11. SERIUS FALL IN LOVE?

8 2 0
                                    

Satya ternyata masih penasaran dengan Kia. Hubungan gadis itu dengan Ryan yang notabene ayahnya, seperti tidak baik. Terlintas ide untuk memanfaatkan keadaan buruk itu. Apa lagi kalau tidak karena uang dan aset yang begitu fantastis jumlahnya. Keluarga Sudirja terhitung orang terkaya ke sekian menurut salah satu majalah bisnis negeri ini. Anak mereka hanya satu, Kia Sudirja. Otomatis dia lah pewaris utama semua kekayaan trah Sudirja. 

Namun, menurut informasi orang-orang di luaran sana, keluarga mereka tertutup dan misterius. Mungkin untuk menutupi fakta tentang Kia adalah anak angkat. Kalau Satya tahu hal ini, tidak mungkin dia tertarik. Satya meragukan kabar kemisteriusan itu, karena saat ada kesempatan datang ke rumah Ryan, dia tidak menemukan keanehan. Semua berjalan wajar dan normal seperti rumah-rumah mewah lain. 

"Pak Satya ada telepon dari Pak Ryan." 

"Ok."

Sekretaris Satya memindahkan panggilan ke pesawat telepon di ruangan bosnya. 

"Pagi, Pak Ryan." 

"Kabar klien dari Singapura gimana, Sat? Saya harap tidak ada kendala berarti, kamu bisa tangani, kan? Jangan khawatir, kerja kerasmu akan saya bayar dengan posisi bagus di kantor pusat. Itu kalau kamu berhasil, jadi usahakan semua berjalan sesuai keinginanku."

Ancaman halus dilancarkan, dan Satya sudah terbiasa. Selama ini dia hanya fokus dengan tugasnya, tanpa berpikir hal di luar itu. 

"Secara garis besar mereka tertarik dengan presentasi kita, Pak. Dan kita akan dikabari lewat email, sekitar jam dua siang nanti. Begitu selesai saya rekap, langsung saya follow up ke Pak Ryan." Terdengar napas lega saat ada laporan positif seperti ini. 

"Baik, makasih banyak, Sat. Saya tahu kamu bisa diandalkan di proyek ini." 

Seorang Ryan Sudirja tidak mudah mengatakan 'terima kasih'. Kata itu akan keluar saat dia berhasil dibuat terkesan dengan prestasi. Itu artinya Satya sudah masuk dalam golongan orang yang berhasil membuat Ryan terkesan. 

Kerja bagus, Sat! Lo patut berbangga diri, sekarang. Tetapi ingat, perjuangan lo belum selesai, selama belum bisa memutup mulut orang-orang yang pernah rundung lo. 

Setelah pembicaraan berakhir, Satya memijat tengkuknya yang pegal. Berhari-hari dia kurang tidur demi bisa meraih ambisinya. 

***

Semua karyawan kafe dalam mode sibuk, selama ini Magara agak kesulitan saat ingin belanja bahan sendiri. Karena dirinya nyaris pegang kerjaan fulltime. Kia yang mendengar keluh kesah Magara segera mencari asisten untuknya. 

Beruntung mendekati hari kafe di-booking acara ulang tahun, Magara dapat orangnya. Dia sudah kenal lumayan lama dan tahu kemampuannya. Kia setuju dan percaya sepenuhnya dengan pilihan Magara. 

Nah, hari ini setelah jam makan siang, Magara ingin membeli beberapa bahan yang dibutuhkan untuk acara. 

"Mbak Ina, gue keluar dulu. Tadi sudah kasih intruksi detail sama asisten gue. Semua aman." 

"Ok, Gara, hati-hati, lo!" 

"Yuhuu, Mbak. Thank's." 

"Gara, gue ikut! Pake mobil gue, aja!" Tanpa menunggu jawaban dari Magara Kia langsung meletakkan kunci mobilnya di telapak tangan Magara. 

Magara masih belum yakin dengan kejadian barusan. Tetapi sungguh telapak tangannya ada kunci mobil. Dia menoleh sosok Kia yang sudah berjalan ke mobil lebih dulu. Takurung senyum lebar langsung muncul. 

Pemandangan itu dirasa sangat indah di mata Kia. Setelah malam itu Kia bisa melihat Magara yang begitu tulus dan benar-benar menganggapnya berarti. Magara tersadarkan dan segera melangkah lebih cepat. Kakinya yang panjang dengan mudah menyusul Kia dan berjalan di depan. Membukakan pintu untuk bos tercantik, salah satu hal yang harus Magara lakukan. 

Bagi Kia, tentu saja menjadi hal manis yang membuat hatinya menghangat. Pipinya pun tertular jadi merona. Magara selalu suka Kia yang seperti itu, tersipu dan menggemaskan. 

"Kita berangkat?" 

"Yups, ayo!"

