«16»

1.6K 97 14
                                    

Kecanggungan terasa kala kedua insan ini dipersatukan dalam satu atap mobil. Semenjak bertolak dari kantor lima menit yang lalu, percakapan sekalipun belum tercipta. Terkurung dalam ruangan sempit seperti sekarang mengingatkan Saemi akan tingkah memalukannya pagi tadi. Sementara sang pimpinan sendiri merasa ritme jantungnya berantakan berada dalam bentang pendek, mengakibatkan ia tiba-tiba kesulitan bicara.

"Keluargamu tidak masalah, Kamu tidak jadi pulang?" Asta coba mencairkan kebekuan setelah berdeham lirih.

"Bapak Saya bisa memaklumi, kok, Pak." jawab Saemi terpancing untuk sama-sama menghangatkan suasana.

Asta mengangguk, "Bapak Kamu berkegiatan apa di rumah?" bukan bermaksud lancang menanyakan ranah pribadi, tapi Asta merasa ingin mengenal latar belakang sang sekertaris yang telah mendampinginya setahun lebih.

"Dulu jualan martabak di dekat kota kecamatan, tapi semenjak habis kecelakaan beliau hanya merawat ayam." terang Saemi mendadak sedih terbayang rangkaian musibah yang datang bertubi-tubi menimpa keluarganya. Sang ayah mengalami kecelakaan motor lantaran terburu-buru mendengar kabar sang ibu kritis. Berlanjut sang ibu dinyatakan meninggal disaat sang ayah menjalani operasi patah tangan. Tahun itu, Tuhan seakan berurutan mencabut sumber-sumber kebahagian Saemi.

Asta menyadari perubahan suasana pada batin sang sekertaris yang menguar lewat gelagatnya. Bisa ia rasakan kesedihan melingkupi wajah sang puan gendut yang kini berpaling ke arah jendela.

"Boleh Saya nyalakan radio?" sang pimpinan bermasud mengalihkan kesedihan sang sekertaris agar tak berlarut-larut.

Saemi cuma mengangguk, rupanya ia masih menyelam ke dalam suasana kesedihan batin.

"Sahabat budaya, Festival Musik Pekan Gembira Ria yang dipromotori oleh Terkini Suara akan hadir menghibur masyarakat pada..."

Siaran iklan dari salah satu radio milik pemerintah mengudara membelah keheningan di antara Asta dan Saemi. Sedikitnya suara siaran itu dapat mengalihkan sementara mendung yang memayungi sang sekertaris.

"Kamu bisa mengganti kanalnya kalau mau, karena Saya tidak begitu gemar mendengar musik." Asta bersuara menarik atensi Saemi yang tampak melamun.

"Kanal ini gapapa, Pak. Kadang Saya dengerin siaran berita di radio kalo bosen sama musik-musik." tanggapan Saemi menyudahi acara melamunnya.

"Musik apa yang Kamu biasa putar?" pertanyaan berlanjut agar keheningan tak sempat menghinggap.

"Paling sering sih K-Pop, cuma kalo lagi bosen dangdut tentu aja. Apalagi kalo lagi galau, paling enak didangdutin, Pak." perlahan kecerian Saemi kembali, tampak dari bagaimana ia merespon pertanyaan Asta baru saja.

"Yeah, kata orang obatnya galau itu dangdut yang dibikin jedag-jedug." timpal Asta seketika disetujui oleh sang sekertaris.

Keheningan dalam mobil pun terpecahkan seiring obrolan sang pimpinan dan sang sekertaris yang merambah ke mana-mana. Sampai tidak dirasa mobil sampai di depan kediaman Asta. Si kembaran ketujuh Chef Juno itu memang berniat mengambil satu barang yang wajib ia bawa.

"Mau ikut ke dalam atau tunggu di sini?" lebih dulu Asta menawari barangkali sang sekertaris penasaran dengan huniannya.

"Di sini saja, Pak." pilih sang sekertaris merasa tak enak menyambangi rumah sang pimpinan. Dia ingat batasan walau telah melampauinya dibeberapa perkara, semisal saat ini. Di mana ada sekertaris ikut pulang sang pimpinan yang memiliki agenda keluarga serta menginap? Mungkin cuma Saemi seorang.

Asta mengerti, ia pun memasuki rumah. Tak berselang lama sang pimpinan kembali sambil membawa sebuah boneka. Sontak saja hal itu mengherankan bagi sang sekertaris.

"Pak Asta bawa boneka?" lontarannya penasaran. Kalau dilihat dari penampilan, terang saja boneka tersebut tidak layak diberikan sebagai kado. Selain itu juga Asta membawanya tanpa dibungkus atau diwadahi sesuatu. Lantas kenapa dibawa? Benak Saemi dipenuhi berbagai pertanyaan yang dijawab langsung oleh sang pembawa boneka.

"Ini boneka Saya," aku Asta bikin syok puan gendut di sampingnya. Siapa menduga seorang pimpinan berkarismatik dan berkarakter seperti Asta mempunyai benda semacam ini. Bukan melarang atau apa, tapi dari segi tampang dan pembawaan sungguh di luar nalar Saemi.

"Terlihat kekanak-kanakan, tapi Saya tidak bisa tidur tanpa boneka ini." Asta berterus terang tak ingin menutupi fakta yang ada. Entah kenapa pucuk hidungnya mendadak terasa gatal ingin dikecup -eh, garuk maksudnya.

Saemi tak mampu membedung senyum merekahnya. "Cute," ia menggumam tak sadar. Di kepala sedang terbayang sosok Asta yang menyebalkan berubah jadi sangat menggemaskan.

"Huh?" respon Asta cengo menangkap gumaman sang sekertaris.

"Gapapa, Pak. Setiap orang pasti punya sisi kekanak-kanakannya sendiri." alih Saemi malu gumamannya sampai ke telinga pihak sebelah.

Asta mengangguk kikuk, hampir kegirangan mendengar kata manis sang sekertaris meski ternyata sebatas salah tangkap. Mobil kembali digerakkan, perjalanan yang sesungguhnya dimulai.

"Kamu tidur saja kalau lelah, nanti Saya bangunkan begitu sampai." tutur Asta mendapati kepala Saemi terayun-ayun mengantuk. Mereka baru saja melintasi perbatasan kota dan kabupaten, memasuki kawasan hutan jati sepanjang mata memandang. Tak ada yang menarik, Saemi pun merasa jemu dan berakhir kantuk.

Sang sekertaris menggeleng, menegakkan tubuh berlagak masih segar. "Pak Asta nanti jadi ketularan ngantuk kalo Saya tidur," kilahnya padahal daya meleknya tinggal 1 watt.

"Mitos apa itu? Sudah, Kamu tidur saja sana!" instruksi sang pimpinan tegas.

Tidak membantah, Saemi yang memang daya meleknya menipis lantas taat. Mengatur posisi jok kemudian menyenderkan kepala dengan nyaman. Hanya dalam tempo singkat, dengkuran halus mengudara mengisi keheningan mobil. Mendengarnya, Asta leluasa membentang senyum tanpa perlu risau dipergoki.

"Tidur yang anteng, ya." lirih Asta membenarkan letak kepala Saemi yang condong ke jendela. Ia khawatir kepala sang puan terantuk kemudian mengganggu kedamaian tidurnya. Maka jangan heran ia rela menepikan mobil sekedar membenahi posisi tidur sang sekertaris. Asta kemudikan mobilnya, melanjutkan perjalanan yang kurang separuh lagi.

Suara dengkuran Saemi makin keras seiring waktu juga suara siaran radio lokal dampingi Asta menyetir. Kawasan hutan jati yang sepi pemukiman serta minim penerangan telah ditembus. Kerlap-kerlip penerangan kawasan ramai penduduk pun menyambut. Menyingkirkan atmosfer seram bak di film-film horor. Suasana terasa lebih hidup bila sudah menyaksikan manusia-manusia berseliweran sepanjang jalan.

Sungguh, bulu-bulu di sekitar tangan dan tengkuk sempat menegak ketika tak ada satupun kendaraan lain melintas bareng mereka. Ia memang tak bisa melihat bangsa tak kasat mata, tapi ia bisa merasakan eksistensi mereka dekat. Belum lagi tiba-tiba saja Saemi terkikik ditengah lelapnya.

Tuhan, kami hanya ingin melintas. Mohon lindungi kami...

Rapal Asta membatin seraya mencengkram kuat-kuat kemudi. Area pertelapakan kian dingin seirama detak jantungnya yang terpacu. Kikikan Saemi juga masih bergaung meski lirih berbaur suara siaran radio yang sengaja Asta perbesar volumenya. Benar-benar waktu yang sangat mencekam bagi sang pimpinan. Sedikit menyesal telah mengintruksikan sang sekertaris tidur selama perjalanan, karena sekarang ia serasa ikut uji nyali.












Tidak tahu saja bahwa kikikan itu ditengarai oleh mimpi sang sekertaris yang tengah menguyel-uyel gemas pipi Asta. Dalam mimpinya, sang pimpinan bertingkah bagai balita merajuk sambil memeluk boneka beruang kuning berbaju merah. Imut, mendorong Saemi untuk mengecup daging kenyal di kedua sisi wajah Asta. Untung dalam mimpi!

Pak Asta I Love You! «LENGKAP»Where stories live. Discover now