Hey..

87 20 69
                                    

"Oii, Dean!"

Pletak!

"Aduh!!"

Apaan, nih? Tangan kananku menggosok pelipis, sedangkan tangan kiriku sibuk meraba obyek apa gerangan yang tadi menimpa kepalaku. Kulirik sengit pelakunya, tapi dia hanya membalas dengan cengiran santai. Wilson melanjutkan langkahnya menuju ranjang di bawahku.

Aku menemukan sebuah benda persegi seukuran telapak tangan, dengan ketebalan sekitar satu jari. Benda itu dibungkus dengan kertas coklat kusam, diikat dengan tali rami tipis. Kubolak-balik sebentar benda itu. Aku melongok ke bawah, Wilson sedang mengatur tumpukan baju yang juga berfungsi sebagai bantal tidur.

"Apa ini, kak?"

Kulambaikan benda tadi ke arah Wilson. Aku tak berani membukanya. Iya kalau benda ini diberikan padaku. Kalau tidak? Hiihh... Aku tak berani mencari perkara dengan Wilson, sang petarung pegulat. Badannya yang besar dengan otot yang menyembul dimana-mana, sekali sentil juga badan cungkring ku pasti langsung terlempar.

"Buku kosong serta alat tulisnya. Untukmu." Wilson menjawab sembari merebahkan tubuhnya. "Hadiah dari pertandingan panco tadi, di dermaga utara. Kamu kan bisa baca tulis. Benda itu lebih berguna buat kamu daripada aku yang hanya mengerti cara menghitung koin."

Wilson menjawab dengan acuh, sembari memejamkan matanya. Tak lama kemudian, suara dengkurnya yang menggelegar sudah memenuhi kamar tidur kami. Menyisakan aku yang diliputi haru.

Perhatianku kini berpusat pada benda persegi di tanganku. Kutarik talinya dan kubuka dengan perlahan pembungkusnya. Sebuah buku kosong dengan sampul kulit binatang berwarna coklat kemerahan. Ada pensil tersemat di sampul bagian dalamnya. Kuhela napas panjang. Sudah berapa lama terakhir kali aku memegang buku?

Kulepas pensil dari penyangganya. Jemariku kupaksa mengingat lagi bagaimana caranya menulis setelah sekian lama hanya digunakan untuk menghantam. Isi kepalaku kembali berputar merangkai kata, bukan memikirkan bagian tubuh mana yang harus dihajar. Daripada bingung ingin menulis apa, lebih baik aku menulis kisah hidupku.

Aku dipanggil Dean, Dean Smith. Kalian dipersilahkan membaca jurnal seorang remaja yang hidup di asrama arena Del Brufe, Rhea city, Serena island, Acallaris kingdom.

Mmm. Aneh bukan kalau aku menulis asrama arena. Sebenarnya ini bukan asrama. Ini hanya kabin kecil yang dibangun tak jauh dari arena tarung Del Brufe. Penduduk setempat menyewakannya dengan harga sangat murah.

Arena tarung Del Brufe sendiri adalah arena tarung resmi yang diakui oleh pemerintah. Bentuknya melingkar berundak. Tiap undakannya dilapisi batu ceper halus untuk duduk para penonton. Di tengahnya, ada panggung bundar. Di sanalah para petarung beradu kekuatan, kecepatan dan juga berbagai trik untuk memenangkan pertandingan. Pertarungan besar diadakan setiap hari sabtu dan minggu. Selain hari itu, pertandingan diadakan untuk para petarung amatir. Aku lumayan terkenal lho disini.

Kalau kalian menyangka aku adalah petarung yang hebat, kalian salah besar. Dengan tinggi 150cm serta bobot hanya 32kg, sangat mustahil aku jadi juara di arena ini. Aku bertarung seminggu dua kali, hanya sebagai hiburan buat para penonton. Jika lawanku cukup sial untuk kuakali, barulah aku bisa memenangkan pertarungan.

Jangankan kalian, mereka semua juga bilang kalau aku cukup nekat. Hahaha... Memangnya apalagi yang aku punya selain nekat. Di sini aku dipukuli, di tempat yang dulu disebut rumah, aku juga dipukuli. Tidak ada bedanya. Eh, salah. Ada bedanya. Perbedaannya  lumayan banyak. Di sini, walau aku babak belur, aku  bangga kalau bisa mengalahkan lawanku dan mendapat hadiah. Walau ada tulangku yang patah karena bertarung, masih ada yang berbaik hati untuk memberiku makan dan obat. Orang baik itu bernama Wilson. Tidak seperti orang yang pernah kupanggil ayah.

For FREEDOMWhere stories live. Discover now