30

7.7K 483 7
                                    

Mereka tiba malam di Niskalawi.

Ella menoleh pada Daffin yang tertidur di bahunya. "Daffin, jita sudah sampai." ucap Ella lembut seraya menepuk pipi pria itu.

"Mmh?" Daffin membuka matanya. Dia menoleh ke luar kaca bus.

Beberapa orang yang memang ingin berkunjung ke sana sudah mulai berturunan. Rumah sakit W memberikan tumpangan gratis bagi mereka.

Daffin mengencangkan pelukannya dan kembali bersandar di bahu istrinya. "Aku mengantuk. Dimana kamar kita?" tanyanya.

"Kamar kita? Aku akan tidur bersama dokter Vero, dan kamu bisa tidur bersama Farel. Sekarang lepaskan!"

Daffin menatap istrinya. "Tidur terpisah? Aku tidak mau," ucap Daffin tidak terima.

Vero yang melewati mereka dari kursi belakang langsung menutup mulutnya menahan senyum, mereka selalu saja terlihat romantis.

"Dokter Vero, tunggu!" panggil Ella melepaskan pelukan Daffin dan ikut turun.

Mereka senang dengan sambutan hangat kepala desa dan istrinya.

Daffin yang baru keluar memasukkan tangannya ke saku dan memutar pelan tubuhnya untuk melihat sekitar, kemudian menghampiri mereka.

"Anda terlihat baru." ucap kepala desa Niskalawi.

"Benar, aku Daffin William. Aku penasaran kenapa istriku bersikeras datang ke sini, ternyata Niskalawi indah dan asri." ujar Daffin menyalami mereka.

"Istri?" tanya kepala desa itu ramah.

"Dia istriku." jawab Daffin melirik Ella.

"Ohh! Aku mengerti. Istrimu dan rekan-rekannya memberi kesan yang baik bagi warga disini. Tapi mari kita masuk dulu, kalian pasti kelelahan." ujar kepala desa itu.

Mereka pun masuk.

Ella yang baru siap membersihkan dirinya melihat rekan-rekannya mengobrol bersama kepala desa dan panitia pariwisata yang mereka bentuk saat ke sana dulu. Sudah pukul sebelas malam dan mereka masih asik mengobrol.

"Mari saya bantu, bu." ucap Ella saat istri kepala desa itu membawa bekas minum mereka. Wanita itu mengangguk ramah dan menerima bantuan Ella.

"Bagaimana dengan pondok bacanya, bu? Apa berjalan lancar?" tanya Ella sembari membantunya mencuci gelas-gelas itu.

"Anak-anak sangat suka menghabiskan waktu di sana, mereka bermain dan membaca buku bersama. Tapi ada beberapa anak nakal yang mengganggu dengan mengacak-acak pondok baca itu." ujar wanita itu.

"Kenakalan itu wajar Bu, dulu saya juga anak yang nakal. Eh, jadi dokter!" Kekeh Ella.

Istri kepala desa itu tertawa kecil.

"Baiklah, mari kita bergabung dengan yang lain. Maaf jika rumah kami tidak punya cukup kamar, kamu jadi tidur terpisah dari suamimu."

"Tidak apa-apa, bu. Apa anak-anak ibu sudah tidur? Aku tidak melihat mereka mulai sedari tadi." kata Ella.

"Si kakak sedang di rumah neneknya, adiknya sudah tidur di kamar." jawabnya.

Setelah membicarakan banyak hal, mereka pun mengistirahatkan diri.

Ella menatap langit-langit kamar sejak dua jam yang lalu. Dia benar-benar tidak bisa tidur.

"Aku harus bangun cepat besok agar bisa menemui nenek Arumi." gumamnya.

Benar jika hawa Daffin langsung menyapu bersih sekitarnya. Hantu-hantu itu melebur dan menatap marah Daffin dari jarak yang sangat jauh saat mereka baru tiba. Mereka menganggap hawa pria itu sebagai ancaman.

--o0o--

"Di mana Ella?" tanya Daffin pada Farel yang sedang mengobrol di teras luar. Dia biasanya bangun tepat waktu, tapi suasana dan hawa asri desa itu membuat tidurnya sangat nyenyak.

"Sudah pergi ke balai desa, dok. Ella bersama dengan dokter Vero, dia tidak sendiri." jawab Farel.

"Kamu sangat khawatir padanya. Dokter Ella orang yang hebat dan pemberani." ujar kepala desa itu.

"Itu masalah, pak. Dia terlalu pemberani dan sangat keras kepala." Daffin duduk bersama mereka.

Sementara itu Ella masih sibuk bersama Vero dan pengurus desa lainnya.

"Kita akan pulang nanti siang, bisakah aku izin sebentar menemui Arumi dan keluarganya?" tanya Ella pada Vero.

"Tentu saja." jawab Vero mengangguk.

"Dokter Ella, emm.. maaf harus mengatakan ini." Seorang pengurus desa itu tidak melanjutkan perkataannya.

Ella menatap lelaki itu. "Ada apa?"

"Anak yang dokter Ella tolong di hutan sudah meninggal dunia lusa lalu." ucapnya.

"A-apa? Kenapa?" tanya Ella tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.

"Dia mengidap penyakit kanker otak. Keluarganya sudah membawanya ke rumah sakit terdekat dan dia sudah tidak terselamatkan." jelas wanita itu.

Ella menunduk lemah penuh duka.

"Tidak apa-apa, nak. Jangan sedih begitu, ini bukan salah siapapun. Hidup dan mati adalah misteri." ujar Vero menepuk bahu Ella.

Ella mengangguk dan akhirnya pamit keluar.

"Arumi!" panggilnya saat anak kecil yang dia kenali itu lewat dari balai desa.

"Kak Ella!" Arumi berlari dan langsung memeluk Ella dengan erat.

"Kakak berkunjung? Aku sangat senang melihat kak Ella datang lagi!" ucapnya sangat bersemangat.

"Mm! Tapi kakak akan langsung pulang siang nanti." balas Ella.

"Begitu ya? Kalau begitu ayo berkunjung ke rumahku!" ajak Arumi.

"Tentu saja! Kakak ingin menjumpai nenek juga." jawab Ella dan menggandeng tangan anak itu.

Tibalah mereka di rumah Arumi.

"Nenek! Kakek!" panggil Arumi.

Ella duduk di kursi luar dan menatap rumah sederhana yang asri dan bersih itu.

"Halo nek, selamat siang." sapa Ella pada nenek Arumi yang keluar.

"Siang. Apa kalian berkunjung lagi?" tanya wanita tua itu ramah.

"Sebenarnya aku dan tiga orang lainnya datang untuk mengurus sesuatu dan langsung pulang nanti siang. Aku sengaja datang untuk menanyakan sesuatu pada nenek." jawab Ella.

"Tidak usah repot-repot, kakek. Astaga, aku membuat kalian repot," ucap Ella pada kakek Arumi yang datang membawa secangkir teh.

"Tidak apa-apa, nak. Minumlah," ucap kakek itu ramah dan kembali masuk.

"Ingin menanyakan apa?" tanya nenek Arumi.

"Mm... apa nenek pernah melihat seseorang dengan kabut kuning yang selalu melindungi tubuhnya? Kabut yang seolah-olah menjadi tameng dan hawanya sangat mencekam?" tanya Ella.

Nenek itu mengerutkan keningnya.

"Seseorang seperti dia membuat ku kehilangan kesadaran saat aku menyentuhnya. Tapi aku tidak mengerti kenapa kemarin aku bisa menyentuhnya tanpa cincin ini." lanjut Ella.

"Siapa yang kamu maksud?" tanya nenek Arumi.

"Suamiku sendiri." jawab Ella membuat nenek Arumi tertawa.

Close Your Eyes Where stories live. Discover now