029. Ambition

1.9K 121 0
                                    

"Kenapa semuanya harus serumit ini! Arrghh!" Kanaya melempar batu kecil ke danau dihadapannya. "Kenapa harus ada pilihan? Kenapa gue harus milih! Gue sayang kak Raya! Tapi gue gak mau kehilangan Zean juga!"

Sepulang sekolah, Kanaya memilih pergi ke taman yang sering dikunjunginya bersama Zean.

Pikirannya kacau. Hatinya sangat sesak.

Ia juga tak menyangka, Zean berlutut dihadapannya demi orangtuanya.

Zean berkata, itulah alasan Zean bersekolah di sekolah yang sama dengan Kanaya. Tak lain untuk menaati perintah Radith dan Rinjani.

Ini diluar dugaannya.

Rasa sayang Zean dapat di katakan salah. Karena mendukung kejahatan orangtuanya.

"Bagaimana pun, gue gak akan bisa hidup tenang kalau mereka belum terkurung di penjara."

Kanaya mendengus. Tatapannya penuh dengan ambisi. "Walaupun gue sendirian. Walau pun gue belum punya bukti apapun. Gue gak akan nyerah. Gue tetap akan menyeret para pembunuh itu ke penjara."

Setelah mengatakan hal itu, beberapa menit kemudian air mata Kanaya merambas jatuh.

Kedua tangannya yang mengepal di lipat di atas tumpuan kaki. Gadis itu menangis tanpa suara.

Di sore itu, di depan danau, Kanaya kembali merasakan rindu. Rindu yang teramat.

"Kak Rara, Naya kangen tau. Pengen cerita," monolognya.

"Kemarin waktu ada kak Rara. Kanaya masih jadi gadis biasa yang taunya cuma buat ulah di sekolah dan diomelin mamah dan ayah. Tapi sekarang semuanya udah berubah kak. Kehidupan Kanaya rasanya berubah dratis. Hati Kanaya selalu sakit waktu ingat kak Rara mati dengan cara gak layak. Hati Kanaya sakit waktu ayah nampar Kanaya didepan banyak orang. Hati Kanaya sakit karena fakta orang yang udah mencelakai kakak adalah orangtuanya Zean. Laki-laki yang Kanaya suka."

Kanaya menutup mata sejenak. "Kanaya pengen jadi gadis SMA yang gak punya beban sebanyak ini, kak. Kanaya gak pernah mau nangis siang malam kayak gini, kak Rara...."

"Kanaya belum cukup dewasa, kak...."

"Kanaya."

Kanaya mendongak ke samping. Alisnya menukik saat mendapati lelaki bergaya rambut rapi itu.

"Se-Sean? Ngapain lo disini?"

"Gue dikirim Zean. Buat nenangin lo." Sean duduk disamping Kanaya. Ikut menekuk kedua kaki dan mengikatnya dengan dua lengan.

Kanaya mendengus mendengar itu. "Gue gak butuh simpati. Lebih baik lo pulang."

"Gak ada yang gak di bawah kendali orangtua gue, Kanaya."

Alis Kanaya terangkat. "Maksud lo?"

Sean menatap Kanaya sejenak, sebelum membuang pandangan ke danau. "Lo bakal capek sendiri ngelawan orangtua gue."

"Kenapa?"

"Karena mereka punya banyak koneksi."

Kanaya terdiam sejenak. "Jadi seberkuasa itu orangtua lo, An. Gue paham sekarang." Ia pun terkekeh geli.

"Polisi maupun jaksa. Gak ada bedanya. Semua orang di dunia ini lebih menyukai uang daripada kejujuran."

"Gue hanya ingin keadilan. Gue akan dapatin itu apapun caranya," balas Kanaya tak goyah.

Sean menghela napas, ternyata Kanaya memang kepala batu. "Manusia tetaplah manusia. Ada kerakusan. Ketamakan. Ambisi."

"Maksud lo gue rakus, An? Gue rakus hanya karena ingin dapat keadilan buat kakak gue?!"

Sean menggeleng dengan senyum tipis. "Lo punya ambisi. Lo lebih kuat dari gue."

Kanaya terdiam.

"Ambisi lo besar. Sedangkan gue, hanya bisa duduk menonton. Pura-pura gak tau akan tindakan yang dilakukan orangtua gue. Mencoba tutup mata dan telinga. Bahkan gue mencoba melupakan kejadian ini dengan fokus belajar."

Kanaya menggeleng kecil. "Kalo lo punya kakak sehebat kak Rara, gue yakin lo akan seambis gue."

"Gue gak pernah kenal kakak lo. Tapi gue selalu tau dari Zean. Waktu smp, Zean pernah gambar wajahnya semalaman. Saat gue tanya dia siapa, dia bilang, ini kakak aku."

Kanaya menatap Sean dengan raut terkejut.

"Gue pikir Zean adalah orang yang paling terluka atas meninggalkan kak Raya. Karena sosoknya sangat berharga buat Zean. Mungkin bisa lebih berharga dari gue yang selalu datang terlambat buat lindungin dia."

Kanaya mengernyit. Hatinya terasa ngilu. "Lalu kenapa Zean ada dipihak orangtuanya?"

Sean mendengus. "Lo gak paham, Nay?"

Kanaya menggeleng.

"Zean gak mau lo lakuin hal yang sia-sia dan malah jadi boomerang buat lo."

.
.
.
.
.
.
.











Silent Love (END)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt