosip kantor menebak-nebak. Menimbulkan lagi rasa nyeri di hati puan gendut, yang sedang berupaya mengubur harapan-harapan lancang akan sang pimpinan.

Gitu tadi ngajakin makan malem...

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang