Claustrophobia [2/2]

803 100 0
                                    

Third-

"Jangan ayah ... Hali nggak mau!"

"Ayah ... disini gelap, sempit, keluarin Hali ..."

"Hali salah, ayah. Hali minta maaf, Hali janji nggak akan nakal lagi ..."

"Hali mohon, keluarin Hali ... Hali takut, ayah ..."

Kalimat-kalimat lirih itu berhasil membuat Gempa terbangun. Gempa memang sangat sensitif dengan suara ketika tidur. Mendudukkan diri sembari memfokuskan pandangan, Gempa dapat melihat Halilintar yang gelisah dalam tidurnya.

Gempa menajamkan pandangan. Sempat ia lirik Taufan yang masih tertidur. Terlihat sama sekali tidak terganggu dengan racauan lirih si sulung.

" BUNDA TOLONG!"

"TOLONGIN HALI, HALI TAKUT!!"

"KELUARIN HALI, AYAH!!"

Oh, tidak, jangan lagi ...

Racauan lirih yang sebelumnya Gempa dengar berubah menjadi erangan. Panik melanda, Gempa segera bangkit dari posisi duduknya dan beralih ke sisi kasur Halilintar. Mencoba membangunkan si manik merah dari mimpi buruk yang melanda.

"Kak? Kak Hali ... hey! Bangun kak!"

"Ayah ..."

"Ayah udah nggak ada. Itu cuma mimpi, kakak harus bangun!"

Kedua tangan Gempa mengguncang tubuh Halilintar. Kemudian beralih menepuk-nepuk pipi sang kakak. Halilintar pun terbangun dan langsung terduduk. Napasnya memburu, serta keringat dingin membasahi kaos oblong yang Halilintar kenakan. Matanya memandang nanar selimut berwarna merah marun yang menutupi kakinya.

"G-Gempa?"

"Iya, ini Gem kak. Kakak nggak papa?" Gempa tahu itu adalah pertanyaan yang sangat bodoh. Halilintar sudah jelas jauh dari kata baik-baik saja. Tapi Gempa tak dapat memikirkan kalimat lain selain itu sekarang.

"A-ayah ..."

"Ayah nggak ada, kak. Jangan takut, cuma ada Gempa sama kak Taufan disini. Jadi kak Hali harus tenang, ya?"

Tanpa aba-aba, Halilintar memeluk erat Gempa yang duduk di depannya. Gempa yang mendapat pelukan tiba-tiba itu tentu saja tak siap dan hampir terjungkal ke belakang. Untung saja refleknya cepat, sehingga mereka tak berakhir membentur lantai.

Diusapnya perlahan punggung kokoh Halilintar. Dapat Gempa rasakan pula bahunya hangat dan basah. Ia tahu Halilintar sedang menangis, dan Gempa tak ada niat untuk menghentikan tangisan itu. Biarlah Halilintar mengeluarkan semua yang dirasakannya. Semua hal yang selama ini dia pendam sendirian.

Jari telunjuk Gempa ditempelkan ke bibir saat melihat Taufan yang sepertinya ingin menanyakan sesuatu tentang kondisi Halilintar. Memberi gestur untuk Taufan agar tetap diam. Taufan akui dia memang sangat suka bercanda. Namun melihat kondisi kakak satu-satunya saat ini membuatnya tahu bahwa ini bukanlah waktu yang tepat untuk itu. Jadi Taufan lebih memilih menurut pada Gempa. Menatap sendu Halilintar dalam pelukan sang adik pertama.

LifeWhere stories live. Discover now