16. Hal-hal Menyebalkan

2.1K 281 53
                                    

Haiiii, weekend masih lama, yuk semangat!


***
"Dunia memang tempat hal-hal menyebalkan. Maka dari itu Semesta membutuhkan Mentari untuk bertahan."

***

"Kenapa sih manusia banyak yang nyebelin?"

"Kalau nggak nyebelin, bukan manusia namanya."

"Berarti semua manusia emang nyebelin?"

Semesta tertawa ringan mendengar pertanyaan Mentari. Tatapan matanya jatuh pada tangan kecil Mentari yang berada dalam genggamannya. Ia menatap Mentari dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Dunia memang tempat hal-hal menyebalkan. Maka dari itu ia membutuhkan Mentari di sampingnya untuk bertahan.

"Sebel banget sama Jena. Dia yang salah, tapi setelah dapet teguran dari Pak Adi, malah dia yang merasa seolah jadi korban."

Mentari membuang napasnya kasar. Jena, teman satu kelasnya yang membuat ulah tempo hari, tadi sempat melabraknya saat di kelas. Sebenarnya Mentari tidak takut. Ia tidak segan-segan untuk melabrak balik cewek itu. Namun, karena ia memiliki cowok yang tidak menyukai keributan seperti Semesta ini, alhasil berakhirlah sekarang ia di danau Harnus. Berdiri di tepi danau bersama Semesta di sampingnya.

Tangan kiri Semesta yang tidak menggandeng tangan Mentari, terulur. Ia mencondongkan badannya ke arah Mentari, lalu mengacak pelan puncak kepala Mentari. Semesta sengaja mengajak Mentari ke danau untuk menenangkan pikiran dan juga amarah cewek itu yang tadi terlihat sangat menggebu-gebu.

"Kemarin kamu udah janji sama aku. Mau Jena minta maaf ke kamu atau enggak, kamu harus tetap maafin dia. Yang penting kamu udah dapetin apa yang seharusnya emang buat kamu. Kamu udah dapet nilai A dan Pak Adi juga udah tau kebenarannya," kata Semesta lembut. Ia mengingatkan obrolan mereka tempo hari sewaktu berjalan bersama di koridor. Barangkali Mentari melupakannya.

Tatapan kesal Mentari langsung terarah ke Semesta yang kini sedang menatapnya dengan satu alis terangkat. "Tapi Jena kurang ajar. Harusnya yang ngelabrak dia tuh aku. Bukan malah sebaliknya. Kalau tadi dia nggak ngelabrak aku di depan temen-temen kelas, aku juga bakal maafin dia."

"Jadi kamu masih mau nyimpan dendam ke Jena?"

Mentari menyikut perut Semesta. Tatapannya kini beralih ke danau yang terbentang luas di hadapan mereka. Juga ke beberapa mahasiswa Harnus yang terlihat asyik dengan beragam kegiatan di danau kampus yang udaranya terasa sangat sejuk ini.

"Aku nggak dendam, Semesta. Tapi masih belum bisa kalau harus maafin Jena sekarang."

"Kenapa?"

"Karena dia nyebelin."

"Itu namanya dendam," sahut Semesta terdengar menyebalkan.

Mentari berdecak. "Enggak."

"Iya."

"Enggak!"

Semesta tertawa. Ia mengalah. "Iya-iya. Tapi jangan terlalu dipikirin, ya. Udah biarin aja. Lagian anak kelas juga banyak yang tau kalau yang salah itu Jena bukan kamu."

"Yang suka overthinking tuh kamu. Bukan aku," protes Mentari. "Ngapain juga aku mikirin Jena. Ini aku cuma masih kesel aja karena kejadiannya baru terjadi. Nanti juga aku bodoamatin."

Mereka berdua lalu saling diam. Menikmati embusan angin yang beberapa kali menerpa rambut panjang Mentari yang dibiarkan terurai. Membuat tangan Semesta beberapa kali terulur untuk merapikannya. Sesekali Semesta juga tersenyum saat memandangi wajah Mentari yang kini terlihat jauh lebih tenang. Sepertinya emosi cewek itu sudah sedikit mereda.

Peluk untuk SemestaWhere stories live. Discover now