Babak 4 - Reunites Over A Coffee

2.4K 387 26
                                    

Asisten Ella–yang ternyata bernama Gina (ibunya memperkenalkan mereka tapi Ella sama sekali tidak berhasil mengingat namanya selama dua minggu pertama), menelepon Ella dengan suara panik sekitar jam sepuluh pagi ini.

"Mbak ke kantor kah? Mbak baik-baik saja?"

Ella mengernyit awalnya. Malah balik bertanya siapa yang menghubunginya ini.

"Ini Gina, Mbak. Saya asisten, Mbak."

"Ooooh."

Terbiasa bekerja sendiri, Ella belum pernah secara langsung meminta bantuan Gina. Itulah sebabnya Ella tak mengingat namanya,

"Saya nggak ke kantor, Gin. Saya kerja dari kafe deket kantor. Mau ganti suasana sedikit. Kalau butuh saya, ke sini aja ya."

Helaan napas lega terdengar di ujung sana. "Baik, Mbak. Saya hanya khawatir soalnya tidak ada jadwal dinas luar ataupun rapat setelah kemarin ke Semarang."

Ella pun tersenyum geli. Aneh juga rasanya jika ada orang yang 'melayani' dan membantunya menyusun jadwal harian.

"Iya, maaf. Lain kali aku akan kabari. Maaf juga aku belum simpan nomor kamu."

Usai menyelesaikan kesalahpahaman ini, Ella kembali bekerja, memasangkan headset dan tenggelam dalam analisa serta laporan dan penyusunan strategi yang harus dia kerjakan. Belum banyak pekerjaan yang mengharuskannya pergi ke luar dan berhubungan dengan stakeholder, masih banyak dipegang Grace. Walau Ella juga mulai sering diajak.

Tanpa sadar, Ella benar-benar tak beranjak dari kursinya selama delapan jam. Hanya diisi ke toilet atau meregangkan diri. Ketika Ella melambaikan tangan untuk meminta waitress membereskan mejanya, tangan Ella mendadak berhenti di udara.

Bukan waitress yang melihatnya, melainkan seorang pria yang memegang jas di tangannya, rambutnya sudah agak turun, dan wajahnya tanpa ekspresi.

"Ezra!" Ella memanggil girang.

Ezra tak bergeming, maka Ella lah yang menghampirinya.

"Hai. Mau beli apa?"

"Kopi," jawab Ezra seiring tangannya menunjuk konter.

"Nggak beli di Starbucks?" Ella bertanya lagi diiringi senyum lebar. Gayanya sudah seperti waitress menawarkan produk baru.

"Sudah."

"Oh, this is your second coffee?"

Ezra mengangguk. Gerakan tubuhnya menyiratkan keinginannya untuk segera memesan, sehingga Ella pun bergeser. Tapi Ella tak beranjak, ingin mengajak Ezra berkomunikasi lebih jauh.

"Mau..."

Pertanyaan Ella tertahan karena ponsel Ezra berbunyi dan dia pun segera mengangkatnya.

"Sekarang?" Ezra menimpali.

Lawan bicaranya mengatakan sesuatu.

"Ya, bisa," katanya lagi.

Ella tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Suara di telepon begitu kecil dan kata-kata Ezra pun sangat irit. Tapi Ella menebak bahwa Ezra harus segera mengerjakan sesuatu sekarang juga.

Belum sempat Ezra memasukan ponselnya ke saku, Ella menyambar kesempatan ini.

"Kita bisa kerja bareng kalau kamu mau. Aku pakai meja di sana," Ella menyambar, menunjuk mejanya yang penuh dan berantakan. "Nanti aku rapikan."

Ezra tidak banyak berpikir, mengangguk. "Saya ambil laptop."

Lagi-lagi perasaan Ella girang dan berbunga. Ezra mengambil jalan ke luar, Ella mengambil jalan ke dalam. Tangannya melambai panik, meminta waitress mengambil piring dan gelas kosong. Ella sendiri merapikan kertas-kertas berserakan berisi dokumen-dokumennya.

Namun belum sempat Ella merapikan semuanya, Ezra sudah sampai di mejanya. Tatapan matanya ke arah bawah, ke arah dokumen yang menyebutkan rencana anggaran tahun 2024, di mana hanya top management yang mengetahuinya.

"Duduk, Zra," Ella menarik dokumen itu segera dan melemparkannya ke kursi yang kosong.

Lagi-lagi Ezra tak banyak bicara, dia pun segera duduk dan membuka laptop. Kopi pesanan Ezra sudah datang sehingga dia pun tenggelam dalam pekerjaannya.

Ella berpikir, ini akan jadi seperti beberapa hari lalu saat mereka berdiam diri tanpa bicara, sibuk dengan urusannya masing-masing. Maka Ella pun tak punya pilihan lain. Dia memesan kopi ketiganya, diikuti cemilan. Siapa tahu bisa membantu Ezra membuka dirinya.

Makanan dan kopi Ella datang sepuluh menit kemudian. "Zra, mau ngemil?"

Ezra melirik, mengangguk. "Terima kasih," sahutnya sopan. Tapi tangannya tak beranjak dari laptop. Jadi Ella menduga itu adalah penolakan, walau Ezra tetap bersikap sopan. Satu lagi yang membuat Ella mengapresiasi sikap Ezra. Walau tak banyak bicara, dia tak terkesan sombong.

Ella menutup laptop dan membereskan dokumennya lebih dulu dibanding Ezra. Entah apa yang dilakukan pria ini, yang jelas sepertinya sesuatu yang penting, panjang, dan mendesak. Ella tak ingin pulang duluan, dia pun sengaja lama-lama minum kopi.

Tiba-tiba Ezra menutup laptop, meraih gelas kopi, namun terdiam.

"Sebetulnya...." suara berat Ezra terdengar di sela-sela musik kafe yang mendayu. "Kamu dari bagian apa?"

***

Jawab jujur apa nggak nih?!?!?!

-Amy 

(S)He's The Boss! (END - WATTPAD)Onde histórias criam vida. Descubra agora