038. Lost

2K 113 2
                                    

Sean turun cepat dari motor sportnya. Lalu masuk ke dalam rumah dengan langkah kasar.

"Dimana Bunda?" tanyanya pada salah satu pelayan.

"Nyonya di ruang tengah, Den. Dia sedang ada wawancara."

Langkah kaki Sean langsung tertuju ke ruang tengah. Tiba disana, Sean langsung berdiri ke hadapan Rinjani yang sedang menjawab pertanyaan reporter.

"Sean. Kamu--"

"Bubar!" pekik Sean dengan napas memburu.

Rinjani langsung bangkit dari duduknya. "Sean. Bunda lagi di wawancara, sayang."

Sean menepis tangan Rinjani dari lengannya. Ia lantas meraih kertas yang di pegang reporter kemudian merobek-robeknya hingga berserakan di lantai. "Saya bilang bubar! Atau saya hancurkan semua barang yang kalian bawa!"

Sang reporter wanita tampak kaget. Ia pun bangkit cepat. Memberi kode pada kameramen agar segera mematikan kamera.

Rinjani hanya mematung saat melihat reporter dan para kru yang meliput berkemas lalu pergi tergesa-gesa. "Tunggu! Jangan pergi dulu! Saya bisa tenangkan putra saya!"

Sean menahan lengan Rinjani, ketika Rinjani hendak mengejar mereka.

"BUNDA CUKUP!!"

"LEPASIN BUNDA SEAN!!" Rinjani balik berteriak. Wajahnya tampak frustasi. "Apa-apaan kamu? Kenapa kamu mengacaukan siaran Bunda? Apa kamu gak tahu betapa pentingnya wawancara ini buat mendukung kerja keras papamu jadi wali kota?!"

Dada Sean naik turun. "Zean lagi sekarat Bunda!!"

Rinjani terdiam.

"ZEAN KRITIS BUNDAAA!!" Sean berteriak didepan wajah Rinjani. Berharap Rinjani segera mengerti dan sadar akan situasi ini.

"Kamu pikir bunda peduli?"

Hening.

Rinjani mengulanginya. "Kamu pikir bunda peduli sama dia?"

Sean mengusap wajahnya kasar sebelum kembali menatap Rinjani. "Sadar, Nda. Tolong sadar. Zean itu darah daging Bunda. Tolong sadar, Bundaaa. Sean mohon."

Air mata Sean sudah mengalir. Hatinya sangat terluka melihat hal ini.

"Bunda sadar, Sean. Kamu gak usah nangis. Bunda gak suka liat kamu nangis." Tangan Rinjani hendak mengusap air mata di wajah Sean, namun Sean menepisnya.

"Bunda gak kangen sama Zean kecil kita?" tanya Sean.

Rinjani terdiam. Ia seolah sedang berpikir. "Maksud kamu?"

"Bunda gak kangen sama Zean yang pernah bunda suapin setiap hari?"

"Memangnya Zean pernah bunda suapin?" tanya Rinjani seperti kebingungan.

Sean mengangguk. "Waktu kecil. Bunda paling seneng kalau Zean makan banyak karena Zean susah makan."

Rinjani mengernyit. "Memangnya Zean kecil bunda masih ada?"

Napas Sean tertahan sejenak. Sekarang ia tahu apa yang menyebabkan Rinjani berbeda. "Ada Bunda. Zean kecil Bunda sekarang jadi Zean yang tumbuh tanpa kasih sayang bunda lagi. Bunda kehilangan apa?"

Mendadak, Air mata Rinjani luruh. Pertanyaan itu sering di tanyakan oleh dokter terapinya. Dokternya juga sering menanyakan hal sama.

"Kamu kehilangan apa Rinjani?"

"Kamu mencari apa dari anakmu?"

"Apa yang hilang dari anak kamu sampai kamu membencinya sedalam ini?"

"AAAAA!!" Rinjani meremas rambutnya kuat lalu terduduk di lantai.

"Zean itu berbeda, Sean!! Bunda membencinyaa!! Bunda sangat membencinya!!" Rinjani meraung sambil menangis.

Sean berjongkok. "Zean yang sekarang masih Zean yang sama bunda. Bunda lah yang merubahnya."

