Canon (part 3)

171 14 2
                                    

Berlin, lima tahun kemudian


"MOM, I've told you I'm fine."

Hari itu sangat terik.

Kacamata bulat tipis yang dikenakan si pemuda sampai melorot di hidung mancungnya yang berkeringat. Dia bolak-balik membetulkannya sambil berbicara melalui ponsel yang dijepit di antara pundak dan telinga. Satu tangannya sibuk berkutat membuka kunci pintu sebuah toko, sementara tangannya yang lain memeluk kantung belanjaan.

Pemuda itu berbicara dalam bahasa Inggris berlogat Amerika, mengundang beberapa lirikan dari pejalan kaki yang melintas di depan tokonya. Walaupun bukanlah suatu kejanggalan mendapati orang Amerika di Berlin, tetap saja sesekali pemuda itu melihat penduduk lokal yang memandangnya dengan tatapan ingin tahu akibat suaranya yang agak keras karena sedikit jengkel.

Ketika akhirnya pintu toko sukses dibuka, pemuda itu menghela napas lega dan menyerbu masuk, menutup pintu di belakangnya, meletakkan kantung belanja dan melempar kunci ke atas meja terdekat, lalu melepaskan jaket. Dia tidak menyangka cuacanya akan jadi sepanas ini. Kausnya banjir keringat, dan cerocosan bernada khawatir dari ibunya di seberang telepon sama sekali tidak membantu memperbaiki suasana hati si pemuda.

"Ya, bisnis berjalan lancar..." kata si pemuda, masih berbahasa Inggris. Dia menyisiri rambut kecokelatannya sambil menyalakan pendingin ruangan. Tak butuh waktu lama hingga udara sejuk mengaliri seluruh lantai dasar toko buku kecil itu. Si pemuda memeluk kantong belanjaannya dan mulai menaiki tangga menuju apartemennya di lantai tiga, "...dan aku mohon jangan suruh aku buat janji dengan psikiater atau sejenisnya. Itu hanya satu audisi. Kali berikutnya mungkin peruntunganku bakal berubah."

Setelah beberapa lama berusaha meyakinkan ibunya bahwa kondisi mentalnya baik-baik saja, pemuda itu akhirnya memutuskan sambungan telepon. Kemudian dia mulai melakukan kalkulasi rencana kegiatan satu hari ini di dalam kepalanya.

Satu jam lagi adalah waktu toko buka, dia masih harus merapikan tumpukan buku baru di lantai dua dan mendata sisa daftar pinjaman ke dalam komputer. Lalu dia bisa menyantap sarapannya sembari duduk di balik konter jaga. Kemudian selama toko buka, dia akan melakukan riset internet untuk audisi penerimaan pianis baru di orkestra-orkestra terdekat. Lalu makan siang. Lalu lanjut bekerja. Kemudian jika pengunjung tidak terlalu banyak, dia bisa menutup toko buku lebih awal, naik untuk membereskan apartemennya dan mendekam di sudut favoritnya hingga makan malam untuk menyelesaikan aransemen baru.

Tetapi seluruh perencanaan itu buyar ketika ponselnya berdenting.

Pemuda itu membuka chatroom tempat pesan baru bermuara. Itu adalah sebuah pengumuman dari teman Indonesianya yang juga sama-sama tinggal di Berlin. Di pesan itu, tertulis sebuah alamat dan di bawahnya berbunyi:

Buruan ke sini 
Konduktor gw lagi cari pianis
SEKARANG
[shared a location]

Dia langsung menyurukkan seluruh belanjaannya ke dalam kulkas, menyambar jaket, menuruni tangga dengan grabak-grubuk dan keluar dari apartemennya.

Pemuda itu sukses menuju lokasi dengan bantuan GPS, dan mendapati bahwa alamat tersebut menuntunnya pada sebuah bangunan teater tua dan kecil. Pemandangan itu nyaris komikal, keberadaan teater lusuh yang diapit dua buah gedung besar dan modern, seolah disempilkan seseorang dari masa lalu tanpa memedulikan letak atau estetikanya.

Menelan ludah, pemuda itu membetulkan posisi kacamatanya yang lagi-lagi turun dan melangkah memasuki teater.

Setibanya di dalam, seorang wanita Jerman yang nampak berjalan terburu-buru di lobi terhenti ketika melihatnya masuk.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 06, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

CanonWhere stories live. Discover now