Canon (part 2)

24 5 0
                                    

SMA Bakti, beberapa bulan kemudian


BUKU-buku di tangan Vincent terlepas dan terjatuh ke atas meja.

Pagi itu, semester baru dimulai. Liburan berlalu dengan amat lambat bagi cowok itu. Vincent tidak bisa menunggu hari untuk kembali ke sekolah. Padahal dia biasanya begitu mendambakan liburan. Tetapi hari libur baginya saat ini terasa seperti siksaan. Karena itu membuatnya tidak bisa bertemu dengan one particular girl yang belakangan semakin menyita pikiran dan menit-menitnya.

Tapi mendengar kabar mengejutkan itu dari Riri di hari pertama kembali-ke-sekolah membuat Vincent syok setengah mati.

Lala pindah?

"She's what?" Vincent mengerjap tak percaya, masih tak percaya mendengar penjelasan yang disampaikan Riri barusan dengan raut terguncang. Riri tertunduk dan isakannya makin menjadi-jadi.

"Iya, Kak... Lala mau pindah ke luar negeri! Dia ngasih tau tiba-tiba banget! Dia bilang mau ke Berlin, orangtuanya diterima gabung di grup orkestra yang base-nya di sana untuk saat ini..."

Berlin?

Ocehan Riri tak lagi mampu tercerna oleh Vincent. Rasanya suara cewek itu makin lama makin samar di telinganya. Vincent mematung, tak mampu mencegah dirinya mengingat momen spesial di suatu malam liburannya, dan bertanya-tanya mengapa saat itu Lala tidak mengatakan apa-apa?

"H-halo?" Vincent mengangkat ponselnya cepat-cepat ketika menyadari nama 'Lala' terpampang di layar, malam itu.

"Hai Kak!" suara ceria Lala balas menyapa dari seberang. Sudah beberapa hari Vincent tidak mendengarkan cerocosan nyaring dari cewek itu, dan dia tidak pernah menyangka dirinya akan merindukan suaranya sedemikian hebat.

"Hei, La. Kenapa, tumben telepon?" Vincent berusaha mengatur detak jantungnya dan mendudukkan diri di pinggir ranjang kamarnya yang gelap.

"Mm, kamu tau toko CD deket sekolah yang tempo hari sempet ngadain diskon gede-gedean?" Lala bertanya.

"Yeah, why?"

"Ternyata hari ini hari terakhir tokonya beroperasi, Kak. Mulai besok bakal ditutup."

Jantung Vincent serasa mencelos ke perut. Pasalnya, itu adalah toko yang berarti baginya dan Lala. Mereka berdua sering berkunjung ke sana untuk membeli CD referensi untuk klub maupun sekadar ngobrol-ngobrol dengan pemiliknya.

"Kamu di sana sekarang?" tebak Vincent, yang disambut gumaman mengiyakan dari Lala.

"Iya, lagi ketemu Om Kiki pemiliknya..."

"Jangan ke mana-mana dulu," Vincent bangkit dan menyambar jaketnya, "Aku ke sana sekarang."

Ketika tiba di depan toko CD sekitar setengah jam kemudian dengan sepedanya, Vincent mendapati Lala tengah mengobrol seru dengan Om Kiki di depan toko yang memancarkan sinar kekuningan dari balik kaca-kaca jendelanya, menyinari jalanan yang sepi dan gelap dengan cahaya hangat. Keduanya tengah duduk di tempat duduk panjang depan jendela, Om Kiki menyesap kopi hitam sementara Lala menyesap minuman cokelat muda yang kelihatannya sejenis latte.

"Wah, ini dia yang baru aja digosipin!" Om Kiki melihatnya datang menuntun sepeda dan melambai-lambai antusias, "Sini duduk, Vin! Om beliin coffee latte buat kamu sama Lala."

"Thanks, Om." Vincent tersenyum seraya memarkir sepedanya. Om Kiki memberi isyarat agar Vincent duduk di sebelah Lala, yang dengan senang hati diturutinya, "Maaf aku baru denger infonya dari Lala..."

CanonWhere stories live. Discover now