Nggak banyak persiapan yang gue lakuin buat acara lamaran gue dengan Mas Dimas nanti karena kami sepakat untuk mengadakan acara lamaran secara sederhana dan lebih private. Gue sendiri nggak tahu kenapa info tersebut bisa menyebar dengan cepat di kalangan warga. Belum lagi gue selalu mendapat tanggapan negatif dari mereka.
Sejujurnya gue nggak mau ambil pusing dengan itu tapi tanggapan negatif yang mereka berikan cukup ngebuat mood gue turun. Gue cuma takut orang tua gue mendengar tanggapan negatif dari mereka yang sama sekali nggak berdasar.
"Itu si Inggit buru-buru banget lamaran. Bisa jadi karena kecelakaan ya, makanya buru-buru nikah. Apalagi kita nggak pernah tahu kapan mereka pacaran. Wong jelas banget kok anaknya Pak Kades itu nggak cocok sama anaknya Bapak Adrian. Lebih cocok sama si Mira yang lanjut kuliah S2 dan calon dosen. Sama-sama dosen, bisa bayangin sepintar apa anak mereka nanti?"
Kalau gue mendengar kalimat seperti itu, gue cuma bisa bersabar, melonggarkan usus dan nggak mau ambil pusing. Berpura-pura nggak mendengar jauh lebih baik. Toh, mereka juga memiliki hak untuk memberikan tanggapan mau itu tanggapan negatif atau positif.
Seseorang menarik pergelangan tangan gue ngebuat gue terhuyung ke belakang. Kalau bukan dia yang merengkuh tubuh gue dengan refleks yang dia punya, dapat dipastikan kepala gue sudah membentur jalanan aspal.
Mas Aga, dia orang yang menarik pergelangan tangan gue tadi dan dia juga yang membantu supaya gue nggak terjatuh.
"Kamu ngapain sih Mas?" tanya gue nggak habis pikir sama jalan pikirannya.
"Mas buntutin saya dari tadi?"
"Mas, bisa lepas? Nggak enak dilihat sama warga."
Mas Aga melepas rengkuhannya tanpa berniat menjawab pertanyaan. Gue menghembuskan napas secara kasar sambil berjalan menjauh dari sana diikuti dengan Mas Aga yang berjalan mengekori gue.
"Kenapa Mas ngikutin saya?"
"Saya diminta Ibu karena beliau khawatir kamu jalan sendirian ke toko pertigaan," jelasnya.
"Saya bukan anak kecil lagi Mas. Kamu bisa kembali ke rumah."
"Beberapa hari yang lalu ada seorang gadis hampir tertabrak truk pengangkut barang. Kamu tahu kenapa? Karena dia banyak melamun dan saya nggak mau kejadian itu terulang kembali."
Gue tahu kalau dia sedang menyindir. Gadis yang hampir tertabrak beberapa hari yang lalu karena melamun itu memang gue dan dia yang membantu gue pada saat itu.
"Mas, mau sampai kapan?" Langkah gue terhenti begitu juga dengan langkahnya. Jalanan nampak sepi karena sebagian dari warga sudah berada di sawah jam segini.
"Sampai kamu kembali kepelukan saya."
"Tiga hari lagi Mas, dan itu waktu yang sangat singkat. Mending kamu bersiap kembali ke Jakarta karena yang kamu lakuin ini cuma sia-sia."
"Saya nggak akan pulang, Git."
"Mas, bisa nggak jangan mempersulit saya?"
"Kamu sadar, justru kamu yang mempersulit hubungan kita. Kamu hanya perlu menolak perjodohan itu, Inggita."
"Saya yang lebih dulu menerimanya Mas," tekan gue. "Bapak atau Ibu nggak pernah maksa saya buat menerima perjodohan itu."
Mas Aga tertawa pelan seakan sedang mengejek gue. Apa ada yang salah? Kenyataannya memang seperti itu. Bapak dan Ibu nggak pernah memaksa gue untuk menerima perjodohan ini karena pada dasarnya perjodohan ini ada hanya karena impian kedua sahabat yang menginginkan anak-anaknya menikah. Mereka ingin persahabatan mereka tak lekang oleh waktu. Apalagi yang diimpikan Bapak dan Pak Kades buat mengeratkan tali silahturahmi selain berbesanan?
"Pernyataan kamu barusan cukup membuat saya yakin."
Gue cukup lelah menanggapi dia yang cukup keras kepala terlebih apa yang sedang dia yakini untuk saat ini.
Mas Aga menyentuh kepala gue. "Tatap saya sekali lagi dan bilang kalau kamu nggak cinta lagi sama saya."
Gue memenuhi apa yang dia minta untuk menatap manik matanya. Kita sempat terdiam sampai beberapa menit. Posisi Mas Aga masih tetap sama. Tangannya masih setia berada di kepala gue dengan tatapan penuh harap.
Dua hari yang lalu gue mengatakan kalimat itu dengan lancar, tetapi entah mengapa sekarang lidah gue rasanya kelu, sekedar bilang kalau gue nggak cinta lagi sama dia aja sulitnya bukan main.
"Git, kamu menerima perjodohan itu karena Papa kan? Saya yakin alasan ini yang menjadi alasan terkuat buat kamu. Jelas-jelas kamu nggak mencintai dia. Orang yang kamu cintai ada di hadapan kamu sekarang kan? Apa pernyataan saya ini salah?"
"Mas?"
"Kita masih punya kesempatan, sayang," ungkapnya dengan suara lirih. Sungguh, gue udah nggak bisa membendung air mata yang siap terjun bebas hingga akhirnya gue memilih untuk memunggunginya.
"Nggak Mas. Kita nggak punya kesempatan lagi," cicit gue sambil menghapus bulir air mata di kedua pipi.
Saya nggak mau semakin menyakiti hati kamu, Mas. Cukup sampai di sini kisah kita. Papa kamu bakalan menentang hubungan kita dan saya nggak mau buat kamu menjadi anak yang durhaka.
Tanpa berkata lagi gue melangkahkan kaki meninggalkan Mas Aga yang masih setia berdiri di tempat. Namun, langkah gue terhenti tatkala merasakan tangan kekar memeluk gue dari arah belakang.
"Mas, tolong menjauh," pinta gue dengan suara terisak.
Saya bingung. Terlampau bingung. Mengapa saya bisa sesakit ini? Padahal saya sendiri yang memintamu untuk pergi menjauh seakan apa yang menimpamu hanyalah sebuah hembusan angin yang segera berlalu padahal justru ombak badai yang sedang menghancurkanmu, Mas.
Mengapa melepaskanmu bisa sesulit ini? Padahal saya yang memintamu untuk melepas saya pergi seolah saya tidak mencintaimu, padahal kenyataannya saya terlampau mencintaimu, Mas.
Mereka bilang, waktu akan mengikis segalanya. Tapi, kenapa rasanya sulit buat saya untuk mengikis perasaan saya buat kamu? Apa karena rasa ikhlas belum sepenuhnya ada? Apa karena saya terlalu sayang? Atau karena rasa sabar belum ada dalam diri ini? Kenapa sulit rasanya untuk melepas kamu pergi?
Ternyata nggak segampang itu.
"Git, apa yang buat kamu menangis di tengah hari gini di jalanan sepi kayak gini, hum?"
Sontak gue melepas rengkuhannya, memutar badan dan mendapati Mas Dimas adalah orang yang baru saja memeluk tubuh gue tadi.
Jadi bukan Mas Aga?
Retina gue menangkap sosok tinggi di belakang tubuh Mas Dimas. Mas Aga menatap gue dengan mata yang memerah, dia mulai menundukkan wajah lalu berbalik meninggalkan gue bersama dengan Mas Dimas. Detik berikutnya tangisan gue pecah. Gue berjongkok sembari menutupi wajah dengan kedua tangan.
"Kamu kenapa?" tanyanya. Mas Dimas berusaha menarik tangan gue yang menutupi wajah hingga terlepas. Gue menatap wajahnya yang terlihat penuh rasa khawatir. Sembari menghapus bulir air mata yang menetes, dia mengusap kepala gue pelan. "Apa yang buat kamu jadi seperti ini, Git?"
"Kaki saya sakit, Mas," balas gue berbohong. Nyatanya hati gue jauh lebih sakit. Semakin sakit melihat tatapan Mas Aga tadi. Gue nggak bisa bayangin gimana hancurnya perasaan dia.
Mas, saya minta maaf. Maaf karena udah buat kamu jadi begini.
"Ayo kita pulang. Saya bantu, jalannya pelan-pelan."
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST IMAGINES JUNG JAEHYUN
FanfictionWork ini adalah lanjutan kisah Jaehyun As dan Jaehyun Imagines. Mungkin cerita sebelumnya lebih menceritakan perihal Jika Jaehyun menjadi, tapi work kali ini lebih mengangkat ke topik permasalahannya. Ada kemungkinan juga beberapa Chapter yang belum...