22. TERKUAKNYA RAHASIA

14 2 0
                                    

"Jangan bergerak!" Dua orang polisi langsung menodongkan pistol ketika Satya berusaha menyerang Kia. Dengan sigap mereka membekuk Satya. Salah seorang dari mereka segera menghubungi ambulans. 

Kia yang melihat Magara sudah bersimbah darah, berlari tanpa memedulikan keberadaan Satya yang bisa melakukan apa pun. Untunglah, hal itu tidak perlu terjadi. 

"Ga, harusnya gue yang terluka, bukan lo. Sadar, Ga! Jangan tinggalin gue!" rintih Kia dengan isak tangis. 

Magara lega, Kia datang tidak sendiri dan Satya sudah ditangkap. Rasa sakit yang tadi terabaikan, sekarang menyergap seluruh tubuh dan otaknya. 

"Maaf, Mbak." 

"Jangan banyak ngomong dulu, Ga. Simpan tenaga lo." 

"Maaf, nggak bisa tepati janji." 

Tangis Kia makin kencang. "Enggak! Lo bakal baik-baik, aja, Ga." 

Magara benar-benar lemas. Dia kehilangan banyak darah, dan kesadarannya pun menghilang. 

"Ga! Gara! Sadar, Ga, gue mohon. Gimana ini? Gara!" Kia panik, berulangkali dia memanggil kekasihnya sambil menekan luka yang pisaunya masih tertancap. Muka Magara pucat dan bibirnya mulai membiru. 

Pertolongan pertama segera dilakukan, dan Magara secepat mungkin dibawa ke rumah sakit. Kia mendampingi Magara dan tak sedetik pun melepas genggaman tangannya. Air matanya terus mengalir tanpa bisa Kia tahan. 

***

Tim medis rumah sakit sudah siap menerima korban, memeriksa golongan darah dan segera melakukan transfusi. Denyut jantung Magara bahkan sempat menghilang dan diperlukan tindakan pacu jantung hingga beberapa kali. 

Tim medis di IGD tidak menyerah begitu saja, hingga jantung Magara akhirnya bisa kembali berdetak. Sesegera mungkin dilakukan tindakan operasi, dan tim bedah sudah siap dengan tugas berikutnya. 

Kia sudah tak bisa berpikir hal lain. Ryan dan Ratih segera datang setelah dihubungi pihak kepolisian. Rencana bertemu Bian terpaksa dia batalkan karena kejadian ini. Ratih tampak khawatir dan terus menerus meremas kedua tangannya. 

"Satya sudah ditangkap kan, Pa? Tolong pastikan dia dihukum berat karena ini." Ratih tidak bisa memberikan kesempatan lagi buat orang sebejat Satya. 

"Tenang, Ma. Papa sudah urus semuanya." Ryan segera menghubungi pengacara keluarga begitu dapat informasi. 

Ryan juga minta anak buahnya mencari tahu siapa Magara. Pasti ada alasannya dia jadi korban penusukan Satya. Selama ini dia hanya tahu kalau laki-laki itu karyawan kafe. Kalau Satya ingin menguras emosi Kia atau dirinya, seharusnya bukan Magara yang jadi sasaran. Kecuali mungkin ada hal yang dia tidak tahu tentang Kia dan Magara. 

Sesampainya di rumah sakit, Ratih makin panik melihat Kia juga terkena darah. 

"Kamu terluka? Sudah diobati?" Ratih mengecek tiap inci di tubuh Kia. 

Tetapi dia langsung bernapas lega setelah Kia menjawab itu bukan darahnya. Ryan mulai yakin dugaannya benar. Ada sesuatu antara putri angkatnya dengan barista itu. Baiklah, soal ini akan diurusnya nanti. 

Magara masuk ICU setelah tindakan operasi dilakukan. Operasinya berjalan lancar, tinggal menunggu pasien melewati masa kritis. Kia enggan meninggalkan Magara sendiri, dia takut kalau terjadi sesuatu lagi. 

"Kia, kamu perlu mandi, ganti baju dan istirahat. Pulanglah dulu, nanti ke sini lagi," bujuk Ratih. 

"Kia takut ada apa-apa lagi, Ma." Kia makin erat menggenggam tangan Magara. 

"Mama yang akan jaga di sini. Papa juga sudah minta polisi berjaga di depan dan sekitar rumah sakit." 

Kia menatap mamanya ragu. Tindakannya sejak kejadian malam itu pasti mengundang pertanyaan dari orang tuanya. Dia tidak peduli kalau sekarang akan makin banyak orang tahu tentang hubungannya. 

"Ma, Kia mau …." 

"Kita bicara soal itu nanti, ok? Sekarang kamu pulang dan istirahat. Papa akan nyusul ke sini nanti." 

Akhirnya Kia mau pulang. Benar kata Ratih, bajunya sudah kotor kena noda darah. 

***

Masa-masa kritis bisa Magara lewati, dia bangun saat matahari menerobos jendela kamar rawatnya. Lemas, sakit di bagian luka, dan tenggorokannya kering. 

Gue masih hidup? Magara hampir tidak percaya masih diberi kesempatan hidup setelah terluka parah. Bahkan rasa sakitnya tidak ingin diingatnya. 

Pergerakan jemari Magara disadari Kia yang baru saja terbangun. 

"Ga? Lo sudah sadar? Gue panggil dokter, ya?" 

"Mbak. Gue nggak apa-apa. Gue kangen lo." Dengan suara seraknya, Magara membuat Kia salah tingkah. 

"Lo ... lo baru bangun ya, Ga. Jangan macem-macem, deh! Gue harus panggil dokter, otak lo harus diperiksa juga, kayaknya." Kia keluar kamar untuk memberitahu perawat jaga area ICU. 

Magara tersenyum, tadinya ingin tertawa, tapi nyeri lukanya langsung muncul. 

Masa pemulihan Magara lumayan cepat, dia pasien yang tampan dan patuh. Itu yang perawat rumah sakit katakan. Magara memang sudah terkenal di salah satu aplikasi sosial media. Di hari kepulangannya saja, sudah seperti jumpa fans. Bukan pemandangan aneh bagi Kia dan karyawan kafe, kalau ada pelanggan minta foto bareng.  

"Maaf, Magara harus pulang, ya. Dia butuh istirahat." Akhirnya pihak keamanan membantu Kia membawa Magara keluar dari kerumunan. 

Dalam mobil Kia lebih banyak diam. Dia kesal melihat pemandangan Magara dikerubuti cewek-cewek. Dia cemburu, tapi hanya berani diakuinya dalam hati. Mana tega dia marah di saat Magara belum sepenuhnya sembuh. 

"Gue tahu lo kesel, Mbak. Maaf, gue cuma balas kebaikan mereka, aja. Kalau nggak ada mereka yang jadi tim medis waktu itu, mungkin gue udah lewat." 

"Huss! Kalo ngomong jangan suka ngawur. Lo nggak tahu kayak apa takutnya gue waktu …." Kalimat Kia terhenti. Suaranya tercekat tiap mengingat malam berdarah itu. 

Magara menggenggam tangan kiri kekasihnya. "Kita bisa berhenti sebentar, kalo lo mau." 

"Gue nggak apa-apa. Kita langsung balik aja, biar lo bisa istirahat." Kia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. 

Di apartemen, Magara terkejut semuanya bersih dan rapi. Padahal terakhir dia tinggalkan kondisinya tidak bisa diselamatkan. 

"Gue minta bantuan asisten di rumah Mama buat beres-beres. Khusus kamar aku nggak sentuh sama sekali." 

Magara mengangguk. Dipeluknya Kia agak lama. Selama di rumah sakit kesempatan seperti ini jarang ada, bahkan tidak ada. Banyak mata melihat dan mengawasi. 

"Ga." 

"Bentar lagi, Mbak. Gue kangen banget sama lo." 

Dasar, ya, anak muda kalau sudah menyangkut perasaan cinta lupa segalanya. Pintu masih terbuka lebar dan tidak sadar ada tamu datang. 

"Ehem! Permisi." 

Bersambung

Pintu tutup dulu dong, Pak Gara. Wkwkwk.

Aahh, ikut lega. Tapi gimana Ryan, ya?

See you next, Guys. Hari ini up dua kali. Alhamdulillah, ngejar DL, nih. Ketahuan, ya.

Thank you for reading.

Aroma Kopi Sempurnakan Lukisan Hati ( TAMAT) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora