Chapter 1: Kejadiaan Naas

143 8 0
                                    

17.00 WIB, langit masih berwarna jingga, namun itu tak cukup untuk menghentikan para pemuda yang kini tengah menikmati pesta seolah hari tak akan pernah ada habisnya. Suara dentuman musik terdengar begitu nyaring, sorak-sorak ramai dari berbagai sudut ruangan, cahaya kerlap-kerlip dari lampu disko yang begitu menyilaukan mata, serta wanita dan pria yang kini tengah asik menari dengan iring-iringan lagu-lagu DJ yang menggema. Berbagai aroma alkohol segala jenis dan merk begitu menusuk indera penciuman, hal itu sungguh membuat seorang pemuda seolah semakin lupa akan dunianya. Dering ponsel terus berbunyi, namun sedikit pun ia tak peduli.

"Ck! Sialan, ganggu gue aja!" decaknya sembari menatap ponsel yang menampakkan nama sang abdi dalem kerajaannya.

Ya, dia adalah Raden Mas Arya Rajendra, seorang keturunan darah biru dari keraton Yogyakarta yang terlahir dari dari pasangan Sultan Narendro Cokroaminoto dan Gusti Kanjeng Ratu Ayuningtyas, sang penguasa keraton Yogyakarta.

Layaknya seekor burung, ia begitu ingin bebas diusia mudanya. Ia benci dengan segala aturan yang mengikat diri bagaikan rantai yang seolah membatasi ruang geraknya dengan alasan ia adalah keturunan kerajaan.

"Siapa, Ar?" tanya teman Arya menatap pria itu bingung.

"Biasa," ujarnya dengan malas.

"Pasti bokap lu yee...ceilahhh Raden Mas Arya Rajendra," ejeknya membuat sang empu semakin kesal dibuatnya.

"Sialan! Diem lo!" sahut Arya dengan tatapan sinis.

Dering ponsel tak henti-hentinya berbunyi, perasaan dongkol bahkan seolah sudah memenuhi hatinya. Hingga akhirnya dengan jengah, jari mulus dan berotot itu perlahan menekan tombol hijau hingga sebuah suara seseorang seseorang mulai terdengar dari seberang telepon.

"Raden."

"Ada apa, Paman Suryo?" tanya Arya dengan nada malas.

Suryo Hadikusumo, adalah seorang abdi dalem kerajaan yang begitu dipercaya oleh raja. Pengabdiannya yang dimulai sejak kelahiran Arya membuat ia begitu tahu semua hal tentang Radennya, melibihi orang tuanya sendiri. Bisa dibilang, Paman Suryo adalah orang terdekat Arya yang selalu sabar dan satu-satunya orang yang mampu bertahan disisi Raden angkuh dan arogan itu.

"Bisakah Anda pulang sekarang? Ada titah yang perlu saya sampaikan," ucapnya sopan.

"Tidak bisakah disampaikan sekarang saja? Aku masih ingin bersenang-senang," tanya Arya kesal.

"Tidak bisa, Raden. Saya harus menyampaikannya secara langsung, sesuai perintah dari Raja."

"Cih, benar-benar anjing yang patuh," makinya tanpa peduli dengan perasaan orang diseberang telepon.

"Raden..."

Arya menggeram menahan amarah, "Ck! Baiklah-baiklah, aku akan pulang sekarang, sudah puas?!"

"Tolong hati-hati dijalan, Raden. Saya akan menunggu Anda di pintu utama," nasihat Suryo dengan nada yang masih sangat halus dan sopan.

Tanpa menjawab, Arya langsung memutuskan panggilan itu begitu saja. Dengan raut tak bersahabat ia menyambar kunci motor yang tergeletak dimeja dengan kasar. Tanpa mengucap satu patah kata, kaki panjang itu mulai beranjak menuju pintu keluar dengan langkah lebar.

"Heh, Arya! Mau kemana lo? buru-buru amat, buset dah!" cibir temannya melihat Arya yang tampak terburu-buru.

Namun, Arya tak mengindahkan perkataan itu, kabut emosi seolah telah berhasil menulikan indera pendengarannya.

Jarak dari tempat Pesta menuju kediamannya menempuh waktu yang lumayan lama. Sekitar 30 menit berlalu, motor besar itu baru memasuki pintu gerbang kediaman Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Suara motor yang menggema membuat seorang pria paruh baya dengan busana pranakan datang menghampirinya dengan tergopoh-gopoh.

Arya PierreWhere stories live. Discover now