Babak 15 - Self Improvement

2.2K 372 17
                                    

"Gimana?" Ella bergegas menghampiri Ezra saat Ezra keluar dari perpustakaan dan menutup pintu. "Mama nggak keluar?"

"Ibu Grace masih mau di dalam," Ezra meraih tangan Ella, mengajaknya menjauhi perpustakaan.

"Hasil obrolan kamu sama Mama gimana?"

"La, ini sudah malam. Kita bisa bicara lagi besok? Kita juga punya banyak hal yang harus dibahas selain hasil obrolanku dengan mamamu."

"Tapi setidaknya kamu bisa cerita dulu gimana tanggapan Mama?" Ella sesungguhnya tak sabar dan takut. Takut Grace tak mengizinkannya berhubungan dengan Ella.

Kali ini, Ezra tersenyum. "Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Besok aku cerita detailnya, oke? Sekarang kamu beristirahat."

"Ezraaaa..." Ella mengerang. Benar-benar tidak puas.

"Kita akan baik-baik saja." Ezra memegang pundak Ella, mencium keningnya, diikuti mencium bibirnya. "Aku pulang dulu. Besok kita bertemu lagi."

Ella malah manyun. Namun merajuknya Ella tak membuat Ezra luluh. Dia sudah melangkah ke teras.

"Besok kita ketemu kapan? Malam?"

"Ya. Mungkin aku akan rapat hingga sore."

"Aku juga mungkin nggak akan di kantor seharian. Kita bertemu waktu makan malam, tempat terserah aku?"

"Ya. Boleh."

Mereka sudah sampai di teras, tidak jauh dari tempat mobil Ezra diparkir.

"Aku pulang dulu. Kita bertemu besok."

Ella mengangguk tapi masih cemberut karena belum mendengar hasil pembicaraannya dengan Grace.

"Jangan khawatir." Ezra memeluk Ella. Gadis itu pun pasrah, jatuh ke pelukan Ezra. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Ella akhirnya mengangguk. Kalau Ezra bicara begitu, Ella harus percaya. "Ya sudah. Hati-hati di jalannya. Kabari aku kalau sudah sampai di apartemen."

"Ya." Ezra melepaskan pelukan, bermaksud menjauh. Gerakannya tertahan oleh Ella yang menarik kerahnya dan memberikan sebuah ciuman. Untuk beberapa saat, Ezra bertahan untuk mencium Ella.

"Good night." Ezra berpamitan, masuk ke mobil.

"Mimpiin aku ya!" Ella melambai.

Ezra tersenyum. "Always."

***

Kali ini, Ezra mengundang Ella untuk hadir ke apartemennya. Malu-malu Ella melangkah masuk ke apartemen tempat Ezra tinggal ini. Sekilas Ella memperhatikan isi apartemen, tapi tidak mau terlihat terlalu menilai. Ezra mengajaknya ke meja makan dan saat itulah Ella berhenti memperhatikan.

Ezra sudah menyediakan sushi platter untuk makan malam mereka. Ella melihat sushi-sushi mungil itu dengan mata berbinar. Air liurnya hampir menetes.

"Ini," Ezra menyerahkan piring kecil, sumpit, wasabi, shoyu, dan bubuk cabai bagian Ella. Dia juga menyediakan untuk dirinya sendiri. Setelah itu Ezra melesat ke lemari, mengambil gelas dan mengisinya dengan ocha, lalu meletakannya di depan Ella dan di depan dirinya.

"Kamu nggak usah repot-repot."

"It's okay. Aku tuan rumahnya. Makan, La."

Ella pun makan. Mengunyah sushi yang lezat selagi melihat wajah tampan Ezra. Padahal dalam dirinya masih ada rasa penasaran tentang hasil obrolan Ezra dan ibunya, juga dampaknya ke masa depan mereka. Tadi malam dan tadi pagi, Grace juga tak membicarakan Ezra sedikit pun.

"Tadi malam..." Ezra santai saja bicara sambil memilih sushi mana lagi yang mau dia makan. "Ibu Grace bercerita..."

Tanpa ada satupun yang dilewatkan, Ezra menceritakan ulang pembicaraannya dengan Grace pada Ella. Ezra mengutip hampir persis kata per kata yang Grace katakan padanya.

"Oh aku tahu Papa memang mualaf. Tapi aku nggak tau kalau Eyang pernah bilang begitu."