Rinjani menggeleng. Ia tatap wajah Sean dengan polesan make up yang tak lagi cantik. "Kamu bohong. Kamu berbohong!"

"Nda, tolong...." Sean meremas tangan Rinjani yang dingin.

"Bunda cuma mau Zean kecil bunda yang dulu. Dimana dia sekarang?"

Sean menelan ludahnya kuat. Hatinya hancur melihat tampilan kacau Rinjani. "Bunda. Zean yang sekarang memang berbeda. Tapi dia masih Zean kecil bunda."

"Zean kecil bunda suka tertawa!" pekik Rinjani cepat. Keningnya nampak mengerut dalam.

Sean terdiam.

Ternyata Rinjani kehilangan tawa Zean.

"Ayo kita ke rumah sakit. Supaya bunda bisa liat Zean ketawa lagi."

Rinjani menggeleng. "Tapi Zean itu gak pernah ketawa, Sean. Bunda gak suka liatnya. Bunda gak suka liat wajahnya yang datar!"

Sean berpikir sejenak. "Itu karena Zean merasa bunda gak sayang sama dia lagi. Jadi dia gak pernah ketawa buat bunda."

Rinjani mengernyit dalam diamnya. Tidak paham dengan hatinya yang mendadak sedih.

"Zean yang sekarang lupa caranya tertawa, Bunda. Karena sumber kebahagiaannya hilang. Bunda adalah sumber kebahagiaan Zean. Saat Bunda mulai benci Zean, saat itu juga Zean gak pernah ketawa dihadapan Bunda."

Rinjani menatap Sean hampa. "Apa dia tertawa dihadapan kamu, Sean?"

Sean mengangguk.

"Kenapa? Kenapa hanya dihadapan kamu?" Air mata Rinjani terus berjatuhan.

Sean menggeleng. "Zean lagi kritis sekarang. Dia harus segera dipindahkan ke ruang ICU. Ayo kita temui dia sebelum terlambat, Nda."

"Apa bunda bisa liat Zean ketawa lagi, Sean?" tanya Rinjani ketika Sean menarik tubuhnya untuk bangkit berdiri.

"Bunda bisa liat Zean ketawa lagi," jawab Sean.

"Kamu berjanji?"

Sean tersenyum getir sembari merapikan rambut berantakan Rinjani. "Sean janji."

Rinjani pun tersenyum. Mereka berdua akhirnya pergi bersama dari rumah untuk menuju rumah sakit.

Begitu Sean hendak mengeluarkan mobil dari halaman rumah, mobil lain lebih dulu masuk mendahuluinya.

"Bunda tunggu dulu sini. Sean mau bicara sama papa," ucap Sean pada Rinjani. Rinjani mengangguk.

Sean pun segera turun dari mobil menuju ke arah Radith yang sudah turun dari mobilnya.

"Zean kritis."

Raut yang jarang berekspresi itu mendadak mengernyit kaget setelah mendengar penuturan Sean.

"Zean kecelakaan. Sekarang dia kritis. Dia harus segera dipindahkan ke ruang ICU," jelas Sean.

"Kamu bercanda?"

"Pihak rumah sakit pasti udah berulang kali menghubungi nomor papa atau bunda buat ngasih tau. Tapi kalian blokir nomor Zean."

"Papa gak percaya." Radith memalingkan wajah dari Sean.

Sean berdecih. "Orangtua macam apa kalian ini?"

"Anak itu pasti hanya berekting."

"Sadar, Pah. Ini bukan saatnya membenci. Zean lagi gak baik-baik aja. Dia butuh kita, pah!!"

Radith berdesis. "Bagaimana mungkin Zean bisa sekarat sebelum aku?"

Sean terdiam begitu melihat mata Radith memerah. "Ini belum terlambat, Pah. Sebelum kita kehilangan. Kalian bisa perbaiki semuanya."

.
.
.
.
.
.

Sejauh ini, ini yang paling nyesek. Part paling sedih yang pernah aku tulis. Jujur aku nangis ketika nulis chptr iniiii.

Rasanya aku yang kehilangan tawanya Zean:(

Rasanya aku adalah Rinjani yang mulai sadar:((

Lanjut gaaa:(

Silent Love (END)Where stories live. Discover now