15. DATING FOR THE FIRST TIME

8 1 0
                                    

Apartemen Magara sudah di depan mata. Kia mematikan mesin mobil dan melihat barang bawaannya tidak tertinggal. Dia sengaja mematikan ponsel supaya tidak ada seorang pun yang menghubunginya. Malam ini dia tidak mau diganggu. Meskipun tak bisa dihindari kalau Magara yang diganggu nantinya. 

Sampai di depan pintu, baru Kia ingat dia lupa tidak tanya password pintu apartemennya. Jadi harus menekan bel beberapa kali dulu, dan meletakkan barang bawaannya di lantai. 

"Hai!" Kia sedikit canggung begitu Magara membuka pintu. 

"Masuk, Mbak. Welcome to my apartment."  Magara membuka pintu lebih lebar. Melihat Kia membawa barang begitu banyak membuatnya langsung mengambil alih. "Ini apa?" Magara meletakkan semua di atas karpet di depan televisi. 

"Ada beberapa koleksi yang gue simpan dan suka. Semoga lo juga suka. Oh, ada makanan juga, biar gue bantu." 

"Wah, Mbak Kia, nih, benar-benar terbaik. Gue yang undang makan malam, tapi lo yang bawa makanannya. Jadi khawatir nih, masakan gue bakal utuh malam ini." 

"Gara, lihat dulu, dong! Gue cuma bawa kue dan camilan. Makanan utama ya, harus lo yang sediain." 

Magara tertawa, kekasihnya ini tidak mau rugi, rupanya. 

"Tapi kalo masakan lo membuat perut mulas, mending gue pesan online." Kia bercanda dengan ekspresi sok seriusnya. 

"Dih, coba dulu baru komentar. Gimana, mau makan sekarang?" Magara menghampiri Kia yang masih merapikan plastik bekas makanan yang dibelinya. 

Gerakan Kia mendadak terhenti saat lengan kukuh Magara memeluknya dari belakang. "Gue kangen lo, Mbak. Banget! Kalo enggak karena harus rapihin barang, gue sudah lari ke kafe." 

Kia mengusap lengan Magara lembut. Dia juga merindukan pacar berondongnya ini. Disandarkannya tubuh dan kepala, lalu memejam. Untuk sejenak Kia ingin menikmati rengkuhan dan kedekatan yang begitu nyaman. 

Suasana jadi hening tanpa suara. Bahkan mungkin mereka bisa mendengar detak jantung masing-masing. Tak dinyana malah suara keroncongan, entah dari mana asalnya. Keduanya tertawa karena jelas sekali sumber suara dari perut mereka. 

"Kita udah kelaparan, ternyata. Ayo, makan!" Magara melepas pelukan dan tetap menggenggam jemari Kia. 

Kia mengangguk dan mengikuti Magara ke ruangan dekat jendela kaca, yang menyuguhkan pemandangan luar apartemen. Lantai lima belas  menghadirkan pemandangan malam hari penuh gemerlap lampu. 

Sepanjang mereka makan tak banyak bicara. Tapi dari reaksi wajah dan gumaman Kia, Magara tahu masakannya bisa diterima lidah sang kekasih. Dia jadi ikut menikmati hasil masakannya dengan tenang. 

"So, setelah ini apa jadwal kita berikutnya?" Kia duduk bersandar di sofa sambil mengelus perutnya. "Baru kali ini gue makan sekenyang ini. Lo tanggung jawab, kalo berat badan gue naik banyak angka." 

Magara tersenyum sambil geleng kepala. Bagian tubuh mana dari Kia yang harus dikecilkan, dia bingung. Dilihat dari sisi mana pun, tubuh kekasihnya masih aman untuk makan tanpa pantangan. 

Malam ini Kia benar-benar lewatkan segala macam diet. Bodo amat dengan list diet yang diberikan Ratih untuknya. Toh, badan tidak segitu gendutnya. Dibandingkan Ina, dia lebih ramping sekarang. 

"Gue sih, nggak ada ide." Magara menaruh beberapa toples yang sudah terisi dengan camilan yang Kia bawa. 

"Gue pengen nonton drakor, ada film korea yang bagus, kalo lo mau. Tapi gue nggak tahu selera lo." Kia membenahi ikatan rambutnya yang sesikit kendur. 

Rupanya tindakan Kia ini menarik perhatian Magara. "Stop!" 

"Ha?" Kia reflek berhenti. Makin gugup saat Magara menghampiri dan berada tepat di sampingnya. 

Kia tidak mencegah Magara, meskipun otaknya berantakan karena memikirkan banyak hal yang mungkin dilakukan. Dia yakin semua aman terkendali. 

Sejak lama Magara suka rambut bergelombang Kia. Panjang dan lembut saat dipegang. Dugaan Kia benar, Magara hanya membantu mengepang rambutnya dan mengikat dengan rapi. 

"Wah, gue belum pernah mengepang sendiri. Lo harus ajarin gue, Ga!" 

Magara tersenyum. Kia makin cantik, mungkin rambutnya yang tampil beda, membuat wajah terkesan beda pula. Tatapan Magara makin intens dan tak ingin beralih. Kia tertunduk, ada perasaan aneh muncul saat bertatapan dengan Magara. Cowok ini berondong, tapi tetap pria dewasa yang juga berstatus kekasihnya. 

"Mbak, may I?" Magara mengangkat dagu Kia supaya kembali menatapnya. 

Kia berkedip beberapa kali, sungguh momen ini yang sering dia tonton, bahkan dia melakukan lebih dulu waktu itu. Kenapa sekarang gugup? 

Magara tidak menghentikan niatnya. Kia terdiam memuluskan Magara mencapai keinginannya. Kali ini semuanya terjadi lebih dalam dan menuntut. Begitu lama hingga Kia mengakhiri lebih dulu. 

"Gue nggak bisa lebih lama di sini," ujar Kia dengan posisi mereka masih sangat dekat. 

"Kenapa? Lo marah?" 

Kia menggeleng. "Gue takut lepas kontrol dan menerjang lo semalaman." Kia tertawa setelah mengatakan kalimat nakalnya. 

Magara tertawa, gemas sekali melihat sisi lain dari seorang Kia yang dikenal orang datar dan dingin. Dipeluknya sekali lagi tubuh gadis di depannya. 

"Gue baru tahu pacar gue ternyata nakal banget. Gue anterin pulang, ya?" 

"Nggak usah, masih jam sepuluh. Aman. Nanti gue telepon begitu sampai apartemen." 

Kebersamaan yang intim dan menyenangkan. Baik Kia maupun Magara, malam itu makin mengikat kedua hati untuk saling menjaga dan mencintai sampai kapan pun itu. Sejenak Kia melupakan pertemuan keluarga yang makin dekat. 

***

Keesokan pagi, Kia dibangunkan suara alarm sekaligus bel pintu apartemennya. Jam di ponsel masih menunjukkan jam setengah enam pagi. Memang matahari sudah tinggi, tapi apa iya, sepagi ini orang bertamu. 

Dengan terpaksa Kia menyeret langkah ke pintu. Dia melihat dari intercom siapa yang datang. Saat melihat dua orang tak dikenal dengan pakaian rapi, Kia mengurungkan niat untuk buka pintu. 

"Maaf, mau bertemu siapa?" 

"Kami diminta Pak Ryan mengawal Mbak Kia mulai hari ini."

"Ok, tolong tunggu di luar, ya. Saya perlu siap-siap." Kia mematikan intercome dan bergegas mandi. 

Bagaimana cara menghindari mereka? Yang benar saja, sepanjang hari dia dikawal. Dan semua kegiatannya akan berlanjut laporan di meja Ryan. 

Masih pagi sekali kalau dia pergi ke kafe sekarang. Dan hubungannya dengan Magara akan jadi masalah besar kalau Ryan tahu. Dia mencintai Magara, tapi tidak bisa melibatkan pria itu ke dalam masalahnya. 

Begitu sudah siap, Kia menghubungi Magara yang ternyata baru selesai olah raga. 

"Ga, ada pengawal dikirim Papa. Apa maksudnya, coba? Semua gerak-gerik gue pasti akan diawasi." 

"Mbak …." Panggilan pertama 

"Kita nggak bisa bebas ketemuan lagi, Ga. Paling di kafe, aja." 

"Mbak Kia …." Panggilan kedua masih belum direspon. 

"Ga, kita lari, yok!" 

"Sayang!" Hening. Panggilan terakhir berhasil membuat Kia mendengarkan. "Mulai sekarang gue panggil Sayang, ok?" 

Wajah Kia tiba-tiba memanas. Aargh, dasar Magara, ini. Lagi panik juga sempat-sempatnya bercanda. 

Bersambung

Cie cie cie, jadian, nih? Congrat ya, Magara-Kia.

Pengawalnya bisa  dikibulin gak, sih. Kasih sogokan aja, kopi buatan Magara kan, enak.

Dahlah, kita pikirin di episode berikutnya, ya.

Thank you for reading. See you again.

Aroma Kopi Sempurnakan Lukisan Hati ( TAMAT) Where stories live. Discover now