6. LET'S DO IT!

8 2 0
                                    

Lebih bersemangat dan langsung terbangun begitu alarm berbunyi, itulah yang Magara lakukan hari ini. Berbeda, dia seperti kembali ke masa-masa di mana ada yang mewajiban harus dilakukan. 

Magara, seorang yatim piatu yang dibesarkan di sebuah panti asuhan. Masa kecilnya cukup beruntung karena bisa menyelesaikan sekolah hingga SMA. Setelah bekerja serabutan, apa pun dikerjakan demi menyambung hidup dan membantu ibu panti, akhirnya Magara menemukan pekerjaan yang membawanya di titik sekarang. 

Magara bekerja di kafe sebagai pelayan. Di sinilah dia belajar banyak tentang kopi, dan seluk beluknya. Ada kenangan tentang mendiang sang ayah saat menghidu aroma kopi. Dan itu sangat menyenangkan. 

Bertahun-tahun Magara betah kerja di sana, dengan gaji yang dia kelola sebaik mungkin. Perlahan tabungannya bertambah, dan melahirkan sebuah mimpi membuka kafe sendiri dengan membawa adik-adiknya di panti untuk bekerja bersamanya. Masa lalu yang cukup keras dan berhasil dilewati Magara. 

"Selamat pagi, Mbak Ina!" 

"Pagi, Gara yang ganteng. Tepat waktu sekali datangnya." Ina langsung semringah, mulai hari ini suasana kafe akan lebih meriah di matanya. 

"Kalo telat ntar Bos tambah juteknya, Mbak." Magara memelankan suaranya. Keduanya tergelak setelahnya. 

"Mbak suka gayamu, Gar. Teruskan, ya! Kia itu cuma butuh waktu buat percaya sama orang." Kali ini Ina mengatakan kalimatnya dengan serius. 

"Selamat pagi, Bu Kia!" Terdengar sapaan pegawai yang ada di depan. Itu pertanda Kia sudah sampai. 

"Pagi, Bos K!" Ina langsung menghampiri bosnya sambil menunjukkan barista baru mereka. 

"Pagi, Bu!" Magara merasa aneh memanggil Kia dengan 'Bu'. Tahu sendiri obrolan sebelumnya mereka ber-lo gue. 

"Bu? Serius lo panggil gue Bu? Terkecuali lo, panggil gue  kayak kemarin-kemarin, aja!" 

"Ha? Tapi …." 

"Ini perintah!! Na, tolongin gue, yok!" 

Magara tak enak hati kalau melakukan itu. Dia pegawai baru dan apa tidak mengundang iri dari pegawai lain. Bodo amat, lagian bosnya sendiri yang minta. Tapi memang canggung, sih! 

"Gara!" Ina tiba-tiba berbalik dan memanggilnya. 

Magara langsung ke kantor Kia. Ina mempersilakan dia duduk. 

"Persediaan kopi gimana? Lo udah sempat cek?" Kia menatap Magara datar. 

"Sekilas masih aman, hanya ada beberapa item yang gue butuhin, tapi bisa dibeli nanti." Magara sudah menduga kalau barista sebelumnya memang skill-nya masih kurang. Padahal dengan harga yang di tampilkan, pelanggan berharap rasa yang sesuai. 

"Ok, lo buat list apa aja yang harus dibeli. Kasihi ke Ina, nanti gue kirim dana langsung." 

Magara tidak mengerti, Kia begitu saja mengiakan permintaannya. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan responnya kemarin-kemarin. Dia sangat tidak mempercayai kemampuannya. Sekarang? Begitu mudah dia menggelontorkan dana. Bagaimana kalau dia bohong soal item itu? 

"Magara!! Lo denger gue, kan?" Kia menaikkan oktaf suaranya karena ucapannya tidak direspon. 

"Ah, iya. Gu-gue denger. Ok, nanti gue segera bikin list-nya. Gue bisa balik sekarang? Sebentar lagi kafenya buka, kan. Gue butuh persiapan." 

Kia mengangguk. Ina yang menjadi saksi diskusi itu gemas sendiri. 

"Bos K, kalau ngobrol sama Gara, bisa pake senyum nggak, sih?" 

"Apa? Gue biasa aja kali, Na." Suara Kia melunak begitu Magara keluar dari ruangannya. 

"Nah, sama gue bisa. Biar Gara betah di sini. Gue sih, yakin dia mampu naikin omset kafe." 

Kia menghela napas, dia sendiri tidak tahu. Setiap ketemu Magara bawaannya ketus melulu. Dia ingin berlaku sama seperti dengan yang lain, tapi ada sesuatu yang menahan. 

"Jangan-jangan Bos K naksir sejak pertemuan pertama sama Gara?" 

"Ngaco!!" potong Kia cepat. 

"Wo wo wo, santai, Bos K. Gue kan cuma menduga, kalo enggak ya, udah." 

"Na, Magara itu usianya masih muda banget, ya. Jauh banget di bawah gue." 

Lah, ini bos ngakunya nggak naksir, tapi kepo juga. Kia garuk-garuk kepalanya yang tiba-tiba gatal. 

"Kalo dilihat dari biodatanya, iya. Memang kenapa?" 

"Enggak!! Nggak jadi. Gue mau beresin laporan keuangan dulu." 

Seharusnya pertanyaan itu tidak keluar dari mulutnya. Tetapi Ina pasti sudah menyadari keanehan yang terjadi pada dirinya, sejak Magara datang. Dia selalu menjadi sahabat yang paling mengerti Kia. 

Pelanggan mulai berdatangan. Semua berjalan seperti biasanya, hari pertama dengan barista baru, tentu dengan cita rasa yang berbeda pula. Melihat dari ekspresi pelanggan yang meninggalkan kafe, Ina melihat kepuasan. Bahkan ada yang terang-terangan bilang minumannya lebih enak dari biasanya. 

Magara yang juga mendengar hal itu, bernapas lega. Racikan kopinya belum pernah bermasalah sejauh ini. Dia boleh berbangga karena itu, kan. 

***

Setelah beberapa hari berjalan, pelanggan masih stabil datang tetapi belum ada lonjakan. Hal ini termasuk kemajuan, karena sebelumnya akan lebih sepi dan makin menurun. Dia harus bisa terima kehadiran Magara membawa perubahan. 

Kia melihat jam di ponselnya, sudah cukup larut. Tetapi kafe masih buka juga. Bahkan Ina yang sekarang rajin di kasir sampai malam, belum juga datang melapor. Rasa penasaran mendorongnya keluar untuk memastikan. 

"Na, masih ada pelanggan? Kenapa nggak bilang aja, kalo mau tutup?" 

"Gue yang minta tadi." Magara tiba-tiba muncul dari dapur. 

Dia menjelaskan ada meeting penting yang sedang berjalan. Dan mereka menyewa hingga jam sebelas malam. 

Kia melihat jam di pergelangan tangan kirinya, sudah jam sebelas kurang lima belas menit. 

"Ok, kita tunggu!" Kia tidak menjawab dengan omelan. Dia menahan apa yang berjejalan ingin keluar dari bibirnya. Sabar Kia, sabar! 

Rombongan yang terdiri dari 15 orang keluar dari ruangan VIP. Salah seorang mendekati kasir sambil membayar sesuai kesepakatan. 

Setelah kafe dibersihkan, dan semua pegawai pulang, Ina mendekati Kia dengan secangkir kopi. 

"Bos K, diminum dulu, ini kopi buatan Gara." 

"Terus buat lo, mana?" 

"Gue udah kenyang, kopi buatan Gara asli enuuaaak. Cobain, deh!" 

"Lebay banget, sih. Seenak itu, ya?" Kia menyeruput kopi hitam kesukaannya. 

Keningnya berkerut, tampilannya sama tapi rasanya ada yang beda. Racikan ini memang beda dengan es kopi yang dia beli waktu itu. 

"Lo sepertinya harus kenalan sama kopi." 

Kia sontak menoleh, dia mendapati Magara sudah melepas seragamnya. Ada apa dengan cowok ini? Kenapa gue selalu deg-degan nggak jelas seperti ini? 

Kia coba untuk membiarkan rasa itu tinggal. Sebelumnya dia akan langsung marah dan ketus saat rasa aneh itu muncul. 

"Jangan sok ngatur gue, lo! Baru juga mau dipuji!" 

"Lo nggak lupa syarat gue bergabung di sini, kan? Ada beberapa hal yang mau gue ubah. Salah satunya ini." 

"Bos K. Ingat, sabar dan dengar Gara dulu. Gar, lo juga. Gimana juga Bos K ini owner dan dia lebih tua dari lo!" 

Sialan, Ina! Emang perlu ya, sebutin soal umur? Hiih! Bilang gue tua, lagi. 

Kia melotot ke Ina, dan menyuruhnya diam. Ina sendiri langsung tutup mulut lalu meraih air mineral di meja. 

Bersambung

Nggak ada salahnya kok, Kia. Nurut sama ide pegawai kan, bukan hal memalukan. Apalagi positif.

Terima kasih sudah mampir baca. Ketemu lagi di part berikutnya, ya.

Sehat-sehat dan bahagia selalu.






Aroma Kopi Sempurnakan Lukisan Hati ( TAMAT) Where stories live. Discover now