025. Hurt

2.2K 137 1
                                    

"Zean bangun. Bangun woy...."

Zean mengernyit saat merasakan guncangan kecil di tubuhnya. Ia pun membuka perlahan matanya, mendapati wajah Sean yang tersenyum manis padanya.

Zean mendorong tubuh Sean lalu ia beranjak duduk. "Ngapain kamu disini?"

"Jangan pura-pura amnesia abangku tercinta," ucap Sean gemas. "Kita harus ngejar pesawat jam lima subuh."

Zean menghela napasnya. "Oke. Sebentar aku cuci muka dulu."

Sean mengacungkan jempolnya sementara Zean langsung berlalu menuju kamar mandi. Tak berapa lama Zean keluar dengan wajah lebih segar. Dan di ambang pintu, Sean sudah menunggu dengan dua koper di sampingnya.

Begitu Zean mendekati Sean. Sean dengan segera menyerahkan mantel tebal pada kakaknya itu. "Ayo."

Zean menahan lengan Sean sejenak. "Aku rasa, dikehidupan lampau kamu terlahir sebagai kakakku."

Sean tersenyum tipis. "Kalo gitu lo bisa panggil gue abang."

Zean mendengus geli. "Abang tukang bakso?"

Sean memutar bola matanya. "Bisa-bisanya lo melawak disituasi begini. Ayo cepetan turun sebelum ada yang liat kita."

Sean langsung menarik koper miliknya, berjalan menuruni tangga dengan perlahan dengan diikuti Zean dibelakangnya.

Zean mengedar pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Ia masih belum percaya, dirinya harus pergi dari rumah ini. Rumah yang pernah jadi tempatnya bermain bersama Sean setiap hari.

Tempat ini, diisi penuh kenangan indah dan juga kenangan menyakitkan.

Tempat ini, pernah terisi banyak tawa dirinya sebelum Rinjani dan Radith berubah membencinya.

Zean masih mengingat hari itu.

Hari dimana kedua orangtuanya berubah.

"Bunda! Papa! Sean dapat juara satu lagi di sekolah! Liat ini!"

Sean berlari dari pintu utama dengan piala di tangannya. Rinjani dan Radith langsung menyambut Sean dengan pelukan hangat mereka.

"Waww. Anak Bunda memang pintar. Mana Bunda liat pialanya." Dengan senyum merekah, Rinjani meraih piala itu. Matanya begitu berbinar setelah memegangi piala tersebut.

"Kamu ini memang genius, Nak. Papa sangat bangga punya kamu. Cup!" Tak kalah senang, Radith pun membubuhkan ciuman di kening Sean.

"Iya dong, Pah. Siapa dulu yang lahirin Sean? Aku dong," ucap Rinjani.

"Iya-iya. Jagoan papa dan bunda kan gak pernah kalah. Betul?" tanya Radith seraya mengelus rambut Sean.

Sean mengangguk cepat. "Betul!"

Dari ujung tangga, Zean dapat menyaksikan dan mendengar semua percakapan itu. Zean pun berlari kecil ke arah mereka.

"Zean! Liat ini, aku dapat piala lagi. Keren kan?" tanya Sean pada saudara kembarnya itu.

Zean mengangguk dengan mata berbinar senang. Ia pun mengacungkan kedua jempolnya. "Kamu hebat! Pasti kamu senang dapat banyak piala."

Rinjani berdesis. "Ya jelas Sean senang. Dia kan dapat piala karena dia pintar. Dia pandai dalam segala hal."

Zean mengangguk setuju. "Bunda benar. Sean memang sangat pintar."

"Kamu mana bisa dapat piala kayak Sean," ujar Radith setengah bergumam. Namun ucapannya masih bisa di dengar oleh Zean.

Silent Love (END)Where stories live. Discover now