Not Your Fault (6)

81 29 0
                                    

"Tuan, saya sudah berhasil membawa Nona Aruna kembali ke rumah ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tuan, saya sudah berhasil membawa Nona Aruna kembali ke rumah ini."

"Bagus, turunkan dia dan dudukkan dia di sofa itu."

Felix melakukan apa yang diperintahkan oleh penguasa rumah ini. Gue memejamkan mata merasakan pening yang mulai melanda, tubuh gue rasanya lemas karena terlalu banyak bergerak, meronta dalam gendongan Felix.

Pria yang sempat gue cakar wajahnya itu meninggalkan kami. Gue menatap si tua bangka dengan tatapan sayu. Pandangan gue mulai mengabur. Sekuat tenaga gue menahan rasa sakit di sekujur tubuh, mencoba berdiri tapi dia lebih dulu menghalangi pergerakan gue.

"Rosa!" panggilnya dengan suara menggelegar.

Wanita yang menjadi ibu sambung gue itu pun berjalan dengan tergesa membawa gelas yang nggak gue tahu isinya apa. "Akhirnya pulang juga kamu ke rumah," katanya.

"Terpaksa," balas gue dengan nada tercekat.

"Mana?"

Gue nggak tahu apa yang lagi mereka bicarakan, yang jelas gue melihat wanita penggoda itu berjalan mendekati si tua bangka lalu memberikan gelas yang dia bawa tadi.

"Nggak mau ke rumah sakit aja, Mas?"

"Kamu pikir saya bisa bertindak gegabah seperti itu? Setelah dia menghabiskan semua ramuan ini, kurung dia di kamar sampai dokter tiba. Dokter Inar sudah kamu hubungi?"

"Sudah, Mas. Lagi dalam perjalanan."

"Bagus. Kita paksa anak sialan ini minum habis ramuan itu."

"Kamu yakin, Mas? Bagaimana pun janin yang dia kandung itu calon cucu kamu."

Meskipun gue nggak bisa melihat jelas apa yang lagi mereka lakukan, telinga gue masih bisa mendengar dengan jelas. Mereka benar-benar mau mencelakakan calon cucu mereka sendiri. Tangan gue mengepal kuat, nggak terima dengan apa yang bakal mereka lakukan ke anak ini. Gue nggak akan membiarkan hal itu terjadi.

Tumbuh gue limbung saat mencoba untuk berdiri sampai nggak sengaja menjatuhkan akuarium kecil yang ada di samping gue. Dengan gerakan cepat gue meraih serpihan kaca itu sebagai alat yang gue harap bisa membantu gue nantinya, nggak akan gue biarin mereka mendekati gue. Gue nggak mau mereka berhasil melenyapkan janin yang nggak berdosa ini.

"Jangan mendekat," pinta gue sambil menodong serpihan kaca itu ke arah mereka. 

"Aruna, jangan bertindak bodoh."

"Anak kamu mulai gila, Mas."

"Diam, Rosa," bentak si tua bangka.

Mereka bergerak mundur sedangkan gue semakin melangkah maju. Dengan langkah tertatih dan sempoyongan gue mencoba berusaha untuk berjalan ke arah pintu. Bahkan gue sempat terjatuh hingga darah segar mulai menetes berasal dari kaki yang terkena pecahan kaca. Rasanya perih tapi gue harus menghalau rasa sakit itu demi keselamatan janin ini.

"Arrgh!" Gue kembali merintih merasakan perih karena terpeleset. Air dari akuarium itu ngebuat gue sulit bergerak ditambah gue nggak bisa melihat dengan jelas.

Rasa sakit itu semakin menjalar saat gue mencabut serpihan kaca yang tertancap di kaki kiri.

"Bodoh, mau sampai kapan kamu melukai diri sendiri hanya karena janin sialan itu!"

"Berhenti memanggil janin ini dengan kalimat kotormu itu, berengsek. Dia nggak salah apa-apa."

"Aruna, berani sekali kamu berkata seperti itu. Beliau itu Papa kandung kamu."

Gue tertawa sinis. "Papa?" Ada rasa sakit di relung hati ketika gue menyebut itu. Air mata gue menetes seketika. "Aku nggak punya Papa," timpal kamu lagi.

"Letakkan serpihan kaca itu, Aruna!"

Gue menggeleng pelan dan kembali mengaduh karena perut gue terantuk meja. Harus berapa banyak lagi gue mendapatkan rasa sakit untuk hari ini?

"Maafin Mama. Mama nggak sengaja, sayang," ucap gue lirih. Tangan kiri gue yang menganggur mengusap perut gue yang terasa sakit. Gue menghela napas pelan, rasa sakitnya semakin membuat gue susah buat berjalan bahkan bergerak pun rasanya begitu sulit. Melihat gue yang mulai melemah mereka berhasil mendekati gue dan membuang serpihan kaca itu ke arah lain.

Rasanya pahit ketika mereka berhasil memasukan ramuan itu sedikit demi sedikit dari mulut yang mereka buka dengan paksa. Entah kekuatan dari mana gue berhasil menepis gelas itu dan mendorong mereka menjauh dari tubuh gue.

Panas, itu yang gue rasakan. Tenggorokan gue semakin memanas begitu juga dengan perut gue sangat sakit seakan diremas.

"Sakitnya cuma sebentar. Kamu hanya perlu menahannya."

"Kalian, nggak pantas kalian disebut sebagai Kakek ataupun Nenek," ujar gue dengan nada getir.

Suara tangisan dan rintihan terdengar menjadi satu. Gue mengangkat tubuh dan berjalan ke arah luar. Nggak ada pergerakan dari mereka yang menahan pergerakan gue karena si tua bangka yang membiarkan gue keluar dari rumah begitu aja.

"Biarkan saja anak bodoh itu. Sudah bagus kita mau merawatnya dalam kondisi seperti itu. Tapi dia malah memilih keluar dan menahan rasa sakitnya seorang diri. Lebih bagus lagi kalau dia mati di jalan."

Gue nggak peduli dengan apa yang dia lontarkan. Gue cuma bisa berharap di luar sana ada yang berbaik hati mau menolong gue dan membawa gue ke rumah sakit buat menyelamatkan janin ini.

Tepat di depan jalan raya, suara deru mobil terdengar. Gue kembali terjatuh karena terantuk batu. Dalam kesadaran yang mulai melemah, gue melihat mobil itu berhenti dengan jarak 10 langkah di depan gue. Gue melihat seseorang berjalan berlarian ke arah gue.

Terima kasih. Mungkin dia penyelamat yang dikirim oleh-Mu untuk membantuku. Tapi tolong, jangan bawa dia pergi, Tuhan. Aku akan melakukan apapun agar dia masih bersamaku. Aku akan menjadi orang yang lebih baik lagi. Meminta maaf atas dosa yang telah aku lakukan. Aku tahu mungkin ini ganjaran yang harus aku terima karena aku telah berbuat dosa yang tidak terampuni. Tapi, aku tahu pasti bahwa Engkau lebih tahu alasan aku melakukan itu.

Sebagai calon ibu, gue berusaha menjadi orang yang lebih baik lagi. Berusaha menjaga dia seorang diri. Gue memang manusia kotor tapi apakah gue nggak layak menjadi seorang ibu? Kalau dia pergi, gue nggak akan bisa memaafkan diri sendiri. Kenapa gue bisa bertindak bodoh tanpa ada rencana yang matang sama sekali. Gue sendiri tahu bagaimana tingkah laku si tua bangka itu, seharusnya gue lebih persiapan kalau hal seperti ini bakalan terjadi.

'Maafin Mama, sayang. Mama mohon bertahan ya. Jangan tinggalin Mama. Cuma kamu yang Mama punya, sayang. Kalau nggak ada kamu, hidup Mama nggak akan berharga lagi. Mama nggak akan bisa menjalani hari-hari dengan penuh semangat. Mama sayang kamu.'

Pantulan sinar menerpa kulit wajah. Gue merasa kalau hari ini adalah akhirnya. Dia sudah datang.

"Aruna?"

"Pak Arka—" Belum sempat memastikan apa yang gue lihat, semuanya mendadak gelap.

JUST IMAGINES JUNG JAEHYUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang