22. Mengurung Diri

1.4K 164 4
                                    


"Terlalu banyak yang Semesta pendam sebab merasa tidak berhak mengutarakan."

***

Brak!

Brak!

Bug!

Pyar!

"APA GUE SALAH KALAU POSESIF KARENA SAYANG?" Tubuh Semesta luruh ke lantai. Ia duduk di dekat tempat tidur sambil memukul kepalanya sendiri. "APA GUE SALAH KALAU LEMAH KARENA TAKUT KEHILANGAN MILIK GUE?!"

"Dasar lemah! Lemah!"

Ini bukan kali pertama Semesta melampiaskan amarah dengan membanting, memukul, dan merusak barang-barang yang ada di kamar. Semenjak kedua orang tuanya meninggal. Lebih tepatnya semenjak ia merasa kehilangan tempat bercerita, kehilangan support system, dan kehilangan separuh bagian dari hidupnya, diam-diam Semesta sering melalukan hal ini karena kesulitan mengekspresikan emosi secara langsung.

Ditambah semenjak kepergian ayah dan bundanya, sikap Mentari juga tiba-tiba berubah 180 derajat. Mentari yang ia kenal sebagai sosok yang perhatian dan peduli, ceria dan pemberani, lembut tapi selalu tegas, menjadi Mentari yang seperti sekarang. Mentari yang lebih sering terlihat cuek dan bodoamat, yang terkesan sangat... egois?

Semenjak hari itu, Semesta merasa kehilangan segala hal baik dalam hidupnya. Ya, dalam hitungan detik hidupnya seolah berubah menjadi kehidupan baru yang asing. Hidupnya yang dulu penuh warna berganti menjadi penuh hal-hal tidak menyenangkan. Yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus tetap Semesta jalani hingga detik ini.

Semenjak hari itu pula, ketika marah, sedih, kecewa, dan merasa tidak terima atas suatu hal, Semesta lebih memilih diam. Sebab, ia takut apa yang ia rasakan hanya akan dihakimi oleh orang-orang. Bukan dimengerti atau setidaknya didengarkan. Bahkan orang-orang terdekatnya lebih sering menyebutnya lemah dibanding mencoba untuk memahami dirinya.

Respon-respon buruk yang selama ini Semesta terima, pada akhirnya membuat Semesta hanya bisa menyalurkan perasaan-perasaan kacau yang menumpuk melalui hal tidak wajar seperti sekarang.

Terlalu banyak yang Semesta pendam sebab merasa tidak berhak mengutarakan. Membuat Semesta terbiasa menjadi pendengar yang baik. Namun, pendongeng yang buruk. Selama ini Semesta memang lebih senang menjadi pendengar cerita orang daripada harus menceritakan banyak hal pada orang lain.

Semesta tidak bisa mengutarakan perasaannya secara terang-terangan pada siapa pun. Sekalipun ia sudah mencobanya berulang kali. Yang ada, ia semakin merasa bersalah. Ujung-ujungnya dirinya lah yang minta maaf. Seperti pertengkarannya dengan Mentari di mobil kemarin.

Semesta mengacak rambutnya frustasi. Ia salah. Selama ini ia kira menyibukkan diri dengan berbagai hal yang menyita waktu di luaran sana. Juga menghabiskan Hari-harinya untuk berinteraksi dengan banyak orang, bertemu banyak orang, bisa membuat lukanya perlahan sembuh. Juga, menjadikan dirinya sebagai sosok Semesta yang tidak terlalu bergantung pada Mentari.

Namun, sekeras apa pun ia berusaha agar luka sepeninggal orang tuanya itu mereda. Ternyata sekeras itu juga lukanya berhasil mengobrak-abrik dirinya. Rasa takut yang timbul karena trauma ditinggalkan di masa lalu, perlahan semakin menguasai diri Semesta. Semesta semakin menggantungkan kebahagiaannya, hari-harinya, dan segala yang ada di hidupnya pada Mentari.

Sepanjang malam, Semesta harus menghabiskan waktunya untuk melawan rasa takut. Semesta takut, Mentari—satu-satunya orang yang ia cintai sekarang—akan berakhir pergi meninggalkannya juga.

Karena rasa takut itu, dalam keadaan-keadaan tertentu, Semesta sering kali kehilangan kontrol. Ia sering tiba-tiba merasa bersalah, merasa panik, merasa kesal, merasa marah, dan merasakan perasaan-perasaan buruk lainnya hanya karena pemicu kecil. Namun, lagi-lagi semua perasaan-perasaan buruk yang ia rasakan hanya bisa ia telan mentah-mentah. Tanpa bisa ia utarakan.

Peluk untuk SemestaWhere stories live. Discover now