[5] ; Bbangsaz

4.2K 136 13
                                    

G!P

***

Hanni POV

"Dari mana?"

Baru saja aku masuk ke dalam rumah, tapi aku sudah disuguhi sebuah pertanyaan saja. Aku segera memutar kepala hingga netraku menangkap wujud seseorang yang sedang duduk menyilang kaki dengan tangan kanan memainkan ponsel dan tangan kiri diletakan di atas sandaran sofa.

She's my Daddy. I mean, my sugar Daddy. Tapi, meskipun dia sugar Daddyku, dia adalah seorang perempuan secara visual, karena, sesuatu yang tersembunyi di balik celana bahannya adalah alasan utama mengapa aku diminta untuk memanggilnya dengan sebutan 'Daddy', bukan 'Mommy' atau apapun itu sebutannya.

"Tentu saja aku baru selesai bersekolah, Dad. Memangnya apa lagi?" tanyaku kesal dan tidak percaya. Sudah jelas-jelas seragam sekolah masih melekat pada tubuhku, tapi kenapa dia masih bertanya aku habis dari mana? Aneh.

Ya, meskipun aku tidak 100 persen benar-benar bersekolah, alias aku bolos dari pelajaran pertama sampai pelajaran terakhir―tapi, setidaknya, dia pasti tahu aku habis dari mana.

"Kau yakin?" dia malah berbalik bertanya padaku. Meski begitu, perhatiannya tetap tidak teralihkan dari ponsel di tangan, entah dia sedang melihat hal menarik apa di dalamnya, yang jelas aku tidak tahu.

"Ya, tentu saja," jawabku sedikit merasa aneh. Sebenarnya arah pembicaraannya ini ke mana? Aku sama sekali tidak mengerti.

"Kau benar-benar yakin?" tanyanya lagi. Seketika aku menyatukan kedua alisku dan berpikir. Hmm, aku merasa dia seolah sedang memastikan sesuatu. Pasti ada sesuatu yang tidak beres di sini.

Aku melunakan wajah, mencoba tetap terlihat tenang, "Ya, Dad. Aku serius, aku benar-benar yakin," jawabku, mencoba meyakinkannya melalui nada kesalku yang dibuat-buat.

"Bisakah aku―"

"Lihat jam, pukul berapa sekarang?" selanya memerintah. Tanpa sadar aku memutar bola mataku malas. Dia memang tipikal orang yang agak sulit digocek. Karena benar-benar sebal, aku akhirnya melihat jam yang ada di pergelangan tangan.

"Pukul 4 sore kurang 10 menit," ucapku malas.

"Oh ya?" tanyanya.

"Ya,"

"Benarkah?"

"Ya!"

"Tapi kenapa di ponselku, jam masih menunjukan pukul 3 sore? Coba lihat jam tanganmu dengan baik, jangan terburu-buru," nada suaranya terdengar santai, matanya bahkan masih terpaku pada ponsel.

Aku mengerang kesal dibuatnya. Kenapa dia malah menanyakan jam? Kenapa jam saja diributkan? Tapi, meski demikian, aku tetap menuruti ucapannya dan melihat jam tanganku lagi. Aku terus memerhatikan jamku dengan seksama, dan jelas sekali terlihat jikalau jarum jam tanganku bergerak dengan lambat dan tetap berada di tempat.

Jamku mati.

Damn it! Ternyata benar, memang tidak ada yang beres di sini. Itu artinya, aku pulang setengah jam lebih cepat dari jadwal pulang sekolahku. Sial, sial, sial! Kalau tahu begini, aku lebih baik melihat jam di dalam ponselku yang ada di dalam tas saja.

"Itu artinya..." aku berjengit kaget saat dia bersuara, "Kau bolos...(?)"

Aku menunduk saat mata tajamnya sudah teralihkan dari ponselnya menuju ke arahku. Urgh, tatapan itu terasa sangat mengerikan, dingin, dan kejam. Jujur, dia baik dan tenang, tapi jika sudah kesal dan marah, maka Kim Minji yang aku kenal akan pergi, digantikan oleh Kim Minji yang sama sekali tidak aku kenal.

Cum With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang