Posesif Boyfriend (5)

101 31 0
                                    

Semenjak tinggal di kediaman Mas Abi, gue lebih banyak merenung. Obrolan Jeno dan Mas Fabian kemarin sukses ngebuat gue bertanya-tanya. Sebanyak apa yang mereka tutupi dari gue? Kenapa bisa Mas Abi berpikiran kalau dia itu seorang pembunuh? Gue nggak mengerti, sekelam apa hidupnya di masa lalu sampai dia sendiri memilih menutupi masa lalunya?

Waktu itu gue sempat menyinggung masa lalunya dan apa jawaban Mas Abi?

"Nggak ada yang pantas kamu dengerin dari cerita saya, Ra. Lebih baik kamu nggak tahu. Nggak ada yang bisa diceritain dari Masa lalu saya. Kamu tahu kan apa artinya? Itu berarti nggak ada yang menarik sama sekali."

Apa perlu gue bertanya sama Jeno? Tapi rasanya nggak akan mungkin Jeno jujur sama gue. Baik Jeno dan Gavin, mereka sama-sama menutupi itu.

Gavin sempat bilang ke gue. Meminta gue buat selalu percaya sama Mas Abi meskipun dia tahu sikap kakaknya itu kadang keterlaluan. Tapi dibalik itu ada luka yang melebar yang menggerogoti hatinya. Gavin bilang gue adalah orang yang tepat yang bisa menyembuhkan luka sang kakak.

"Gavin tahu kalau Mbak Laura capek sama sikap Mas Fabian. Tapi dibalik itu semua, ada hal yang bikin Mas Fabian jadi kayak gini. Sayangnya dia belum bisa cerita. Kalau pun Mbak paksa Gavin atau Jeno buat cerita pun, cuma Mas Fabian yang pantas ceritain semuanya ke Mbak. Seberapa besar luka yang dia terima dan cuma Mbak Laura yang bisa menyembuhkan lukanya. Setelah kehilangan Mama, Mas Fabian nggak pernah berhubungan sama wanita lagi. Semenjak dia kembali bertemu sama Mbak Laura, Gavin merasa Mbak orangnya. Mbak orang yang kami tunggu-tunggu buat bisa merubah sifat dan sikap Mas Fabian yang sempat hilang itu. Asal Mbak tahu, Mas Fabian nggak lagi percaya diri menjalani hidupnya bareng sama Mbak. Banyak ketakutan yang lagi dia hadapin sekarang."

"Kenapa banyak teka-teki yang harus gue pecahkan. Kalau begini gue harus minta clue ke siapa?"

"Jeno paham apa yang lagi Mas rasain. Susah buat Mas buat jujur ke orang yang Mas cintai. Tapi, kalau Mas bersikap kayak gini terus, ada kemungkinan cewek yang Mas cintai bakalan mundur. Sejauh ini, Mbak Laura bertahan dengan sikap dan sifat Mas yang terkadang di luar nalar menurut Jeno dan Gavin. Tapi, kita berdua paham. Mas melakukan itu karena Mas takut kejadian yang lalu terulang lagi kan? Mas, nggak ada yang tahu kapan takdir. Mas nggak harus merasa bersalah karena kematian seseorang. Mas bukan pembunuh."

"Tapi, Mas penyebab dia meninggal, Jen. Mas jelas lihat kalau Mas nggak bisa jagain dia. Mas seorang pembunuh. Pembunuh mana yang layak dicintai? Mungkin Mas egois, Mas nggak mau Laura pergi dari hidup Mas setelah dia tahu masa lalu yang Mas pendam sejak lama."

Air kolam terasa bergerak menandakan seseorang masuk ke dalam kolam renang. Gue mengalihkan pandangan ke asal suara itu dan mendapati Mas Abi memasuki kolam renang masih dengan setelan kantornya.

"Mas kamu ngapain?"

"Seharusnya saya yang tanya, ngapain kamu berenang di cuaca yang lagi terik gini. Terus juga, kamu lupa kalau kaki kamu masih sakit, hum?"

"Justru itu, saya mau cepat sembuh, makanya saya berenang."

"Kamu dapat pemikiran dari mana sayang? Kalau luka kamu makin parah gimana? Cukup buat berjalan santai aja, nggak perlu kamu berendem dan basahin kaki kamu gini, yang ada kamu keram. Siapa yang bisa bantu kamu? Terlebih anak-anak lagi pada di kampus dan sekolah?"

Gue mengatupkan bibir. Nggak ada salahnya yang dibilang sama dia. Mungkin gue yang terlalu ceroboh. Tujuan utama gue ya memang ingin cepat sembuh, gue nggak mau merepotkan semua orang yang ada di rumah ini dan mau cepat pulang ke rumah sendiri.

Nggak tahu pasti alasan Mas Abi malah membawa gue pulang ke rumahnya dengan dalih Bang Doni yang meminta dia buat mengawasi gue selama gue sakit. Setelah gue menghubungi pria itu, gue baru tahu kalau selama ini gue dikadalin sama cowo brengsek yang sialnya masih gue cintai.

"Nggak ada ya gue bilang dia buat bawa lo pulang ke rumah dia. Gue cuma minta dia buat ngawasin lo selama lo pincang."

Yaudah, nasi sudah menjadi bubur. Meskipun terpaksa gue tetap harus menghargai usaha dia kan buat membantu gue?

"Baju kamu makin basah." Gue meronta dalam pelukan tapi dia nggak peduli dan semakin mengeratkan pelukannya, nggak membiarkan gue buat menolak apa yang dia inginkan sampai pada akhirnya gue harus pasrah karena udah nggak ada tenaga lagi buat gue memberontak.

"Kamu udah siap mendengar semuanya?"

"Maksudnya?" Pelukan itu mengendur. Gue menatap wajahnya yang lebih tenang. Nggak tahu kenapa, dia terlihat berbeda daripada biasanya. Apakah ini sifat asli dia yang sebenarnya?

"Mandi dulu ya? Makan, baru setelah itu saya cerita ke kamu."

Cengkaraman di bahu gue semakin kuat. Bola matanya bergerak ke sembarang arah. Gue tahu kalau dia lagi gelisah. "Kalau kamu belum siap-"

"Nggak, saya nggak mau kehilangan kamu, Ra. Apapun yang terjadi nanti, saya cuma nggak mau bikin kamu merasa nggak nyaman berada di dekat saya. Setelah kamu tahu semuanya, saya harap kamu nggak akan berpikiran buat meninggalkan saya lagi." Nggak ada kalimat lanjutannya lagi. Mas Abi menggendong gue ala koala, sontak gue mengalungkan tangan gue di lehernya, begitupun dengan kedua kaki gue yang sengaja dia lingkarkan di pinggangnya.

Mas Abi membawa gue keluar dari kolam renang, berjalan pelan memasuki area rumah. Dia nggak peduli dengan tetesan air yang berjatuhan di lantai. Beruntung rumah ini sedang sepi jadi nggak ada yang menyaksikan kami yang terlihat begitu intim. Masih dengan posisi yang sama, dia membawa gue ke kamar mandi yang ada di kamar tamu dimana gue sudah menggunakan kamar ini selama beberapa hari gue menginap di rumah ini.

"Mau air hangat atau-"

"Biar aku aja," sela gue cepat.

Mas Abi menggeleng, dia mendudukkan gue di atas kloset duduk yang tertutup rapat. "Nggak, kamu lagi sakit."

"Tapi aku nggak lumpuh, Mas. Aku masih bisa jalan meskipun pakai bantuan tongkat," keluh gue. Kenapa semua orang di ruang ini menganggap kalau sakit gue tuh parah sampai nggak bisa ngapa-ngapain sendiri terlebih pria yang sedang berdiri di hadapan gue ini?

Gue menatap kemeja putihnya yang basah, lalu memilih melihat ke arah lain. Gue merasakan tangan dingin itu menyentuh kedua pipi gue. "Kenapa pipi kamu merah gini? Kamu kedinginan, Ra?"

Setelah tahu kenapa sikap gue malu-malu kucing gini. Mas Abi terkekeh pelan, dia menarik dagu gue supaya menatap wajahnya lagi. "Kenapa sayang? Kecetak jelas ya perut kotak-kotak saya?"

Sial, Fabian sialan. Beraninya dia menggoda gue di saat kami lagi di kamar mandi dan nggak ada siapapun di rumah ini.

"Mas, kamu keluar sana."

"Kenapa saya diusir di rumah sendiri?"

"Keluar dulu. Kamu juga ganti baju, nanti masuk angin."

"OK, teriak kalau kamu udah selesai ya?"

"Dibilang aku nggak lumpuh."

Mas Abi tertawa melihat respon dari gue. Sebelum beranjak dari kamar mandi. Dia kembali memeluk tubuh mungil ini sembari memberi afeksi yang ngebuat gue kembali nyaman saat berada di dekatnya. "Sebelum hari saya bertemu dengan kamu, hidup saya begitu tidak baik. Namun, kamu adalah kunci ketenangan pikiran saya. Saya cinta Kamu, Ra, dan akan selalu seperti itu."

Gue seperti sering mendengar kalimat yang dilontarkan Mas Abi barusan, dari Aretha Franklin bukan sih?











JUST IMAGINES JUNG JAEHYUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang