Chapter 2: Secercah Cahaya

79 6 0
                                    

Masa lalu selalu berkaitan dengan masa depan, begitupun sebaliknya. 58 tahun lalu, tepatnya 1965 ketika Indonesia sudah merdeka, namun masih belum bisa lepas dari belenggu penjajahan. Kondisi bangsa saat itu sungguh seperti layaknya bebas berjalan kemana pun tetapi dengan kaki yang terikat.

"Satu, dua, satu, dua, satu, dua."

Pierre Tendean, seorang anggota militer berdarah keturunan Perancis yang terbiasa hidup penuh dengan aturan. Setiap pagi, ia selalu membiasakan diri lari pagi mengelilingi markas. Setelahnya langsung melakukan push up dan berbagai olahraga ketangkasan lainnya. Sore harinya ia tak pernah absen dalam latihan beladiri dan menembak. Kedisiplinannya itu yang membuat sosoknya dikenal sebagai "Captain with hidden ferocity" di markasnya.

Keluh keringat mulai membasahi pelipis, terik matahari yang seolah berada tepat diatas kepala tetap tak berhasil menyurutkan semangatnya untuk berlatih meningkatkan ketahanan fisik yang sebenarnya sudah sepenuhnya terbentuk.

"Pierre, kamu diminta untuk menghadap jendral Ahmad Yani di ruangan pribadinya sekarang," ucap Bima—teman sekamar sekaligus sahabat dekatnya.

Mendengar hal itu ia lantas menghentikan aktivitasnya.

"Baiklah, setelah ini aku akan segera menemuinya," jawab Pierre dibalas anggukan singkat oleh Bima. Pria itu kemudian memilih duduk disebuah kayu lapuk yang dibiarkan tergeletak ditanah.

"Fisikmu sudah begitu terlatih, daya tahan tubuhmu begitu kuat, bahkan kamu sudah memiliki otot yang kekar, lantas mengapa kamu masih sering berlatih?" canda Bima yang lebih terkesan heran.

"Ini belum cukup kuat untuk membuatmu pingsan karena pukulanku," balas Pierre bergurau dengan wajah datarnya seketika membuat Bima tertawa.

"Aku masih heran, bagaimana bisa pria kaku dan membosankan sepertimu bisa menarik hati ribuan wanita," ujar Bima menampakkan wajah bingung.

"Karena aku tampan, apakah fakta itu belum cukup?" jawab Pierre acuh lalu pergi meninggalkan pria yang tengah menganga karena ucapannya.

"IYA DEH, KAMU MEMANG TAMPAN!" teriak Bima menatap punggung sahabatnya yang mulai menjauh.

Tanpa mempedulikan teriakan tersebut, kaki panjang itu mulai melangkah melewati koridor ruangan yang tampak sepi. Ia mengedarkan padangannya, menatap dinding-dinding berwarna putih tulang yang lembab dengan jendela ruangan yang kini menampilkan orang-orang yang tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Sesampainya diujung lorong, mata tajam itu menangkap sebuah pintu kayu dengan papan nama bertuliskan 'Jend. Ahmad Yani' yang menempel elok di tengah pintu kayu tersebut.

Tepat setelah ketukan ketiga, suara bariton seseorang terdengar memberikan perintah agar ia masuk.

"Siap! Ada yang bisa saya bantu, Ndan?" ucap Pierre dengan tegas.

"Kita ada tugas khusus untuk tim Banteng Hitam, Melihat dari kemampuan dan ketekunanmu selama ini, membuatku percaya jika kamu pantas menjadi ketua di dalam tim ini. Dalam misi ini, kalian ditugaskan untuk memata-matai PKI di salah satu kabupaten Jawa timur, tepatnya di Kabupaten Blitar," jelas Jendral Ahmad Yani menatapnya serius.

"Siap! Izin bertanya!"

"Silahkan."

"Siap! Untuk rincian tugas yang harus kita lakukan apa saja, Ndan?" tanya Pierre dengan serius.

"Tolong cari tahu semua rencana para petinggi PKI yang ada di sana, cari informasi dengan detail dan bersih, jangan tinggalkan jejak sedikit pun. Cari tahu apa tujuan mereka, karena kita perlu tahu langkah apa yang akan mereka ambil sehingga kita bisa menganalisis ancamannya dan dapat mengambil strategi yang tepat jika ada penyerangan mendadak. Tugas ini cukup sulit, tetapi aku percaya kamu bisa mengatasinya. Jadi, apakah kamu sanggup melakukannya?" ujar Jendral Ahmad Yani dengan serius.

Arya PierreWhere stories live. Discover now