016. The truth

2.3K 142 1
                                    

Kanaya mengedar pandangannya ke seluruh penjuru ruang acara dengan yang mulut penuh dengan cake yang lumer. Sudah ia duga. Ini benar-benar acara yang membosankan.

Dirinya memilih duduk seorang diri karena sedari tadi kedua orangtuanya sibuk mengobrol dengan teman mereka tentang pekerjaan yang sama sekali tidak Kanaya mengerti.

"Argh bosen banget gue. Kalo pulang duluan nanti dimarahin ayah lagi," ujarnya kesal. Ia pun menidurkan kepalanya di atas meja bundar di depannya.

"Nay?"

Kanaya mengangkat kepalanya lalu menatap lelaki berpakaian rapi didepannya. "Sean? Ngapain lo ada disini?"

Sean malah mengernyit. "Lo yang ngapain disini. Ini acara anniversary orangtua gue."

Mata Kanaya melotot. "Hah? Seriusan lo?"

Sean mengangguk. Lalu duduk di kursi kosong didepan Kanaya. "Lo ngapain disini?"

"Gue ikut ayah gue."

Sean pun membulatkan bibirnya. "Ohh berarti ayah lo kolega bisnis papa."

"Heem begitulah. Btw dimana Zean?"

"Dia gak mungkin kesini. Karena orangtua gue selalu ngelarang."

"Lalu Zean sendirian di rumah?" tanya Kanaya.

"Hmm. Gue gak sempat nemuin dia sore ini karena dia ngurung diri terus di kamar. Mungkin dia lagi belajar dan gak mau diganggu."

Kanaya cemberut mendengar itu.

"Kalian masih ketemu?" tanya Sean curiga.

Dengan cepat Kanaya menggeleng. "Ng-nggak. Gue gak pernah ketemu dia lagi."

"Apa lo nganggap gue jahat, Nay? Karena udah nyuruh lo menjauh dari Zean?" tanya Sean menatap Kanaya dalam.

Kanaya terdiam. Sean tidak jahat. Tapi dirinyalah yang jahat. Dirinya lah yang egois. "Nggak. Gue gak nganggap lo kayak gitu kok, An," jawabnya seraya tersenyum.

Sean ikut tersenyum. "Thanks. Ternyata lo bisa pegang ucapan lo sendiri, Nay."

Senyum kanaya luntur. Ia semakin malu melihat betapa percayanya Sean pada dirinya. "Emm. Gue mau ke toilet dulu ya, An?"

Kanaya ingin pergi dari Sean guna menghindari pertanyaan terkait Zean.

"Iya. Gue juga mau ke aula. Bentar lagi acara inti mau mulai," ucap Sean.

Kanaya mengangguk dan bangkit cepat dari duduknya. Dirinya yang menggunakan dress berwarna biru selutut sukses mencuri perhatian beberapa orang begitu berjalan melewati kerumunan.

Ya, Kanaya memang sangat cantik dengan gaun itu.

Kanaya berjalan ke salah satu ruangan yang ia pikir itu memang toilet. "Lah. Kiri atau kanan?" Ia menunjuk dua lorong didepannya bingung.

"Kiri aja deh."

Tak ingin berlama-lama dirinya masuk ke lorong sebelah kiri yang ia yakini itu adalah jalan menuju toilet.

Namun setelah beberapa menit berjalan lurus, dirinya tidak menemukan toilet. Namun malah sebuah bilik-bilik kamar yang sepertinya digunakan untuk ruang berias.

"Ck. Kok gue tersesat ke sini sih?" dumel Kanaya kesal.

Ia pun berbalik berniat meninggalkan lorong dengan lampu remang tersebut.

"Jangan panik, Rinjani."

Langkah kaki Kanaya terhenti begitu mendengar suara seorang pria dan wanita dalam satu bilik kamar yang pintunya sedikit terbuka.

"Aku takut mereka curiga, Mas."

"Kendalikan diri kamu."

Kanaya memundurkan langkahnya lalu mengintip dua orang di dalam kamar itu. Kanaya terkejut setelah melihat wanita yang dipanggil Rinjani itu ternyata ibunya Zean. Ya, Kanaya masih inget betul paras wanita itu. Dan pria yang berdiri di hadapan Rinjani tampaknya adalah suaminya.

"Apa yang kamu khawatirkan?" tanya Radith dengan suara tenang.

"Aku harus menemui orangtuanya Raya, Mas? Bagaimana kalau mereka tau?"

Kanaya melotot mendengar nama kakaknya disebut.

"Itu sudah 2 tahun yang lalu. Reyhan bahkan gak mencurigai adanya pembunuhan dibalik kematian putrinya. Kamu tidak usah khawatir, sayang." Radith mengusap pelipis Rinjani yang berkeringat.

Dibalik pintu, jantung Kanaya bergemuruh kuat. Apa yang mereka maksud?

"Ini gara-gara anak cacat itu. Jika saja dia patuh. Kita gak mungkin mencelakai Raya kan mas? Iya kan, Mas?" Rinjani menatap suaminya sendu.

Napas Kanaya tercekat. Kebenaran yang barusaja ia dengar membuat tubuhnya bergetar.

"Iya. Kamu benar. Hari itu Raya memang harus di bunuh jika tidak, kita benar-benar bisa masuk penjara karena bukti kuat yang dia punya."

Rinjani memeluk suaminya itu. "Anak bisu itu menyusahkan kita selama ini sampai aku harus berbuat hal keji."

"Jangan takut, sayang. Kamu harus terlihat tenang didepan Reyhan dan Nina. Mereka juga membawa putri kedua mereka. Kamu harus menyapanya dengan senyum hangat seperti biasa."

"Baik, Mas."

"Ayo kita ke aula."

Kanaya segera menempelkan tubuhnya ke tembok begitu mereka berdua berjalan keluar dari kamar.

Syukurlah Rinjani atau suaminya langsung berjalan keluar tanpa menoleh ke samping.

Kanaya mengepal kedua tangannya kuat saat melihat punggung Rinjani dan Radith yang perlahan menjauh.

"Jadi yang terjadi hari itu bukan kecelakaan. Tapi mobil kak Rara di tabrak dengan sengaja supaya dia meninggal?"

.
.
.
.
.
.

Lanjuuuut?

Silent Love (END)Where stories live. Discover now