"Gila sih, Bos K! Pilihannya sulit semua. Terus gimana?" Ina mana bisa kasih solusi, pilihannya saja sudah jelas jadi sumber bahagia Kia.
"Na, bisa panggil nama gue aja nggak, sih? Risih lama-lama gue dipanggil Bos K."
"Iya, gue panggil nama lo Key. Deal? Lagian nggak penting soal itu. Pikirin soal pilihan lo."
"Gue nggak tahu, Na. Tapi kalo memang gue harus pilih, melukis bakal gue lupain. Gue nggak bakal bisa hidup tanpa Magara, Na. Gue nggak mau kehilangan dia lagi."
Kia selalu sesak tiap mengingat kejadian itu. Magara terlukaa karena dirinya. Seharusnya yang jadi sasaran Satya adalah dirinya.
"Jadi lo bakal pilih Magara dan nggak bakal melukis lagi? Yakin?"
Kia mengangguk sambil terisak. Entah, kenapa dia juga merasa tidak rela meninggalkan kuas dan kanvas, semua warna yang selalu membuat dirinya semangat lagi di antara tuntutan Ryan.
"Jangan lakuin itu, Mbak!" Magara tiba-tiba membuka pintu ruangan Kia.
Kia terkejut dan menyesali tidak mengunci pintu ruangannya lebih dulu tadi.
"Kalian lebih baik ngobrol berdua. Gue keluar dan kunci pintunya, ya." Ina keluar dan Magara segera memutar kunci.
"Tapi gue nggak bisa putus dari lo, Ga."
"Gue tahu!" Magara memeluk Kia yang mulai terisak pelan. Sungguh sesak menahan semuanya.
"Gue akan bicara sama Om Ryan. Percaya sama gue, lo nggak bakal kehilangan gue atau jiwa seni lo."
Ya, sementara waktu Kia bisa tenang. Dia akan pikirkan lagi cara untuk meyakinkan Ryan. Dia coba menghubungi Ratih dan apa yang dikatakan mamanya cukup membuatnya lega.
Di hari yang diminta Ratih, Kia mengajak Magara untuk bertemu Ryan. Ini adalah kesempatan pertama sekaligus terakhir bagi Magara. Kalau dia kurang meyakinkan, maka Kia harus bersiap melupakan bisa bersama kekasihnya itu.
Magara tidak mengijinkan Kia menyetir, hari itu dia yang mengemudi dan memaksa kekasihnya duduk anteng di sampingnya.
"Tenang, Mbak! Kalau niat kita baik pasti akan berakhir baik. Aah, sok bijak banget gue."
Kia tersenyum meskipun sedikit. Kecamuk di hatinya lumayan mereda dengan obrolan ringan. Magara sangat tahu cara menenangkan hati Kia.
Kia sampai di sebuah restoran sesuai alamat yang diberikan Ratih. Kia belum pernah ke sana. Begitu memasuki pintu depan restoran itu sepi sekali. Kia mengira mereka salah tempat.
"Mbak Kia Sudirja? Silakan masuk, sudah ditunggu di area outdoor resto kami."
"Makasih."
Kia menoleh ke Magara, dia ragu dan takut untuk melanjutkan langkahnya. Kedua tangannya gemetar dan berkeringat dingin.
"Mbak, tenang. Gue ada di samping lo." Magara menggenggam jemari Kia. Dalam hati dia juga janji tidak akan melepaskan tangan di genggamannya ini.
Satu persatu langkah kaki keduanya mengikuti pelayan resto. Begitu pintu pembatas antara ruangan indoor dan outdoor terbuka Kia menahan napas.
"Ga, gue nggak mimpi, kan?" Air mata Kia mengalir begitu melihat semua lukisan hasil karyanya ada di sana. Area outdoor itu dibuat seperti sebuah galeri seni.
Magara ikut lega, bahkan otomatis bibirnya tersenyum. Saking bahagianya Kia memeluk Magara di deoan semua orang di sana. Bahkan dia tidak peduli ada Ryan sedang bersedekap sambil geleng-geleng.
Di sampingnya ada Bian yang dengan ekspresi datarnya menepuk bahu Ryan.
"Keputusan ini gue akui yang terbaik, Yan. Lo nggak bakal nyesel."
Setelah melihat semua berkas dari Bian, Ryan menghubungi saudara kandungnya itu. Mereka berbaikan dan saling melupakan masa lalu. Hari ini akurnya mereka resmi setelah bertemu langsung.
Magara memang yatim piatu, tetapi catatan hidupnya meninggalkan jejak positif dan terlacak oleh Bian. Tempat kerja Magara di luar negeri ternyata teman baik Bian. Termasuk tanggung jawab atas panti asuhan juga Bian dapatkan, karena istrinya juga menjadi donatur tetap beberapa tahun terakhir.
Apa lagi yang mau Ryan cari? Soal usia? Jelas tidak jadi masalah, bahkan Kia banyak belajar dari pria muda itu. Sifat keras kepala Kia juga perlahan berkurang.
"Pa, ini artinya Kia boleh melukis? Boleh lanjut sekolah seni?" Kia bertanya dengan tidak sabar.
"Manfaatin baik-baik kepercayaan Papa. Aah, satu lagi. Kapan mau melamar Kia, Magara?"
Magara menatap Kia dengan tatapan penuh cinta.
"Sekarang, Om."
"Apa? Ga, lo serius? Jangan bercanda!" Kia tidak tahu kalau papanya bakal menanyakan hal ini.
Magara tidak menjawab pertanyaan Kia dengan ucapan. Dia mengambil sesuatu dari kantong celana dan berlutut.
"Mbak, mau menikah denganku?"
Kejutan apa ini? Hari ini bukan ulang tahunnya, bukan April Mop juga.
"Kia, kamu mau jawab sekarang atau enggak? Atau perlu Papa berubah pikiran lagi?" Ryan tidak sabar melihat adegan yang sudah pasti akhirnya seperti apa.
"Aku mau."
"Nah, gitu, dong! Sudah tunangan jangan lo-gue lagi, ya." Suara Ina muncul dari balik kerumunan tamu. Lalu bermunculan karyawan kafe yang lain juga datang.
Kia memeluk Ina sambil memamerkan jari manisnya sudah ada cincin. Sama dengan Ina yang akan menikah sebentar lagi.
"Ga, jaga Kia seumur hidup lo. Jangan sakiti dia kalau kamu nggak mau berurusan dengan Papa."
"Baik, Om. Saya akan jaga janji saya sama Om. Tujuan saya cuma melihatnya bahagia, dengan begitu saya juga pasti bahagia."
Ratih lega, semua berakhir dengan bahagia dan melegakan semua orang. Ryan yang sifatnya keras ternyata bisa luluh dengan Kia dan rasa cintanya pada istri.
"Menurut lo kalo kita nikah bareng, gimana, Key?"
"Yang benar saja, lo nikah dua minggu lagi. Gue mana ada persiapan?"
"Kalo kamu mau, Papa bisa siapin semua, kok!"
"Pa! Jangan gitu, dong! Magara juga harus ditanyain dulu."
Magara yang baru datang setelah dari toilet, langsung bilang setuju tanpa tahu apa yang dia setuju.
"Ga, kamu sudah menyetujui kalo kita akan menikah dua minggu lagi."
"Ha? Serius?" Magara nyaris tersedak air minum mendengarnya. Tetapi detik berikutnya dia tersenyum sambil memeluk Kia.
"Kita bisa tunda sampai kamu siap. Nanti aku bilang Papa."
"Siapa bilang aku keberatan?"
Kia langsung melepas pelukannya. "Maksud kamu kita beneran nikah dua minggu lagi?"
Magara mengangguk. Dengan mantap dan yakin dia bilang sudah siap meresmikan hubungan. Untuk biaya, dia sudah siap. Tidak jadi masalah sama sekali.
Akhirnya, aroma kopi Magara mamou menyempurnakan lukisan Kia. Kalau bisa dua kenapa harus pilih satu?
TAMAT
Thank you sudah menemaniku hingga sampai cerita berakhir.
See you on another story, Guys. Stay safe and healthy, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aroma Kopi Sempurnakan Lukisan Hati ( TAMAT)
RomanceMenyetujui permintaan sang ayah, ternyata belum cukup bagi seorang Kia Sudirja. Kia harus mau mengelola kafe dan melupakan melukis demi membahagiakan ayahnya-Ryan Sudirja. Sebagai anak tunggal Kia merasa ini kewajibannya. Perjuangan Kia tidak mudah...