4. I TRY TO BELIEVE YOU

17 5 0
                                    

Magara tersenyum miring mendengar kalimat sarkas itu. Hatinya tergelitik ingin membalas tapi urung. Buat apa?

"Jangan ngomong soal umur. Lo tahu pasti itu bukan patokan. Soal bantuan gue, lo pertimbangin, deh! Gue nggak mau maksa, nggak ada untungnya juga." Tanpa mengatakan apa pun lagi Magara meninggalkan kafe.

Kia sedikit terkejut, apa Magara tersinggung? Apa dia marah dengan perkataannya tadi?

"Lah, kenapa juga gue pikirin? Bodo amat dia mau marah. Malah suasana hati gue tenang sentosa." Kia menenangkan hati yang mendadak tidak tenang.

Kia menolak kekhawatiran yang baru saja muncul. Tak lama karyawan membersihkan kafe seperti biasa, mematikan lampu dan siap beroperasi lagi esok pagi.

"Bu Kia, kami pulang duluan. Selamat malam!" pamit mereka pada Kia.

"Oh iya, malam. Makasih untuk hari ini." Kia menjadi orang terakhir yang meninggalkan kafe.

Tak bisa dipungkiri, tawaran Magara mulai mengusiknya. Dia sendiri tak habis pikir dari mana sumber kekesalan itu muncul. Masa gara-gara berebut cokelat waktu itu. Padahal pertemuan pertama cukup menyenangkan.

Kia lelah secara fisik dan pikiran. Apa yang bisa dia lakukan sebagai anak pungut? Itu istilah yang pernah Ryan katakan saat dia murka. Berkat Ratih istilah itu tak diucapkan lagi. Ryan sangat mencintai Ratih, tetapi keras kepalanya tidak bisa diubah kalau sudah menyangkut dirinya. Entah, apa tujuan Ryan.

Kia melajukan mobil ke arah lokasi yang sudah lama tak dia kunjungi. Rumah yang berhasil dia beli dari menjual lukisan. Demi janji pada Ryan supaya tak dijodohkan, harus dibayar dengan meninggalkan hobby melukisnya.

"Maaf, Pa. Kia ingkar janji datang lagi ke sini," gumam Kia begitu mobilnya berhenti tidak jauh dari lokasi.

Takut dan ragu menyelinap dalam hati gadis itu . Baru saja hendak membuka pintu mobil, tiba-tiba saja ada seseorang yang keluar dari gerbang. Rupanya anak buahnya Ryan berjaga di sini. Ancamannya waktu itu tidak main-main.

Kia membatalkan niat dan pergi dari sana. Akhirnya apartemen jadi tujuannya. Lelah fisik sangat dirasakan, tetapi pikiran kalutnya membuat rasa kantuk enggan datang. Sudah berbagai macam cara dilakukan belum juga bisa tidur.

Kia beralih ke meja kerja, diambilnya kertas dan pewarna. Salah satu media lain yang Kia pakai, cara aman dan bisa disimpan atau setelah itu dibuang. Selesai satu sketsa Kia mendesah lega.

Ponsel bergetar dan menampakkan nama Papa. Raut lega berubah cemas dan takut.

"Ya, Pa!"

"Apa kabar kafemu?" Suara Ryan tegas dan lugas. Tidak menanyakan kabar anaknya, tapi langsung pada tujuannya menelepon.

"Masih berjalan lancar, Pa. Dan Kia nggak akan nyerah." Dengan kalimat ini Kia harap Ryan bisa berhenti bertanya.

"Jangan sampai ada kabar buruk tentang kafemu itu. Sebentar lagi ada pertemuan keluarga. Papa nggak mau ada yang bicara negatif soal keluarga kita. Jadi pastikan, dua bulan ke depan kafemu sudah ada perkembangan positif."

Keluarga kita? Ada perasaan bahagia secara tidak langsung Ryan mengakui keberadaannya.

"Kia! Kamu dengar Papa?"

"I-iya, Pa. Kia dengar, kok!"

Tak ada basa-basi lagi, Ryan langsung menutup telepon. Dua bulan waktu yang tkdak bisa dikatakan lama. Apa yang harus dia lakukan dengan kafenya.

***

"Bos K, sini deh!" Ina tiba-tiba saja menarik lengannya begitu turun dari mobilnya.

"Ada apa sih, Na?"

Kia melihat sebuah video dari ponsel Ina. Matanya membundar begitu tahu kalau cowok menyebalkan alias si Magara itu ternyata tahu banget soal kopi. Kia pikir cowok itu cuma barista biasa.

"Bos K, ada kabar buruk juga sebenarnya. Barista yang baru kerja beberapa hari lalu resign."

"Apa? Lagi?" Kia mendadak pening kepala.

Bagaimana nasibnya sekarang? Kafenya sudah dua kali ganti barista dalam sebulan. Dan sekarang harus terjadi lagi. Mana waktu dari Ryan cuma dua bulan buat memperbaiki performa kafenya.

"Tawaran gue masih berlaku." Magara datang lagi.

Semua orang menoleh. Panjang umur, ya. Baru juga jadi bahan omongan sudah muncul di depan mata. Sepertinya hanya Kia yang menanggapi kehadiran Magara dengan ekspresi datar.

"Bos K, gengsinya dibuang dulu, deh, hari ini. Kita bener-bener butuh bantuan Gara. Eh, nggak apa-apa kan, dipanggil Gara?" Ina ini memang gercep kalau sama cowok cakep.

"Nggak apa-apa, Mbak Ina. Santai saja!" Magara tersenyum sambil menempati kursi tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Gara mau pesan apa? Hari ini menu kopi-kopian libur dulu." Ina menawari minum tanpa memedulikan raut keberatan dari wajah bosnya.

"Apa saja, Mbak. Orange juice juga boleh."

Interaksi antara Ina dan Magara membuat Kia mulai tersentil emosinya. Tetapi dia tidak bisa memarahi Ina, toh, yang dilakukannya menawarkan minuman ke pelanggan. Ya, pelanggannya Magara yang tidak tahu diri.

"Kurangi wajah kesalnya. Pamali kata orang Sunda, memasang muka marah waktu buka toko atau usaha lain. Ntar seret rejekinya."

"Sok tahu!"

Magara menghela napas panjang. Harus sabar level dewa menghadapi Kia, ini. Dia menyadari hanya pada Kia dia menunjukkan rasa peduli sejak pertama bertemu. Rasa peduli, penasaran, dan ingin mengenalnya lebih jauh, dirasakan Magara makin bertambah.

Setelah mencari tahu tentang Kia, ternyata masalah yang terjadi berhubungan dengan hobby-nya. Dia tidak bisa diam saja, dengan hanya melihat kafe Kia sepi dan ada yang salah sedang terjadi.

"Kita sederhanakan saja. Gue dengar barista lo resign. Gue akan gantiin posisinya."

Kia menoleh cepat. Barista-barista sebelumnya yang berhenti, mengaku karena mendapat tawaran gaji lebih tinggi di tempat lain. Lalu orang seahli Magara mau minta gaji berapa? Belum sempat menjawab, perut Kia sakit. Rasa diremas begitu kencang menyerang di sana. Kia membungkuk sambil mengingat kenapa rasa sakit itu muncul.

"Kia, lo kenapa?" Magara orang pertama yang menghampiri dan langsung menggendongnya karena Kia terlalu lemas untuk berjalan.

"Mbak Ina! Atau siapa pun, tolong teh anget, dong!" teriak Magara membuat heboh seisi kafe. Untung kafe baru buka, jadi pelanggan belum banyak yang datang.

Ina tergopoh datang dan minta Magara membawa Kia ke ruangannya saja. Di sana ada sofa yang cukup nyaman.

"Bos K, waktunya datang bulan, ya?" bisik Ina. Hal seperti itu sangat pribadi buat perempuan, kan.

Kia mengangguk. Ina segera mengambil obat pereda nyeri dari laci meja kerja Kia. Magara yang hanya diam, memahami Kia sudah sering mengalami sakit seperti ini.

"Gue pamit keluar. Maaf." Magara hendak keluar tapi satu suara menghentikan langkahnya.

"Tunggu! Gue mau ngomong!" Kia akan menuruti Ina untuk membuang sementara gengsinya. Rasa sakit yang tiba-tiba mendera membuatnya kehilangan tenaga untuk berdebat.

Ina tahu diri dan segera keluar. Memberi kesempatan keduanya berbicara memunculkan ide gila lain.

"Apa jadinya kalau mereka pacaran, ya?"

Bersambung

Ina ini kalo punya ide suka ngawur, ya. Tapi aku suka. Gimana sama kalian?

Thank you for reading. See you on the next part, ya.


Aroma Kopi Sempurnakan Lukisan Hati ( TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang