Chapter 4: Perasaan Asing

34 6 0
                                    

Di belahan dimensi lain, sebuah cahaya matahari tengah masuk menyelinap sela-sela ventilasi, aroma segar pagi hari setelah hujan kemarin menyeruak indera penciuman mengganggu seorang pria bertubuh jangkung yang kini tengah terlelap setelah kejadian tak terduga kemarin. Mata indah nan tajam itu mulai terbuka, mengerjap menyesuaikan cahaya, hingga menampakkan langit-langit ruangan berwarna putih. Aroma obat-obatan menyeruak menusuk indera, suara decitan pintu yang terbuka berhasil mengembalikan kesadarannya dengan sempurna.

"Raden sudah sadar? Apa yang Anda rasakan?" tanya seorang pria berjas putih sambil mengenakan stetoskop.

"Ini dimana? Dan siapa yang kamu panggil Raden itu?" ucap pria muda dengan ling-lung.

"Anda di rumah sakit, Raden. Dan yang saya maksud itu tentu Anda, apakah Raden lupa siapa nama Anda?" ujar pria itu.

"Tentu saja tidak, namaku Pierre, Pierre Andries Tendean," ujarnya lantas membuat dokter dan perawat itu saling tatap.

"Hubungi Raja dan Ratu, aku akan memeriksanya terlebih dahulu," perintahnya langsung dilaksanakan.

"Raden, izinkan saya untuk memeriksa Anda," izinnya diangguki oleh pria muda itu.

Rangkaian pemeriksaan selesai bertepatan dengan datangnya sepasang pasutri diikuti oleh seorang pria yang menunduk sopan di belakangnya. Hal itu lantas membuat pria muda itu mengernyitkan dahinya karena yang datang bukanlah keluarganya.

"Selamat datang Raja, Ratu, dan Tuan Suryo," ucap sang dokter menunduk sopan.

"Putraku, akhirnya kamu sudah sadar. Ibunda sangat khawatir, Nak," ucapnya sembari memeluk tubuh kurus yang tengah terdiam kaku itu.

"M-Maaf, Anda siapa?" tanyanya membuat ketiganya langsung menatap sang dokter.

"Apa ini, Dok? Apa yang terjadi dengan putra semata wayangku?" tanya pria paruh baya yang dipanggil 'Raja' tadi.

"Maaf, Raja. Sepertinya Raden Arya mengalami amnesia sementara karena benturan keras dari kecelakaan itu. Tetapi, Anda tidak perlu khawatir karena perlahan ingatan itu pasti kembali," jelas dokter membuat ketiganya lemas.

"Suryo, seandainya aku tidak terburu-buru mengucapkan itu, pasti hal ini tidak akan terjadi, dan putraku tidak akan semakin membenciku," gumam sang Raja mengusap wajahnya kasar.

"Anda jangan berbicara seperti itu, Raja. Bagaimanapun juga ini sudah takdir," ucapnya berusaha menenangkan.

Ketiganya merasa terpukul, karena seperti apa pun sikap dan sifat Arya, ia tetaplah permata berharga dalam kediaman Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sedangkan orang yang sedari tadi tengah dibicarakan itu, justru menatap semua orang yang bersedih dengan bingung. Ia masih bertanya-tanya dan belum paham dengan apa yang telah terjadi padanya. Kenapa semua orang memanggilnya Arya? Padahal sudah jelas ia adalah Pierre. Dan di mana ini? Padahal sebelumnya ia ingat betul jika ia tengah berlari dari kejaran musuh saat menjalankan misi.

Ya, sama halnya dengan Arya yang jiwanya menempati tubuh Pierre, di dunia ini Pierre juga tengah menempati tubuh Arya, seorang Raden dengan segala sikap buruknya.

"Nak, kamu sudah 20 tahun, tidak seharusnya kamu marah hingga menyelakai dirimu sendiri seperti ini. Inilah yang membuat romo bersikeras ingin menjodohkanmu, karena kamu masih sangat kekanak-kanakan, ceroboh, dan tidak bijak dalam mengambil keputusan. Kamu adalah calon Raja, ingat dan mulai terima takdirmu, Arya! Meskipun romo mengaku salah karena terburu-buru memaksamu dalam perjodohan, tetapi mau atau tidak kamu akan tetap dijodohkan dengan wanita yang telah romo pilih untukmu!" omel sang romo menatap putranya dengan wajah memerah.

"Mas sudah, kita bahas ini lagi saat Arya sudah sepenuhnya pulih, Ya? Sekarang putra kita baru sadar melawan maut, biarkan dia istirahat terlebih dahulu," ujar sang Ibunda dengan lembut.

Arya PierreWhere stories live. Discover now