042. Gratefull

1.7K 105 0
                                    

Mata Rinjani terus berbinar. Ia setia memerhatikan Zean yang tengah diperiksa oleh dokter.

Rinjani tidak sabar. Ia ingin segera menatap binar cokelat terang itu lagi. Iris yang indah dan selalu membuat hatinya bahagia seperti dulu.

Ya. Dulu.

Dulu sekali. Ketika mata cokelat Zean berbinar saat diberi cokelat kesukaannya. Rinjani juga ingat saat ia mengejar-ngejar Zean ke seluruh penjuru rumah ketika Zean enggan untuk makan, dan memilih makan cokelat.

Rinjani sangat merindukannya. Zean kecilnya yang dulu.

Zean yang nakal namun menggemaskan.

Sean dan Radith juga melakukan hal yang sama. Keduanya tampak lupa dengan ketegangan yang terjadi beberapa menit lalu. Kemarahan di hati Sean telah terganti dengan perasaan bahagia yang membuncah.

Sean tersenyum lebar melihat kedua mata Zean yang mengerjap-ngerjap pelan. "Gue tau lo gak mungkin ninggalin gue," gumamnya.

"Mas. Zean kecil aku udah bangun. Aku senang banget." Rinjani memeluk suaminya dengan girang.

Radith mengangguk. "Aku juga senang. Aku sangat bersyukur."

Selesai mengecek, Dokter pria paru baya berjalan menghampiri Radith dan Rinjani yang berdiri di dekat sofa.

"Putra saya baik-biak saja kan, Dok?" tanya Rinjani cepat.

Dokter yang bernama Reza itu mengangguk. "Kondisinya stabil. Kemarin saya mengira peluangnya untuk sadar sangat kecil, tapi ternyata saya salah. Tuhan sudah memberi keajaibannya. Sekarang pak Radith dan Bu Rinjani bisa berinteraksi dengan dia."

Rinjani mengangguk. Sang dokter beranjak pergi dari ruangan. Rinjani langsung menghampiri brankar tempat putranya terbaring.

Wajah bahagia Rinjani semakin terpatri kala melihat kedua iris cokelat milik Zean bergulir menatap ke arahnya ketika dirinya mendekat.

"Ze-nya bunda udah bangun."

Zean hanya mengerjap pelan. Di mata Rinjani, kedipan putranya terlihat sangat menggemaskan. Tampak sama dengan Zean kecil yang mengerjap pelan ketika baru bangun dari tidur.

Huuuf~

Kala melihat Zean menguap kecil, Tangan Rinjani pun terangkat untuk menutup mulut yang terbuka itu. "Ze-nya bunda menguap. Selamat bangun dari tidur panjang kamu, sayang."

Cup.

Mata Zean membulat saat Rinjani mengecup keningnya. Tentu saja. Zean tampak sangat terkejut.

"Sekarang giliran aku yang mengecup kening putraku, Rinjani."

Kepala Zean tertoleh ke sisi kiri. Alis hitam tebalnya semakin menukik bingung. Ia jelas mengenal siapa kedua orang yang berbicara padanya saat ini.

Zean heran. Bingung. Kaget.

Ia tidak bisa mencerna apapun.

"Ini papa, Ze. Selamat bangun dari tidur panjang kamu."

Cup!

Radith juga memberi kecupan hangat di kening.

Detik itu juga Zean mengangkat setengah badannya untuk duduk.

Begitu sudah benar-benar duduk. Saat itulah ia menyadari kehadiran saudara kembarnya. Sean.

Saudaranya itu tampak menatapnya dengan mata berbinar.

Zean pun mulai menggerakan tangannya. Bertanya pada Sean, menggunakan bahasa isyaratnya.

"Ada apa? Kamu juga muncul dalam mimpiku, Sean?"

"No. Kamu gak lagi mimpi, sayang. Kamu udah bangun. Lihat bunda."

Rinjani langsung menangkup wajah Zean. Yang membuat kedua mata Ibu dan anak itu langsung bertubrukan.

Zean mengernyit lagi. "Lalu kenapa bunda berbeda? Papa juga berbeda."

Rinjani menggeleng. "Bunda gak berbeda. Papa juga begitu. Kami menunggu kamu untuk bangun, sayang."

Tatapan Zean beralih pada Radith. Papanya itu dengan cepat mengangguk disertai senyuman hangat. "Terimakasih sudah kembali pada kami."

Zean membeku kala tangan Radith mengusap puncak kepalanya.

"Ze."

Kepala Zean tertoleh lagi pada Rinjani. Panggilan itu membuat hatinya berdenyut.

Tapi kali ini bukan denyut yang sakit.

Panggilan itu membuat hatinya terasa dihinggapi ribuan kupu-kupu. Bahkan jantungnya berdegup kencang. Tanpa sadar, kedua sudut bibir Zean tertarik ke atas. Membentuk seulas senyuman indah dan berseri.

Zean akhirnya sadar, bahwa dirinya tidak sedang bermimpi.

"Zean rindu dipanggil seperti itu sama bunda."

Rinjani mengusap wajah tirus putranya. "Bunda rindu wajah Zean yang bulat."

"Zean rindu salad buatan bunda."

"Mau bunda suapin salad kesukaan kamu?"

Zean mengangguk cepat.

.
.
.
.
.
.
.
.

Silent Love (END)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora