24

61 41 96
                                    

"Di situ kau rupanya."

Michael meraih batu di tanah, dan melemparnya ke danau. Ia tidak perlu menoleh untuk mengenali siapa pemilik suara feminin tersebut. Tetap saja, Michael tak menggubrisnya.

"Michael," panggil gadis itu.

Melirik ke belakang, Michael melihat Tavi memarkirkan sepeda kayuhnya. Ia segera mengalihkan pandangan ketika mata mereka bertemu.

"Michael." Tavi menghampiri pemuda itu. "Aku mencarimu ke mana-mana, kau tahu?"

Michael tidak membalas.

Tavi berhenti di samping Michael, berharap ia bisa membuat pemuda itu menoleh ke arahnya. "Michael." Ia menarik lengan kaos pemuda itu, meminta perhatiannya. "Ada apa denganmu? Apa aku berbuat salah?"

"Tidak," jawab Michael singkat.

"Bagaimana kau bisa sampai di sini? Danau ini terletak cukup jauh dari alun-alun. Apa seseorang mengantarmu?" tanya Tavi penasaran.

"Aku berjalan kaki." Michael melempar satu keping batu ke danau, dan berhasil membuatnya memantul di permukaan air dua kali sebelum akhirnya tenggelam. "Tidak sejauh itu kok."

Bibir Tavi terbuka, hendak memberi balasan, namun gadis itu menghentikan topik tersebut dan kembali pada pembicaraan sebelumnya.

"Di festival tadi siang, kau melihatku. Aku memanggilmu, tapi kau malah pergi. Kenapa?" desak Tavi.

"Aku hanya...." Michael menjeda ucapannya. "Merasa bosan dan tidak ingin berada di sana."

"Kenapa aku merasa bahwa kau sedang berbohong saat ini?" balas Tavi. Michael hanya mengangkat bahu. Jengah dengan sikap acuh pemuda itu, Tavi menarik kaos Michael, memaksa pemuda itu untuk menatapnya. "Apa yang kau sembunyikan dariku?"

"Bukan apa-apa, Tavi. Aku baik-baik saja," elak Michael.

Frustrasi dengan sikap Michael, Tavi mengembuskan napas keras-keras. "Michael," erangnya. "Beritahu aku apa masalahmu."

"Siapa laki-laki tadi?" cecar Michael tiba-tiba.

"Huh?"

"Aku... melihatmu bersama seorang laki-laki tadi."

Tavi mengerjap, mencerna kalimat itu untuk beberapa saat, sebelum akhirnya ia tertawa kecil. "Itu yang membuatmu merajuk?" godanya.

"Aku tidak merajuk, kok!"

Disisa tawanya, Tavi tersenyum lebar. "Dia sepupuku, Michael. Kau tidak perlu khawatir. Dia berlibur kemari setiap liburan musim panas."

Tavi memperhatikan pemuda itu. Michael terlihat ragu-ragu, tapi ia tahu kalau pemuda itu mempercayainya.

"Jadi dia bukan pacarmu?" tanya Michael, memastikan.

"Bukan," jawab Tavi dengan senyum terulas di wajah. "Kenapa kau cemburu dengannya? Apa kau menyukaiku?"

Michael terlihat membuka mulut, hendak mengelak pertanyaan itu, tapi ia memilih untuk membalikkan badan dan berjalan pergi. Tavi terkekeh geli melihat tingkah menggemaskan si pemuda.

"Michael, tunggu aku!"

ㅤㅤ
Dengan lengan melingkari pinggang Michael, Tavi memejamkan matanya seraya angin hangat musim panas berhembus ringan menerpa wajahnya. Setelah berhasil membujuk Michael untuk berhenti merajuk, Tavi berhasil mengajak pemuda itu untuk pulang bersama.

"Sepertinya aku harus meminta sepeda kayuh pada papaku," celetuk Michael. "Aku tidak ingin membiarkanmu pulang sendirian."

"Tidak apa," balas Tavi. "Tidak perlu. Aku lebih suka seperti ini." Berboncengan berdua dengan Michael, dengan dirinya di bangku belakang, terasa lebih menyenangkan.

Sepeda yang mereka tumpangi pun berhenti. Tavi membuka mata, menyadari bahwa mereka telah sampai di halaman rumah keluarga McAlister. Michael turun dari sepeda, membiarkan Tavi mengambil alih sepeda kayuhnya.

Michael menjaga sebelah tangannya di salah satu setir sepeda, seakan tak rela jika mereka berpisah. "Besok siang...." ia memulai. "Apa kau mau pergi ke festival bersamaku? Kita bisa berjalan-jalan dan menghabiskan waktu bersama."

Senyum Tavi mengembang atas ajakan pemuda itu. "Boleh," jawabnya. "Haruskah aku menjemputmu? Kita bisa pergi ke alun-alun menggunakan sepedaku."

Sudut bibir Michael berkedut. "Kedengarannya bagus. Aku akan menunggumu, kalau begitu."

"Oke!" Tavi memutar sepedanya. "Pukul sebelas siang, jangan lupa!" ia berseru.

.
.

Hari ini, Michael bangun lebih awal karena terlalu bersemangat hendak pergi berkencan dengan Tavi. Dengan langkah ringan, pemuda itu bersenandung rendah ketika keluar dari kamar mandi.

Ia kembali ke kamar, dan memeriksa pakaian bersih di ranselnya. Michael menuang isi tasnya ke kasur dan—

Tak!

Suara itu menarik perhatian Michael. Pemuda berambut ikal itu menoleh, melihat sebuah mini figur astronot yang terjatuh dari dalam tasnya, terselip di antara pakaian.

Ia memungut benda itu, dan memutarnya di tangan. Dahinya mengernyit ketika ia menyadari sebuah lampu berukuran super kecil di bagian telapak kaki mainan itu berpendar merah, berkelip-kelip per sekian detik.

Michael membawa benda itu sebagai pengingat, bahwa ia mempunyai rumah sesungguhnya. Rumah, di mana ibu, ayah, dan adiknya berada. Di Brooklyn.

Ia seratus persen yakin, dirinya tak pernah melihat ada lampu yang berpendar merah di telapak kaki mainan itu. Alisnya terlonjak ketika Michael mengingat sesuatu. Ia bercerita soal mainan figur astronot itu pada ayahnya.

Apakah ini salah satu rencana cadangannya?

Dirinya terlalu sibuk mencoba mendekati Tavi hingga lupa bahwa ia masih memiliki keluarga yang menunggu kepulangannya di Brooklyn. Kota ini bukan tempatnya.

Michael menyimpan kembali mini figur astronot itu ke dalam tas, dan segera bersiap-siap untuk menemui Tavi. Ia akan mengesampingkan keinginannya untuk kembali pulang. Setidaknya... itu bisa dipikirkan nanti. Ada seorang gadis cantik yang menunggunya. Saat ini, pergi berkencan dengan Tavi adalah hal yang lebih penting.

ㅤㅤ
Di sebuah gedung pencakar langit di New York, tepatnya di jalan Federal Plaza nomor 26, seorang pria berusia empat puluhan tersentak. Punggung pria itu menegap ketika komputernya berdenting dan sebuah notifikasi muncul di sana.

Ia adalah Marlo Suarez. Pria itu telah lama bekerja dengan FBI di cabang IT, juga merupakan salah satu kenalan Rafael Davis, ayah dari Michael.

Cepat-cepat, ia meraih ponsel dan mencari sebuah nomor di deretan kontak ponselnya. Sambil menahan ponsel ke salah satu telinga, sebelah tangannya yang bebas meraih mouse komputer dan menekan notifikasi tersebut.

"Halo?" seseorang menyapa di seberang panggilan.

"Rafael?" ia menyapa. "Aku baru saja mendapatkan sinyal dari GPS yang kutanam di mainan itu. Aku berhasil menemukannya."

"Kau menemukannya?" ulang Rafael seolah tak percaya. "Bagaimana bisa, setelah hampir dua minggu ini tak mendapatkan sinyal apa pun? Apa yang terjadi?"

Marlo membuka mulut, bersiap untuk menjelaskan, namun Rafael telah lebih dulu menyela ucapannya.

"Kau tahu? Aku tidak peduli," kata Rafael. "Sekarang beritahu aku. Di mana Michael berada?"

"Yang jelas, bukan di Washington DC.," ujar pria itu.

Rafael mengumpat. "Jadi yang dikatakan Dexter mengenai tujuan mereka itu sebuah kebohongan? Son of a goddamn devil. Pantas saja kita gagal mencarinya di sana. Di mana? Ke mana Dexter membawanya? Di mana putraku sekarang?"

"Dia berada di Lancaster, Pennsylvania," jawab Marlo.




TBC.

ㅤㅤ
Spam next yuk! See you on next chapter!

ㅤㅤ
[ 16th September, 2023 ]

Ghost Of The Past [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang