«30»

1.8K 105 9
                                    

Benar apa kata Dilan, rindu itu berat. Asta hampir tak sanggup melewati tiga hari tanpa sua dengan sang sekertaris. Ditambah, puan gendut sang penguasa hati seperti mengabaikan pesan di luar pekerjaan darinya. Entahlah, semoga saja hal itu hanya prasangka semata. Bisa saja mungkin Saemi tengah memprioritaskan waktu bersama keluarga. Ia tak boleh berlebihan.

"Silakan duduk," lontarnya pada seorang pria yang resmi hari ini menempati posisi kosong yang diisi sementara oleh Saemi.

Pria berperawakan tinggi tegap segera mengambil duduk di seberang Asta. Menyapa, memperkenalkan diri, kemudian berbincang sebentar sebelum kemunculan sang sekertaris di depan pintu menginterupsi mereka. Asta bersama pegawai baru lantas mengarahkan perhatian pada Saemi.

"Ada apa, Saemi?" ucap Asta.

"Maaf menyela, tapi peserta rapat sudah menunggu di ruangan, Pak." Sampai Saemi sopan. Berupaya senetral mungkin meski kewalahan menormalkan detak jantung. Bagaimana ingin normal sementara Asta menatapnya teduh dan lekat.

"Iya," sahut Asta membentang senyum seindah mungkin. Perasaannya dipenuhi kehangatan laksana mentari dimusim semi, begitu batang hidung sang sekertaris tepat di pelupuk mata. Kerinduan yang melanda lunas tuntas sudah.

"Oh iya, ini Gilang." Tak lupa Asta kenalkan pegawai baru tersebut pada sang sekertaris sembari menjelaskan terkait posisi keduanya.

Saemi menebar senyum, menyambut uluran tangan Gilang serta menyebutkan namanya.

"Selamat bergabung dengan kami, semoga betah, dan dapat membawa kemajuan bagi cabang." Asta sengaja segera memutus interaksi Gilang dan Saemi dengan bertutur sambil mengulur tangan menggantikan tangan sang sekertaris. Sebab ada yang membara di dalam dada sana bila jabatan tersebut tak lekas diputus.

"Siap, Pak." Gilang balas jabatan tangan sang pimpinan yang entah kenapa terasa agak sedikit erat. Mungkin sebagai bentuk semangat, pikir sang pegawai baru.

Sebelum melenggang ke ruang rapat, Asta menunjukkan tempat Gilang nanti bekerja. Gilang mengangguk paham, dan pergilah pimpinan serta sekertarisnya memulai rapat.

Rapat berjalan lancar dan berakhir pukul sebelas. Asta langsung melanjutkan agendanya bertemu nasabah di luar kantor. Sedang Saemi kembali ke kubikel. Ia menjatuhkan bokong ke kursi sambil mendesah lega. Kertas-kertas materi rapat masih dalam dekapan, ia diam sejenak merilekskan badan. Selama dua jam tadi ia berperang melawan perasaan pribadi agar tetap profesional menemani Asta. Susah, tapi sudah bulat keputusannya.

"Gimana, Mas? Mulai nyaman di sini? Udah kenalan juga, kan, sama yang lain?" Saemi menegur sang pegawai baru yang terlihat berkutat pada komputer.

Gilang menyengir lebar, "Baru beberapa, Mbak. Sejauh ini nyaman-nyaman saja," balasnya.

"Makanya abis makan siang, bawa Gilang keliling buat dikenalin. Sekalian ke keluarga Kamu juga gapapa, Saem." Celetuk Tejo.

"Apaan ih, Pak Te, nih!" sahut Saemi memasang wajah sok sebal. "Tapi boleh, sih, dicoba." sambungnya kemudian.

"Dah berpawang, Saem!" tegur Herlina yang diam-diam menyimak.

"Iya, Mas?" Saemi menghadap ke gilang mencari pembenaran.

Gilang dengan lugu mengangguk, "Baru lima bulan lalu kami menikah," ungkapnya sekalian memamerkan cincin kawin yang tersemat di jari manis.

"Yah ... sayang banget. Padahal kalo masih pacaran, mau Saya pepet Kamu, Mas." kelakar sang sekertaris gendut bikin siapa pun yang mendengar, geleng kepala sambil terkekeh.

"Jomblo premium ga usah macem-macem, Saem! Di luar sana yang jomblo masih banyak," timpal Trisna mengingatkan.

"Emang eakk?" balasnya bernada. "Bawa sini satu kalo gitu, biar Aku ga jomblo lagi." Malah makin-makin puan gendut yang satu ini.