"Kakekmu orang yang baik." Ezra memuji.

"Indeed. I miss my grandparents. Aku memang lebih dekat dengan kakek nenek dari Mama. Okay, enough talking about my family. Jadi bagaimana dengan kita, Zra?"

Demi keseriusan pembicaraan mereka, Ezra meletakkan sumpit.

"Aku belum bisa melamarmu saat ini. Setidaknya tidak bisa hingga aku punya pekerjaan baru. Dan setelah ada pekerjaan baru pun aku masih harus membuktikan bahwa posisiku memang layak untuk jadi suami kamu. Ada hal-hal tertentu yang akan membuat ibumu yakin, aku juga yakin, tentang memberikan restunya serta menikah dan membangun rumah tangga. Aku masih harus belajar. Kita masih harus belajar. Pernikahanku pernah gagal dan jangan sampai terjadi ke kamu. Kita tidak dikejar waktu untuk segera menikah. Dan meskipun ada pepatah bilang, 'Jika kita menunggu hingga kita siap, maka kita akan menunggu seumur hidup.' Bagiku, ada waktunya kita menentukan kapan kita siap. Maka dari itu, dua tahun, La."

"Dua tahun?"

"Dua tahun lagi aku akan siap untuk melamar kamu. Dalam dua tahun, aku akan mencari pekerjaan yang lebih baik. Tumbuh untuk mengimbangi pengetahuan kamu sebagai CEO. Mendewasakan diri dan mempelajari banyak hal untuk jadi seorang suami yang baik. Mengumpulkan segala sumber daya untuk mengisi pernikahan kita dan memenuhi keinginanmu."

Ella menutup mulutnya. Hatinya menghangat dan merasa tersanjung dengan niat dan upaya Ezra.

"Aku speechless," Ella hampir menitikkan air mata. "Waktu Mama jemput aku di Kalimantan buat jadi CEO, aku nggak menduga bahwa aku juga akan menemukan cinta. Expect less but God gives me more."

Ezra mengambil tisu, mengusap air mata di pipi Ella.

"Iya, Zra. Dua tahun. Kita menyiapkan diri masing-masing. Aku juga akan belajar. Mungkin kita bisa ikut kelas pranikah. Mungkin kita bisa mulai nabung dan belajar soal mengelola uang sama-sama?"

"Ya," Ezra setuju. Diraihnya tangan Ella. Jari jemari gadis itu dielusnya perlahan-lahan. Entah sejak kapan Ezra mulai menyukai menyentuh tangan Ella, menggenggamnya, atau bahkan menciumnya.

"Tapi Zra. Aku nggak mau kalau kita menunggu dua tahun tanpa kejelasan." Raut wajah Ella berubah, lebih serius dan tegang. "Aku mau kita pacaran. Aku mau usaha kita itu sebagai bagian dari hubungan kita yang lebih serius dan itu artinya pacaran. Kita sama-sama komitmen ke satu sama lain. Kita sama-sama usaha ke satu sama lain. Nggak boleh selingkuh. Kalau... kalau setelah dua tahun kamu nggak yakin atau aku nggak yakin, kita putus. Tapi jika semakin yakin, kita menikah. Ah no no no. Nggak boleh dan nggak mau bahas putus. We love each other dan dua tahun lagi kita menikah. Kan?"

Ezra malah nyengir. "Mauku, aku yang ajak pacaran. Tapi sepertinya hal-hal seperti itu sudah tidak perlu terpaku gender mana yang mengatakannya ya?"

Ella pun tertawa. "Yah. Begitulah. Jadi, mulai hari ini kamu pacarku?"

"Ya."

"Ezra pacarku dan calon suamiku?"

"Pacarmu dan bakal calon suamimu."

"Well, aku tetap suka kedengarannya."

"Same here." Ezra menarik tangan Ella, mencium punggung tangan, ke pergelangan, ke lengan. Hingga Ezra perlu berdiri untuk mencium lengan atas Ella. Ella ikut berdiri untuk memudahkan Ezra saat pria itu mencium pundaknya dan lehernya, hingga sudut bibir Ella.

"Will you give me a tour of your bedroom?" Ella mendesah.

Ezra hanya menyeringai.

***

Eee, baru pacaran udah ngajak ke kamar aja. Mau ngapain sih?!

-Amy

(S)He's The Boss! (END - WATTPAD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang