Babak 6 - Brotherhood

2.2K 345 17
                                    

Akhir pekan kembali lagi. Artinya, waktunya Ezra kembali berkunjung ke kediaman sang ibu. Bertemu lagi dengan adiknya yang bersifat 180 derajat berbeda dengan dirinya.

Seperti biasa, Alana sudah bertanya tentang makanan apa yang diminati Ezra untuk dimakan di rumah. Ezra pun menjawab seperti biasa. "Nggak usah." Alana sering bingung. Dari mana sifat pendiam ini berasal. Dia bukan tipe yang pendiam, bahkan bisa begitu supel pada siapapun dan terlibat dalam obrolan panjang, dengan orang baru sekalipun. Almarhum ayah Ezra, Edi Suradipati, juga tidak terlalu irit bicara. Tidak seramai Alana, tapi tetap tidak seirit Ezra juga.

Jika dipikir-pikir lagi, Ezra sudah irit bicara sejak SD. Padahal Alana dan Edi tak pernah membeda-bedakan sikap pada Ezra dan pada Edgar. Jadi jika pendiamnya Ezra adalah karena 'trauma' atau protes, sepertinya tidak benar. Alana selaku pendidik pernah mengajak Ezra ke psikolog anak. Tapi tidak ada yang berbeda dengan Ezra. Ezra memang irit bicara kepada orang lain. Walau kepada Edi, Alana, dan Edgar terbilang cukup panjang bicara. Pada Annisa pun tidak. Tapi tentang Annisa bisa dibahas lain kali.

Ezra bertekad kali ini akan datang jauh lebih pagi dari biasanya. Dia sering berniat seperti ini. Agar bisa membantu ibunya membereskan rumah. Tapi di Jumat malam dia sering melembur dan tubuhnya otomatis bangun lebih siang di hari Sabtu. Maka niat datang lebih pagi jarang terwujud.

Tidak terkecuali hari ini. Ketika Ezra masuk ke rumahnya, lantai sudah bersih dan wangi, tempat sampah sudah kosong, piring dan peralatan sudah di rak. Ibunya pun seperti biasa ada di halaman belakang. Namun ada satu hal yang berbeda kali ini. Edgar sudah bangun, sedang mengelap pajangan dan foto-foto. Rambutnya berantakan dan dia masih mengenakan pakaian tidur. Pertanda dia langsung bekerja begitu bangun.

Ezra mengucapkan salam lalu masuk. Edgar melihat Ezra tanpa minat, mengangkat tangan lemah dan kembali mengerjakan tugasnya.

"Ada apa?" Ezra menghampiri Edgar. Karena hari ini mengenakan kaus, Ezra langsung sigap membantu Edgar. Dengan lap, Ezra ikut membersihkan pigura berisi foto-foto keluarga Suradipati.

"Kata Mama, kalau mau nikah, harus bisa beres-beres rumah," jawab Edgar agak sebal namun penuh tekad.

Ezra pun segera menoleh pada adiknya. Terkejut mendengar adiknya akan segera menikah. Edgar menyeringai melihat keterkejutan kakaknya.

"Sini deh Kak," Edgar melupakan tugasnya, menarik tangan Ezra agar duduk di sofa. Ezra menurut saja. Duduk di hadapan adiknya.

"Jadi, aku punya pacar. Baru setengah tahun sih pacaran. Tapi aku yakin dia jodohku. Jadi aku mau lamar dia. Menurut kamu gimana, Kak? Waktu sama Kak Annisa, gimana bisa yakin dia jodoh kamu?"

Masalahnya, saat itu aku tidak yakin dia jodohku.

"Maybe... if you know... you know." Ezra agak tidak yakin dengan jawabannya, tapi dia sering mendengar teman-temannya menyebut itu, jadi Ezra mengulangnya pada Edgar.

"Nah kan." Edgar menjentikkan jarinya. "Aku juga merasa begitu. Sebenernya dia temen dari SMA sih. Jadi udah kenal lama. Cuma memang deket pas ketemu lagi dua tahun lalu. Sering ngobrol, jadi sering jalan bareng, akhirnya pacaran. Aku kayak nggak bisa jauh-jauh dari dia gitu sih."

"Good for you then," Ezra mengacungkan kedua jempolnya.

"But, what do you think? Are you okay with me getting married?"

"Pernikahan kan hal yang baik, Gar." Ezra menepuk pundak Edgar. "Kalau kamu yakin untuk kebaikan, ya lakukan. Ingat bahwa pernikahan adalah kamu dan pasanganmu yang jalani, jadi jalani dengan sebaik-baiknya. Banyak hal yang mengikuti pernikahan, dan bukan hal yang sebentar juga. Kamu benar-benar harus berpikir matang-matang. Bukan hanya tentang kamu yakin dia jodohmu. Tapi bagaimana kalian memandang kehidupan. Bagaimana membagi waktu. Bagaimana menghargai keluarga dan perbedaan... Bagaimana memahami sifat satu sama lain..."

Ezra terdiam. Teringat pernikahannya sendiri. Tentang apa yang membuatnya akhirnya bercerai dengan Annisa. Perempuan yang menurut Edgar dan banyak orang adalah perempuan tercantik, teramah, teranggun di kampus dan Ezra sesungguhnya sangat beruntung mendapatkan Annisa. Atau tidak? Atau Annisa baik untuk orang lain yang bukan dirinya?

"Wah ini rekor lho, kalimat lu panjang banget, Kak." Edgar malah bertepuk tangan. "Makasih lho wejangannya. Best brother ever!"

Edgar memeluk Ezra sangat erat sehingga Ezra tak bisa melepaskan diri. Berakhir dengan Ezra pun akhirnya memeluk Edgar dan berdoa dalam hati agar pernikahan Edgar selalu bahagia. Tak berakhir nahas seperti dirinya.

"HEI!" Suara Alana mendadak memecah keheningan. "Bukannya beres-beres malah pelukan!"

Kedua anak laki-laki itu segera melompat dari sofa dan segera melanjutkan kegiatan bersih-bersih.

***  

Jadi penasaran kenapa waktu itu Ezra dan Annisa bisa nikah ya?

-Amy

(S)He's The Boss! (END - WATTPAD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang