23. DILEMA

10 3 0
                                    

Sontak Kia menjauh dari Magara. Keduanya sangat terkejut melihat siapa yang datang.

"Ina! Lo bikin gue jantungan." Kia merutuk dirinya kelupaan menutup pintu.

"Masuk, Mbak. Mau minum apa?" Magara membuka lemari pendingin, dan hanya menemukan botol air mineral. "Ups, maaf, cuma ada air mineral."

"Udah, Ga! Lo masih sakit, santai, aja. Ntar kalo gue haus, bakal ambil sendiri." Ina mengajak keduanya duduk. Ekspresinya menunjukkan ada hal serius yang sudah terjadi.

"Ada apa, Na? Sesuatu terjadi?"

"Om Ryan datang ke kafe dan bilang, kafe akan ditutup sementara waktu. Gue kepikiran gimana sama anak-anak, mereka butuh gaji buat hidup."

Meskipun kejadian itu ada di area parkir, dan tidak masalah kalau kafe tetap buka, tetapi kemungkinan aktivitas jual beli akan terganggu. Pelanggan bisa saja kurang nyaman dengan TKP kejahatan yang bagi sebagian orang mengerikan. Apalagi kejadiannya penikaman.

"Lo bener, Na. Ntar gue ngomong sama Papa." Kia memang sudah berniat bicara serius dengan Ryan. Ada beberapa hal yang perlu dibuat lebih jelas.

Ina mengangguk, hanya itu yang perlu dia sampaikan sekaligus melihat kondisi juniornya.

"Gue lega lo baik-baik saja, Ga. Gue pasti ngerasa bersalah banget kalo sampe terjadi sesuatu sama lo."

"Jangan gitu, Mbak. Bukan salah lo, kali. Justru kalo lo masih di sana, bisa saja lo terluka juga." Magara bersyukur cuma dia sendiri di sana. Seharusnya dia bisa mengelak dari serangan Satya, tapi keberuntungan sedang tidak berpihak padanya.

"Ya udah, gue nggak mau ganggu lagi. Bos K, lo juga butuh tidur, gue tahu lo beberapa hari susah tidur."

Magara langsung melihat Kia yang sedang melotot pada Ina.

"Serius? Jadi, selama ini lo insomnia, gue nggak tahu?"

Ina menghela napas. Mulai lagi mereka berdua, padahal lukanya masih basah, mau sok-sokan marah.

"Nggak penting bahas gue. Yang lebih penting lo makan, minum obat terus tidur. Marahnya tunda dulu." Kia mendahului ceriwis sebekum Magara melanjutkan investigasi tentang jam tidurnya.

Ina tersenyum melihat kelakuan pasangan itu. Dia pamit pulang dengan membawa botol air mineral.

Sepeninggal Ina, Magara dipaksa Kia untuk berbaring. Luka di perutnya masih rentan jika terlalu banyak bergerak.

"Mbak, gue bisa anterin lo pulang, atau ke mana pun tujuan lo." Magara masih saja menolak dan memaksa bangun.

"Lain kali saja. Jangan khawatirin gue, pelaku sudah ditangkap dan ada pengawal Papa, yang sementara ngawal gue sampai lo pulih." Kia menyiapkan makan yang tadi dia beli, lalu memastikan pacarnya minum obat.

Setelah Magara tertidur, Kia mengecek ponsel. Saat di rumah sakit dia tidak peduli dengan ponselnya. Begitu kondisi membaik, ponselnya malah kehabisan baterai. Ada notifikasi masuk dari Ryan dan beberapa orang menanyakan tentang tragedi di kafe, begitu ponselnya bisa hidup lagi.

Dia segera mengetik balasan untuk Ryan. Kia minta bertemu sebab mereka harus bicara.

***

"Kamu utang penjelasan sama Papa, ingat?" Ryan langsung bertanya tanpa basa-basi.

Kia yang baru saja menaruh bokongnya tentu saja terhenyak.

"Iya, Pa. Kia akan jelasin sekarang."

"Jadi, ada apa antara kamu sama barista itu?" tanya Ryan dengan menatap tajam Kia.

Aroma Kopi Sempurnakan Lukisan Hati ( TAMAT) Where stories live. Discover now