16. PENANTIAN

12 2 0
                                    

"Sayang, jangan panik. Gue ke apartemen sekarang. Ok?" 

"Tapi kalo mereka curiga gimana?" Kia jadi tambah panik dengan niat Magara. 

"Bilang aja gue pegawai lo, terus mau belanja kebutuhan kafe. Nggak bohong kan, gue beneran pegawai lo." 

"Bodo, ah! Gue udah buntu, nggak ada ide. Kasih kabar kalo udah sampe." 

"Siap, Sayang!" Magara bergegas mengambil kunci motor dan bergegas. 

Sepanjang perjalanan senyum tak lepas dari bibir pemuda itu. Sedangkan Kia mondar-mandir tak tenang. Mereka baru saja memulai hubungan, dan terpaksa juga harus diam-diam. Bukan kebiasaan Ryan sebenarnya, mengirim pengawal seperti ini. Tetapi buktinya mereka bilang papanya yang kasih perintah. 

Tak lama terdengar suara dari luar, Kia segera menghidupkan layar intercom, suoaya bisa melihat siapa yang datang. Benar saja, Magara sedang ditahan dua pengawal tanpa mau mendengar penjelasan sama sekali. 

"Dia pegawai saya, Pak. Lain kali bisa tanya saya dulu, sebelum main tahan seenaknya." Kia membuka pintu apartemennya tepat waktu. Magara nyaris terkena bogem mentah dari salah satu pengawal. Kia tidak suka kekerasan, dia berusaha menahan emosi. 

"Saya minta kalian pergi, aja! Nanti saya yang urus sama Papa."

Kedua orang itu langsung panik saat Kia bilang mau bilang ke Ryan. "Jangan, Mbak! Kami akan turuti Mbak Kia. Tapi ijinin kami kawal dari belakang, biar lebih aman." 

Magara mencium ada yang tidak beres. Entah apa, tapi mereka seperti menyembunyikan sesuatu. 

"Kami akan belanja bahan buat kafe. Kalo kalian mau ikut ke pasar, silakan." Magara berbohong soal mereka akan ke pasar. Beruntung dia bawa motor, dan helem baru juga sudah siap untuk&& dipakai Kia. 

Dua pengawal itu saling pandang, lalu mengangguk setuju. Sayangnya mereka terpaksa kehilangan jejak Magara dan Kia karena jalanan padat. Motor jelas bisa jalan di sela kendaraan lain. Tetapi mobil mustahil bisa menyusul. 

Sampai di sebuah warung bubur ayam, Magara berhenti. 

"Ga, gue nggak sempet sarapan di sini. Gue …." 

"Sst, cuma sebentar. Kita beli bungkus, aja, terus dimakan di kafe." Magara memesan dua porsi, lalu mengambil satu bangku untuk Kia duduk. 

Kia masih seperti mimpi, dia sudah mengambil langkah berani dengan memacari Magara. Barista yang bekerja di kafenya dan berusia lebih muda. Sejauh ini Magara sangat dewasa dan bisa mengimbangi dirinya. Tetapi mereka baru kenal, kan. Kia tidak pernah tahu ke depannya seperti apa. 

"Mbak, jangan ditatap terus. Kalau gue khilaf terus lakuin sesuatu, gimana? Apa nggak jadi masalah?" Magara tahu dari tadi Kia menatapnya sambil memikirkan sesuatu. 

"Lo ini, ya. Gue cuma nggak percaya aja, kita bisa … lo tahu maksud gue." Ia mengalihkan arah pandangnya ke jalanan. 

"Jangan jadi beban, Mbak! Gue tahu semua resikonya saat mengambil langkah ini. So, biarin semua berjalan apa adanya." 

Ya, sejak awal Magara tahu Kia Sudirja bukanlah orang sembarangan. Dia tahu pasti apa yang akan dia hadapi pasti tidak mudah. Termasuk keamanan karir, kehidupan pribadi dan masa lalu. 

Sampai di kafe, dua pengawal sudah sampai lebih dulu. Satu orang sedang berdiri sambil berulangkali melihat jamnya. Satu orang lagi sedang menelepon seseorang. Sebelum sempat mencuri dengar, si pengawal tahu dia datang dan langsung mengakhiri teleponnya. 

Aneh, kenapa tidak ada ucapan perpisahan. Dia lebih kelihatan langsung mematikan telepon karena ketahuan. Kia akhirnya hanya menatapnya dingin sambil melewati dua pengawal itu. Dia harus hubungi Ratih dan mencari informasi. 

"Mbak, buburnya jangan lupa dimakan. Ntar Mbak Ina marahin gue nggak perhatian sama lo." Magara mengingatkan Kia dengan ekspresi serius. Bahkan senyum pun tak ada di sana. 

"Ok, Ga!” Kia segera memasuki ruangannya dan tidak bisa menahan senyumnya lagi. 

Ayo, Kia! Fokus, waktunya kerja. Soal dua pengawal itu dia akan tunda sementara waktu. Biarkan mereka menjalankan tugasnya. Dan dia harus fokus rekap laporan keuangan sejak tiga bulan lalu. Melihat hasilnya, Kia optimis kafenya akan bertahan dan Ryan harus bangga padanya kali ini. 

Hari itu kafe dalam keadaan ramai. Nyaris kewalahan tetapi bisa diatasi oleh semua pegawai. Beruntung semua menu yang dipesan tersaji dengan baik, meskipun ramai. 

"Mbak Ina, apa kabar pemasukan hari ini?" Magara  mendekat sambil membawa tiga cangkir kopi. "Ini hadiah kecil karena sudah kerja keras hari ini." 

"Wah, makasih, Ga." Ina langsung menyeruput kopinya dengan nikmat. Lelahnya serasa menguap lewat puncak kepalanya. 

"Gue ke ruangan Bos dulu." 

Ina mengangguk lalu menikmati kopinya lagi. Dia tidak akan mengganggu mereka, hanya menunggu waktu semua diumumkan. Ina bisa menebak ada sesuatu antara mereka berdua, tapi diam dan pura-pura tidak tahu. 

"Bos, boleh gue masuk?" Magara masuk dengan nampak di tangannya. 

"Masuk, Ga." Kia berbicara tanpa melihat kekasihnya. 

"Minum dulu, yuk!" Magara menaruh kopi di atas meja. Melihat Kia tak beranjak juga, membuat Magara menghampiri. 

"Sepenting itu layar laptop dibanding gue?" Magara menunduk tepat di samping Kia. Dengan gerakan cepat, dia mendaratkan satu kecupan di pipi kekasihnya. 

Tindakan Magara ini sontak menghentikan aktivitas Kia. Magara tidak memedulikan reaksi yang terjadi, karena dia tahu pipi itu pasti sudah merona. 

"Memang gue sepenting apa buat lo?" Kia menyusul ke sofa setelah menyimpan di berkas untuk dikirim ke Ryan. 

"Perlu gue buktiin apa? Melamar waktu pertemuan keluarga, gue siap." 

Kia menoleh dengan tatapan tak percaya. Tetapi dia belum siap untuk itu. Tidak sekarang, masih terlalu banyak masalah yang belum selesai. Jangan sampai Magara terlibat. 

"Jangan sekarang, Ga! Terlalu besar resikonya dan aku belum mampu melawan Papa. Biar gue beresin satu-satu dulu. It's ok?" 

Magara mengangguk. Dia sadar sepenuhnya, butuh proses lebih bagi Kia menghadapi semuanya.

"Gue tahu. Take your time." 

"Oiya, soal pertemuan keluarga, lo bisa temenin gue?" Kia butuh teman untuk perang. 

"Tapi gue orang luar, bukan keluarga lo. Apa nggak jadi masalah?" 

Magara bisa saja langsung menerima kalau memang dibutuhkan. Tetapi apa iya, ini pertemuan keluarga. Kalaupun Kia perlu senjata, dia bisa sediakan itu. Selama ini dia selalu rutin update gimana kafe dari hari ke hari. Proses perubahan yang bagi Magara berharga itu sudah dia simpan dengan aman. 

Kia sudah memikirkan hal ini sejak lama. Tetapi perkataan Magara ada benarnya juga. Bisa saja Magara jadi bulan-bulanan dari mereka yang kerjaannya suka julid. Keluarga besar Sudirja tidak lepas dari orang macam netizen yang suka nyinyir. 

Namun, satu sisi hatinya ingin Magara ikut bersamanya. Ini langkah awal untuk memperkenalkan Magara. Saat nanti mereka umumkan hubungan, paling tidak mereka tahu Magara adalah salah satu orang yang berhasil membuat kafe semaju sekarang. 

To be continued

Thank you for reading. Stay safe and healthy, ya.



Aroma Kopi Sempurnakan Lukisan Hati ( TAMAT) Where stories live. Discover now