Jantung pulau

36 8 0
                                    

Center of the Misterious WGALand, somewhere.

Aku terbangun dari pingsan di sebuah tanah lapang. Bukan lagi lantai papan sebuah kapal. Sejauh mata memandang, hanya ada hamparan rumput, beberapa batu besar yang sebagian ditutupi tanaman merambat, serta angin segar yang berhembus sepoi-sepoi. Pepohonan terlihat berada agak jauh.

Ada dua tenda besar yang berdiri di depanku. Aku melihat dua orang wanita sedang sibuk di depan dua tungku yang sedang menyala di samping tenda. Kalau tidak salah, wanita yang tinggi dan bersanggul itu bernama Oceana Onasis, sang dokter kapal. Sedangkan yang lebih pendek dan lebih sibuk bergerak kesana kemari mengolah berbagai bahan masakan didepannya, koki kapal The Holy Serpent, Juniper Pimms. Kalau tidak salah, sih. Kemarin saat kapten Quest memperkenalkan jajaran krunya, fokusku terpecah oleh aroma daging panggang yang menggoda. Maaf, ya.

Belum juga aku sempat berdiri, mr. Od tampak datang dan menyerahkan setumpuk peralatan berkemah ke tanganku. Dia menyuruhku segera mendirikan tenda sendiri sebelum malam. Tanpa perlu menunggu reaksiku, dia langsung pergi begitu saja.

Rasanya aku masih sedikit linglung. Tapi aku takut jika tidak segera bergerak, sesuatu yang buruk akan menimpaku. Lagipula, pasti susah kalau bekerja dengan penerangan kurang. Belum tentu juga aku akan mendapat tumpangan tenda dari kru kapten.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ada wanita berambut pink, sang carpenter kapal yang sedang berkutat dengan sesuatu tak jauh dari tenda kru. Melihat tumpukan kayu bakar yang disusun mr. Od tak jauh darinya, mungkin saja dia sedang menyiapkan api unggun. Cekatan sekali pria itu. Sebentar ada di sini, kemudian sudah ada di sana.

Beberapa tamu kapal juga sibuk mendirikan tenda tak jauh darinya. Beberapa juga sudah bersantai di depan tenda dengan berbagai bentuk masing-masing. Hanya sebagian kecil yang masih tergeletak tak sadarkan diri di sekitarku.

Sepertinya semua sepakat mendirikan tenda melingkar tak beraturan menghadap api unggun. Aku bergegas menuju tempat yang masih kosong. Peralatan kemah yang diberikan mr. Od tadi berupa dua kain tahan air yang berbeda ukuran, tiga tongkat penyangga, tali dan beberapa pasak.

Aku menggali dengan bantuan batu kecil, mengorek sedikit tanah di dua tempat dengan jarak satu lengan. Masing-masing titik, aku tancapkan tongkat dengan posisi agak miring agar bagian atas keduanya bertemu dan menyilang sedikit. Aku memastikan bagian bawah tongkat sudah menancap erat dan tidak gampang goyang dengan cara ditahan dengan batu kecil lalu ditimbun tanah. Sekarang tinggal mengikat erat tongkat bagian atas yang bersilang tadi.

Aku kemudian mengambil kain yang besar. Menekuknya menjadi dua, lalu menangkupkannya pada tongkat bagian atas. Ikat sedikit, lalu rapikan bagian bawah kain dengan memakai pasak agar rapat ke tanah. Sisakan bagian depan untuk akses keluar masuk. Terakhir, gelar kain yang lebih kecil sebagai alas di dalam tenda. Taraa...Jadilah bivak sederhana seperti yang pernah diajarkan Wilson. Aku menggosok hidungku bangga. Ternyata aku masih bisa mengingat cara mendirikannya. Terima kasih, Wilson.

Selesai dengan tempatku berteduh nanti malam, aku beranjak menuju samping tenda kru yang sudah berfungsi sebagai dapur umum. Aku hanya ingin meminta air putih untuk mengisi botol minumku yang sudah kosong. Siapa sangka, pria besar berambut ikal yang kemarin kulihat membantu mr. Od, yang kemudian kuketahui dia adalah Rigger kapal, Onave Morency, malah memberi lebih. Dia bukan hanya mengisi kembali botol minumku, tapi juga menyodorkan sepiring roti isi daging yang baunya semerbak. Dia juga menawarkan botol brandy, yang langsung kutolak dengan mengatakan kalau aku masih lima belas tahun.

Di arena, aku memang dikenal sebagai pria berumur lima belas tahun. Terima kasih pada tubuh tinggiku. Aku tak mungkin menggunakan usia dan gender asliku. Mana mau mereka mengijinkan bocah perempuan berumur tiga belas tahun, kurus kering pula, bertanding di arena. Begitu pula disini. Aku terpaksa berbohong lagi. Semoga langit memaafkan kebohonganku.

For FREEDOMWhere stories live. Discover now