Babak 3 - Bitter Coffee

2.8K 401 27
                                    

Nanti malam Ella berulang tahun. Dia genap berusia 30 tahun.

"Bye bye my 20s," Ella bergumam di ruangannya sambil melihat kalender dan memutar jari di atas tanggal 25.

Biasanya Ella bahagia saat berulang tahun. Tapi tahun ini terasa berbeda. Usianya bukan lagi kepala dua, melainkan kepala tiga. Usia kepala tiga entah kenapa memberikan efek 'mengerikan' yang tidak bisa Ella jelaskan. Belum lagi dia semakin dekat dengan amanah baru yang akan diembannya. Tanggung jawab besar menantinya, pola pikirnya harus berubah, mau tak mau Ella harus semakin dewasa. Ella yakin bukan hanya dirinya yang merasa dan berpikir seperti ini ketika memasuki usia 30.

Tahun ini juga Ella tidak merencanakan atau menunggu pesta apapun. Ella tidak mengajak teman-temannya bertemu, tidak pula akan ada kejutan dari warga desa untuknya. Mungkin hanya akan ada makan malam besok dengan ibu, kakak-kakak, dan keponakannya. Mungkin itu lebih cocok dengan semakin bertambahnya usia. Atau mungkin memang Ella sedang ingin sederhana saja. Siapa tahu malah di usia 50 tahun nanti Ella mau mengadakan pesta besar-besaran kan?!

Belum lagi malam ini Ella mau melembur karena tidak mau membawa pekerjaan ke rumah di akhir pekan DAN di hari ulang tahunnya. Asistennya sudah menyediakan makan malam dan bersedia menemani hingga Ella pulang. Tapi sekilas Ella berpikir ini seperti membuatnya harus berada di ruangan tanpa boleh keluar sebelum menyelesaikan tugas.

Ella tertawa sendiri. "Boleh dong keluar bentar."

Ella pun mengambil ponsel dan dompet, lalu keluar dari ruangan.

"Ada yang diperlukan, Mbak?"

Asistennya berdiri mendadak. Pertama kali dikenalkan, dia memanggil Ibu, tapi Ella menolak mentah-mentah dengan alasan dia masih muda. Akhirnya dengan sedikit paksaan, dia bersedia memanggil Mbak.

"Aku mau beli kopi dulu ke bawah sekalian cari angin dan gerak badan. Gak usah ikut." Ella mengangkat tangan karena asistennya seperti mau bergerak. "Tapi kamu mau apa?"

"Eh?" Dia bingung.

"Caramel Macchiato? Latte? Americano?"

Asistennya tersipu, kaget karena ditawari oleh bos besar untuk dibelikan kopi. Lebih kaget lagi karena dia sendiri yang turun langsung untuk membelinya. "Samakan dengan Mbak Ella saja."

"Oke. Tunggu ya," Ella pun melambai lalu segera memasuki lift.

Ekspresinya pasti muram, terlihat di cermin di dalam lift. Ella berusaha tersenyum tapi tidak ada perubahan, malah terlihat mengerikan. Jadi Ella tidak mengubah ekspresinya dan membuatnya terlihat murung. Tidak selalu kita harus memasang wajah bahagia kan. Apalagi ketika tidak ada siapa-siapa.

Selagi berjalan menuju Starbucks, Ella sama sekali tidak menyadari sekelilingnya. Tidak melihat siapa yang mengikutinya dua langkah di belakang. ID card-nya diputar-putar liar di tangan.

"Nanti kena orang." Seseorang berkata.

"Eh?" Ella berhenti berjalan, menahan ID Card lalu memasukannya ke saku. Dia pun menoleh ke belakang.

Ezra lah yang menegurnya barusan. Tetap terlihat klimis dan dingin. Jasnya sedang tidak dipakai. Lengan kemeja hitamnya digulung seperempat.

"Berbahaya." Tambah Ezra lagi.

"Eh. Iya, maaf." Dalam hati Ella, malah penampilan Ezra yang tetap segar dan tampan inilah yang sebenarnya berbahaya. Ella jadi ingin tahu apakah rekan kerja Ezra banyak yang menyukainya.

Ezra mengangguk, melangkah melewati Ella. Siapa sangka tujuan mereka sama? Sepertinya Ezra juga sedang lembur dan butuh asupan kafein. Ella mempercepat langkahnya untuk menghampiri Ezra. Waktunya tepat. Ezra masih menyebutkan pesanannya.

"Tambah dua Cafe Latte Grande, normal semua. Payment is on me." Ella mengacungkan aplikasi yang sudah dia unduh setelah 'insiden' dulu terjadi.

"Saya bisa..."

"Nggak," Ella menyela sebelum Ezra bisa menolak. "Kamu traktir aku makan siang kemarin. Let me turn your favor."

Sepertinya harga diri Ezra menolak dan dia masih akan membantah. Tapi Ella berkacak pinggang dan ekspresinya memelas. Akhirnya Ezra pun menyetujuinya, mundur agar memberi ruang Ella untuk bertransaksi. Dia menunggu di salah satu kursi.

Ketika pembayaran selesai namun masih harus menunggu pesanan, Ella menghampiri Ezra. Kali ini tak meminta izin untuk duduk di depannya.

"Lembur?" Tanya Ella.

"Ya. Kamu?"

"Iya."

"Tough days?" Ezra bertanya.

"Hmm, not really. Kenapa?"

Ezra diam sedetik. Lalu menunjuk wajah dan kerah baju. Ella tak mengerti.

"Ekspresiku?" Ella menebak.

Ezra mengangguk.

"Dan?" Ella menarik kerah kemejanya, melirik. "Oh my."

Ada noda merah di sana. Pasti peninggalan makan siangnya yang tidak dia sadari. Segera Ella mengelapnya tapi noda itu terlanjur mengering.

"Ih kayak nggak punya manner," Ella menggumam sebal.

Bukannya menanggapi, Ezra malah berdiri meninggalkan Ella. Ella pun berbalik, melihat Ezra rupanya menghampiri konter untuk memesan entah apa. Ketika kembali, Ezra mengulurkan sebuah Caramel Stroopwafel dengan Post It di atasnya.

Don't let a stain take away the fun.

Ella melongo. Belum sempat dia mengucapkan terima kasih, Ezra sudah pergi lagi untuk mengambil pesanan mereka. Dia meletakkan dua latte di meja dan membawa miliknya sendiri di tangan.

"Duluan," katanya lagi dan kembali melangkah lebih dulu.

Kali ini Ella tak mengejar, sengaja memperhatikan sosok Ezra berjalan menjauh. Bibirnya pelan-pelan membentuk senyuman.

"Thank you. I feel better now. And I'll take this as early birthday gift." Ella bicara sendirian karena Ezra pasti tak bisa mendengarnya.

Lembur malam ini jadi terasa lebih baik.

***

Dih diginiin siapa yang nggak baper dong hahaha

Bismillah, mulai pekan ini, She's The Boss update 2x seminggu!

-Amy 

(S)He's The Boss! (END - WATTPAD)Where stories live. Discover now