12. Sebuah Pilihan

2.3K 279 58
                                    

Hari ini update dua kalii, yuhuu
Seneng nggak? 

"Aku emang nggak bisa milih takdir buat hidup aku. Tapi aku bisa milih kamu buat jadi bagian dari takdir di hidup aku."

***

Semesta berjalan sedikit tertatih saat menaiki anak tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Tadi Bagas, Ayah Mentari, mengantarkannya pulang. Seperti yang sudah Mentari sampaikan. Mobil pria itu sedang berada di bengkel. Jadi Semesta diantar pulang menggunakan taksi. Hal itu sebenarnya membuat Semesta semakin tidak enak karena merasa dirinya sangat merepotkan. 

Oleh karena itu, ia menolak saat Ayah Mentari hendak menuntunnya sampai ke dalam rumah. Bukannya apa-apa, lagi pula Semesta juga tidak mau kalau Bagas sampai bertemu dengan Kakeknya. Ia takut Kakeknya akan berkata yang tidak-tidak jika bertemu langsung dengan Ayah Mentari. Mengingat sang kakek memang tidak terlalu suka dengan Mentari.

Sejak kemarin Semesta merasa sudah cukup banyak merepotkan Mentari dan kedua orang tuanya. Ralat, dari dulu Semesta merasa merepotkan kedua orang tua Mentari yang selalu baik dengannya. Kali ini Semesta hanya tidak mau membuat mereka lebih repot lagi dengan ucapan sang Kakek yang beresiko menyinggung perasaan mereka. Meskipun Semesta yakin, selama ini orang tua Mentari tidak pernah merasa ia repotkan, akan tetapi tetap saja Semesta harus tahu diri.

"Jadi laki-laki lemah sekali kamu."

Itu adalah suara pertama yang Semesta dengar saat kakinya menginjak pertengahan anak tangga. Benar. Itu adalah suara Batara, Kakeknya.

Batara berjalan menghampiri Semesta. Membantunya berjalan hingga mereka masuk ke dalam kamar. Semesta sama sekali tidak menolak bantuan dari Batara. Sebab ia merasa sudah tidak sanggup lagi jika harus berjalan sambil menahan rasa sakit. Terlalu lama berdiri, membuat sekujur tubuhnya terasa semakin sakit.

"Sampai kapan kamu mau hidup seperti ini, Semesta?"

Pertanyaan yang kurang enak didengar itu Batara lontarkan begitu saja sesaat setelah tubuh Semesta terbaring di atas tempat tidur. Batara terus menatap ke arah Semesta dengan tatapan dingin seolah menunggu jawaban.

"Maksud Kakek?" tanya Semesta pura-pura bodoh. Walau sebenarnya ia sudah tahu kemana arah pembicaraan pria tua itu yang selalu berputar di topik yang sama.

Batara melipat tangannya di depan dada. Ia menghela napas panjang dengan tatapan yang masih sama. Dingin. 

"Mau sampai kapan hidup kamu, kamu habiskan hanya untuk mengejar perempuan yang bahkan tidak cinta dengan kamu? Kamu pikir Kakek tidak tau kamu sakit seperti ini gara-gara dia?"

"Kakek sudah memberikan kesempatan selama satu tahun lebih untuk kamu menjalani hidup sesuai pilihan kamu, Semesta. Tapi sampai detik ini kamu tidak bisa menunjukkan hasil apa-apa. Jadi, Kakek rasa, ini adalah saatnya untuk mengikuti jalan hidup terbaik yang sudah Kakek pilihkan buat kamu."

"Berhenti kuliah di jurusan tidak jelas itu dan mulai lagi tahun depan di jurusan pilihan Kakek. Kamu masuk kedokteran," tambah Batara.

Semesta menatap Kakeknya tidak terima. Apa-apaan ini? Bukankah sudah ia jelaskan berkali-kali kalau dirinya sama sekali tidak berminat menjadi seorang dokter seperti Kakeknya, Ayahnya, dan juga Bundanya. Semesta ingin memilih jalan hidupnya sendiri. Apakah itu hal yang salah? Bahkan dulu kedua orang tuanya tidak pernah memaksanya untuk mengikuti jejak karir mereka sebagai seorang dokter. Mereka tidak pernah menuntut Semesta agar menjadi ini dan itu. Mereka selalu mengatakan Semesta boleh jadi apa pun yang ia mau dan ia inginkan. Asal pilihan Semesta tidak merugikan siapa pun.

"Kek, aku masih mahasiswa semester 3. Kakek berharap apa dari aku? Jelas aku belum bisa membuktikan apa-apa ke Kakek karena aku belum lulus kuliah. Belum bisa cari kerjaan yang bagus kayak yang Kakek harapkan."

Peluk untuk SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang