03. Unrequited love

109 13 3
                                    

TW: BULLYING, MENTIONING OF DEATH.

***

Badai belum berlalu, jiwa Raline masih dibantai habis-habisan. Seluruh dunia seakan menghakimi dirinya. Ia sendirian, walaupun berada dalam ruang penuh suara.

Gadis itu terus dimaki-maki oleh penduduk sekolah. Tak jarang ia dilempari kertas yang bertuliskan kalimat-kalimat cercaan. Mejanya dicoret-coret dengan gambar dan kata tak senonoh. Ia dibentak saat berada di ruang publik. Seakan, Raline adalah musuh dunia yang harus dimusnahkan.

Hiraeth justru tidak mau ikut andil. Pemuda itu bersikap acuh tak acuh, menganggap apa yang dialami Raline adalah karma untuknya. Toh, siapa suruh mau ikut campur dalam hal keji? Kira-kira, itu yang ada dalam benak Hiraeth.

Ah, justru yang menjadi dalang sesungguhnya tidak terlalu disorot. Tidak ada yang berani macam-macam dengan Hiraeth. Aura pemuda itu terlalu gelap. Semua orang takut padanya.

Seperti saat ini, Hiraeth dengan santai duduk di kursi paling belakang dekat jendela. Memainkan ponselnya, enggan memperhatikan suasana sekitar. Padahal, sahabatnya tengah diinjak habis-habisan.

“Olive mah pinter. Nggak kayak lo, BODOH!” telinga Raline berdengung nyeri, kelas dipenuhi dengan gemuruh tawa menyebalkan. Beberapa diantara mereka sibuk melempar-lempar buku milik Raline. Saat itu, Raline tengah mengerjakan tugas kimia yang deadlinenya sebentar lagi. Namun tugas itu telah kandas karena dirobek oleh temannya.

Teman? Raline bahkan tidak memilikinya sekarang.

“Makanya jangan sok, ini karma buat lo. Jangan mentang-mentang lo cantik, lo bisa seenaknya sama orang lain,” lagi-lagi kelas dipenuhi dengan tawa. Ada yang bersorak, mengacungkan jari tengah untuk Raline.

Tubuh Raline gemetar karena menahan tangis. Lehernya terasa panas, dadanya sesak.

Raline mengadah, memperhatikan langit-langit kelas. Sorot lampu yang menyilaukan membantunya untuk menahan tangis. Cara yang ia lakukan berulang kali agar tidak terlihat lemah.

“Belagu banget lo jadi orang.” Seorang lanang menumpahkan air minumnya tepat di meja Raline. Tawa semakin keras mengudara.

Sialan.

“Apaan sih, berisik.” Raline bangkit dari kursinya. Semua orang refleks mengatupkan mulut. Suasana menjadi hening. Raline sudah tiba di ujung kesabaran.

“Gue juga punya perasaan. Kalau kalian gini ke gue, sama aja kalian lagi ngebully gue. Bukannya kalian benci sama pembully? Kenapa kalian sekarang malah ikut-ikutan?” suaranya terdengar lantang, walaupun gemetar. Setetes air meleleh dari matanya yang cantik. Raline takut dengan respons yang akan mereka berikan.

“Idih, nangis. Cengeng banget lo,”

Lagi-lagi kelas menjadi riuh akan tawa. Tak ada yang menghiraukan ucapan Raline barusan.

“Orang kayak lo pantes diginiin.” Seorang gadis mendorong tubuh Raline seraya terkekeh. Yang lain jadi terpancing untuk semakin menghancurkan gadis itu. Tubuh Raline ditendang, diinjak, didorong kesana-kemari. Mereka tertawa dengan girang, mempermainkan Raline seakan ia adalah boneka yang tak punya rasa.

“Hama kayak lo nggak ada gunanya,”

Ruang kelas dipenuhi dengan sorak. Menyetujui ucapan yang dilontarkan oleh ketua kelas mereka. Tak lama, mereka semua berseru secara bersamaan.

“Mati, mati, mati!”

“Ayo mati, lo pantes mati!”

“Mati aja lo, nggak guna lo hidup,”

If i lost my serendipity [JANGKKU]Where stories live. Discover now