"Jodoh tuh dicari, bukan didatengin. Emang paket olshop?" pegawai di samping Trisna - yang masih masuk jajaran penggosip kantor - ikut menyaut candaan tak terarah tersebut. Penyimak lain pun ikut tertawa menanggapi candaan.

"Kalo bisa sih gitu," imbuh Saemi bikin suasana terasa semakin mencair. Membantu Gilang beradaptasi dengan lingkungan barunya.

Waktu berputar cepat, mentari menyingsing ke barat tidak terasa. Saemi bersyukur harinya di kantor terasa lebih mudah dengan kesibukan Asta di luar kantor. Ia dapat menjadi dirinya sendiri, tak perlu berpura-pura profesional terutama ketika menghadap sang pimpinan. Meskipun tidak untuk hari esok, di mana ia banyak terkurung di ruangan sang kembaran ketujuh Chef Juno.

"Liburanmu menyenangkan?"

Lama bergeming Saemi pikir sang pimpinan tengah berpikir, tapi ternyata salah. Ia temukan Asta menatapnya lekat, ketika ia mengganti perhatian dari kertas ke sisi depan tempat sang pimpinan bertahta.

Saemi merespon dengan gerakan kepala, mengembalikan perhatian ke semula.

"Kabar Bapakmu sehat?" terus Asta ingin membangun obrolan.

Lagi-lagi Saemi beri anggukan. Meski bibirnya gatal ingin menyuarakan banyak kata, rela ia cegah.

"Boleh Saya pulang, Pak?" tutur Saemi merasa tak ada lagi yang perlu mereka bahas.

"Boleh,"

Saemi bangkit, tak lupa membungkuk rendah serta mengucapkan salam seperti biasa, kemudian balik kanan.

"Tunggu Saya!" interupsi sang pimpinan menghentikan langkah sang sekertaris yang telah sampai di depan pintu. Hanya tinggal memutar gagang dan keluar.

Buru-buru Asta sambar briefcase miliknya, menyusul Saemi mumpung sang sekertaris menjeda langkah.

"Kamu belum makan malam, kan? Bagaimana kalau-" omongan Asta terputus, Saemi menyelanya.

"Pak..."

Saemi hadapkan tubuh pada sang pimpinan, menatap serius pria dewasa yang tampak antusias entah karena apa. Asta balas menanatap, menanti kelanjutan ucapan Saemi dengan senyum tak pernah luntur.

"Boleh tidak, kita jangan sedekat ini? Saya tidak nyaman..."

Asta mengerutkan kening, belum paham akan ungkapan sang sekertaris. Indra pendengarannya mendadak mengalami gangguan fungsi.

"Boleh diulang?" pinta Asta merasa memang kupingnya gangguan.

"Kita jangan sedekat ini, Saya ga nyaman, Pak." Perjelas Saemi bikin peredaran darah sang pimpinan serasa membeku.

Asta menurunkan pandangan, menatap ke lantai sekejap lalu kembali menyelami manik kelam sang sekertaris. Mencari keseriusan di balik manik kelam tak bergetar itu. Sial! Memang tak ada kelakar di sana, sang puan bersungguh-sungguh akan ucapannya. Melenyapkan semangat menggebu-gebu Asta yang ingin mengajak sang puan makan malam bersama.

"Kamu tidak nyaman dengan kedekatan kita sekarang?" ulang Asta memastikan. Timbul harapan sang puan gendut penguasa hati tidak mengiyakan.

Sayang seribu sayang, harapan Asta tertolak oleh anggukan mantap sang sekertaris. Memaksa sang kembaran ketujuh Chef Juno menelan pil pahit.

"Saya permisi," pamit Saemi undur diri. Melenggang begitu saja bak tak punya prikemanusiaan telah mencampakkan seseorang yang sedang berjuang.

Asta bergeming, meratapi jejak kosong sang sekertaris.

Benarkah?

Bahkan setelah sekian menit berlalu, hati dan akal Asta belum berkenan menerima pernyataan sang sekertaris. Menyangkal dan terus bertanya mengapa demikian.

Kemarin Saemi baik-baik saja. Masih marah dan tertawa oleh tingkahnya. Mereka juga banyak mengukir kenangan manis di rumah Uti. Apa semua itu tidak berarti apa-apa?

Saya tidak nyaman,

Perkataan tersebut terulang memenuhi kepala Asta. Membangkitkan rasa perih dari luka kecil yang pernah tercipta bertahun silam.

Aku membuat orang tidak nyaman lagi?

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang