23. Kekhawatiran Semesta

1.5K 165 5
                                    


"Hati Semesta itu seperti bumi yang luas. Saking luasnya, selalu menjadi rumah untuk banyak orang terluka."

***

Mentari mengekori Jemisha dan Atlas saat masuk ke dalam rumah Semesta. Ini memang bukan pertama kalinya ia datang ke rumah besar ini. Namun, kali ini entah kenapa hawanya terasa sangat berbeda. Mengingat kedatangannya kali ini atas permintaan kakek Semesta langsung. Mentari jadi merasa... waspada. Entahlah perasaannya tidak enak.

"Lo kenapa sih, Tar? Sini, elah." Jemisha menarik Mentari di belakangnya. Tatapannya jatuh pada ujung bajunya yang dipegang erat oleh kedua tangan Mentari. "Kalau gugup mau ketemu Semesta, nggak usah pegangan baju gue kayak gitu juga kali, Tar."

Reflek Mentari langsung melepasnya. Ia berdecak dengan wajah cemberut. Jemisha memang menyebalkan. Siapa juga yang gugup karena akan bertemu dengan Semesta? Itu semua tidak benar. Ia lebih gugup karena harus menghadapi kakek Semesta.

Jemisha tergelak. Mentari ini aneh. Padahal selama ini semua orang juga tahu. Mentari adalah cewek pemberani yang tidak takut dengan apa pun. Namun, ketika sudah berhadapan dengan kakek, entah kenapa nyali Mentari sepertinya mendadak menciut.

Di samping Jemisha, Atlas ikut tertawa meledek ke arah Mentari. Jiwa-jiwa julidnya seakan meronta-ronta. "Seorang Mentari ternyata punya rasa takut juga. Counter si cewek menyebalkan kayak lo ternyata Kakek gue ya, Tar."

Pukulan tangan Jemisha seketika mendarat di punggung Atlas yang berjalan di depan mereka. "Nggak usah ketawa, monyet!"

Jemisha menarik tangan Mentari hingga mereka sampai terlebih dahulu di depan pintu kamar Semesta yang terletak di lantai dua. Meninggalkan Atlas di belakang yang masih tertawa menyebalkan.

Sepi. Itu yang kini mereka rasakan. Rumah besar Semesta, rasanya seperti tidak ada kehidupan saking sunyinya.

"Jemisha, Mentari," sapa pria dengan suara berat.

Sontak Jemisha dan Mentari langsung menoleh ke sumber suara. Mereka membalikkan badan. Batara. Pria tua itu sudah berdiri di hadapan mereka dengan Atlas yang mengekor di belakang.

"Semesta ada di dalam kamar, Kek?" tanya Jemisha to the point. Ia memang tidak suka basi-basi dengan sang kakek. Tidak terlalu akrab juga. "Dia beneran nggak keluar kamar dua hari?"

Batara mengangguk pelan. "Iya. Dua hari anak itu mengurung diri di dalam kamar tanpa makan. Entah apa yang ada di dalam pikirannya."

"Makanya Kakek jangan jahat-jahat sama Semesta. Inget umur, Kek. Kakek udah tua," ceplos Atlas tidak ada takut-takutnya.

Menanggapi cucunya yang memang ceplas-ceplos seperti Atlas dan Jemisha, Batara hanya menghela napas kasar. Beda lagi kalau yang bilang seperti itu adalah Semesta. Bisa-bisa Semesta akan mendapat tamparan detik itu juga seperti kejadian kemarin.

Tidak heran kalau selama ini Semesta selalu merasa kakeknya tidak adil. Karena faktanya memang seperti itu, bukan? Hanya Semesta yang Batara tuntut menjadi sempurna. Karena Batara merasa punya kendali atas hidup Semesta setelah kedua orang tua cucunya itu pergi selamanya.

"Mentari. Saya ingin bicara empat mata dengan kamu. Bisa?"

Pegangan tangan Mentari di lengan Jemisha menguat. Seolah ia memberi sinyal bahaya pada Jemisha. Mentari... takut. Perasaannya semakin tidak enak. Apalagi tatapan Batara saat ini terasa begitu menusuk. Meski pria itu masih menunjukkan kesopanannya dengan bertanya baik-baik terlebih dahulu, tetapi tetap saja Mentari merasa cemas.

Jemisha berdeham pelan. Melalui lirikan matanya, Jemisha seolah mengisyaratkan pada Mentari kalau cewek itu tidak perlu takut. Semua akan baik-baik saja.

Peluk untuk SemestaWhere stories live. Discover now