Dua sampai tiga detik Kia menunggu tapi Magara belum maju juga, padahal mesin sudah dihidupkan. 

"Gar, lo bisa nyetir, kan? Punya SIM juga?" 

"Lo telat nanyanya, Mbak. Gue udah di kursi kemudi, nih." 

"Ha? Jadi …." 

Tawa Magara meledak. Serius, raut muka Kia kalau panik lucu banget. 

"Iish, lo bercanda, ya? Dasar, ya!" Kesal mendorong Kia memukul lengan cowok di sebelahnya. 

"Aaw, ampun, Mbak! Serius … aw ….. Mbak Kia!" Entah bagaimana awalnya, mungkin karena ingin menghindar dari pukulan, kini tangan Magara mencekal tangan Kia. 

Keduanya saling berpandangan. Kali ini Magara tidak sudi menghindari perasaannya lagi. Dia mengunci Kia dengan tatapan tajamnya. Jangan tanya seperti apa jantung berdetak. Sepertinya Kia pun sama. Saat ini keduanya bisa mendengar detak jantung masing-masing yang amburadul di dalam sana. 

Magara menyapu setiap inci wajah Kia dengan mata teduhnya. Seiring detak jantung dan waktu, Magara makin dekat dan mengikis jarak. 

Please, Mbak! Kalo lo punya rasa sama kayak gue, jangan menghindar. 

Hati Kia sudah tak bisa diajak kompromi. Menyadari Magara yang menatapnya dengan intens, dan dirinya yang hanya terdiam itu sudah jadi jawaban kalau dia menyukai pria ini. Berondong yang usianya empat tahun lebih muda darinya. 

Kia, putusin sekarang! Mundur atau tetap di situ dan terima apa yang akan terjadi. Sadar, Kia!! Apa berhasil? Gagal, nol besar. Kia sudah pasrah dengan semua tindakan Magara sebentar lagi. 

Ketika momen makin dekat dan saling bersentuhan nyaris terjadi, suara klakson dari mobil pelanggan yang baru masuk tempat parkir, membuyarkan semuanya. Sontak mereka mundur dan berpaling. Sejenak keduanya menata emosi dan berusaha mengendalikan diri. 

"Maaf, Mbak. Kita berangkat sekarang." 

"Ya." Kia mendengar suaranya bergetar. Tangannya pun dingin. 

Baiklah, perasaan itu sudah jelas dan disadari Kia sepenuhnya. Tetapi dia masih merasa hal ini akan memalukan kalau dia yang bicara lebih dulu. Lebih baik dia tunda dan menyimpannya rapat-rapat. 

Suasana canggung tercipta. Kia berharap Magara tak membahas hal tadi sekarang. Sungguh, dia tidak siap. 

Terdiam dan hening menjadi hal membosankan bagi Magara. 

"By the way, makasih untuk selimutnya tadi malem. Padahal Mbak bisa bangunin gue. Kenapa?" 

"Gue nggak tega bangunin. Tidur lo udah kayak bayi, nggak gerak sama sekali." 

"Itu artinya gue nggemesin." 

"Apa? Gue nggak salah denger?" Kia sebal tiap kali mendengar betapa pe-de baristanya satu ini. Tetapi suka gimana, dong!  
"Lo bilang gue kayak bayi. Semua bayi tuh, nggemesin. Kayak aku!" 

Ampun, deh! Magara ini, ya. Stok percaya dirinya dapet dari mana, coba? Kia menarik napas panjang dan berusaha tidak menanggapi lagi. Sudah cukup suasana canggung tadi.

"Fokus nyetir, Gara!" perintah Kia tegas. 

"Siap, Bu Kia!" Tentu saja Magara harus fokus. Tidak mungkin dia mau sembrono nyetir mobil berharga milyaran. 

Tempat yang dituju tidak terlalu jauh dari kafe. Hanya saja jalanan yang agak padat, membuat Magara tidak bisa menambah kecepatan lagi. 

Pegunjung toko tidak terlalu ramai, tapi kasirnya lumayan antri juga. 

"Mbak Kia kita mencar aja, ya? Biar cepet selesai." 

"Ya." Padahal Kia cuma berniat pengen ikut saja tadi. Bertepatan dengan Magara pamitan ke Ina, Kia mendapat pesan dari Ryan, kalau Satya mau datang ke kafe. Karena itu dia reflek langsung bilang mau ikut. 

Setelah mendapat sebagian bahan yang dicari, Magara hendak berbalik menuju kasir. 

"Astaga!! Mbak Kia ngagetin, ih!" 

Bersambung

Kenapa lagi, Gara? Kia bikin kamu ngerasa apa lagi? Lama-lama aku yang geregetan, nih. Wkwk.

Thank you for reading. Jumpa lagi di next part, ya.










Aroma Kopi Sempurnakan Lukisan Hati ( TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang