13. Just trust me you'll be fine

108 23 3
                                    

***

Pelajaran fisika bahkan belum usai. Namun Raline, ia sedari tadi tak memperhatikan. Wanita paruh baya yang berkicau di depan kelas, ia anggap sebagai angin lalu belaka. Angka-angka sialan yang tertera di papan tulis, sedikitpun tak sudi ia meliriknya. Raline lebih memilih memperhatikan koridor sekolah yang kosong. Termenung, dengan berbagai macam pikiran kalut di benaknya. Sesekali gadis itu menghela napas berat. Semakin hari, dunia semakin berat untuk ia jalani.

“Raline!”

Raline tersentak kala namanya dipanggil dengan lugas. Gadis itu menatap guru di depannya, sudah berkacak pinggang (bersiap untuk memberikannya jutaan petuah). Raline hanya bisa menunduk, tidak berani menatap seisi kelas yang menghakiminya.

Wanita paruh baya itu menghela napas gusar, “Tolong, jangan buat ulah terus. Nilai kamu itu jelek, seharusnya kamu lebih giat belajar. Anak bodoh seperti kamu, sepatutnya bersimpuh pada yang lebih pintar! Ibu nggak peduli tentang keluarga kamu yang terpandang, di sini kita semua setara. Yang membedakan hanyalah nurani, dan juga kepintaran. Sementara kamu? Nurani dan kepintaran kamu sama-sama jelek.”

Iya, Bu. Saya sadar. Hanya itu yang bisa Raline ucapkan pada ruang monolognya. Ia tidak mau menambah atmosfer kacau, kalau-kalau ia membalas semua hinaan gurunya dengan kalimat yang lebih menohok. Nanti, pasti dia juga yang akan kena imbasnya. Gadis itu masih menunduk. Dan tanpa disadari oleh seorangpun, air mata jatuh membasahi pipinya. Ia terisak, lagi, tanpa suara.

Hati nurani dan kepintaran sama-sama jelek. Lantas, apa yang Raline punya untuk bekal bertahan hidup? Dunia itu keras, Raline sudah dihujam belati berkali-kali. Dia cukup takut, kalau-kalau lukanya bisa bertambah parah di masa depan.

Wanita paruh baya di depan hanya bisa menggeleng. Kemudian, ponselnya yang terletak di meja ia ambil. Jemarinya memencet aplikasi bertajuk X, dan mampir sebentar ke base sekolah yang sedang ketumpahan teh hangat. “Raline, di mana Olive?” nada bicara wanita itu dingin, nampaknya ingin bicara serius dan tidak mau diganggu. Seisi kelas langsung pasang raut tegang. Mereka paham betul, sang guru ingin membahas sesuatu yang sedang heboh-hebohnya.

Namun, kenapa harus sekarang? Kenapa harus di depan banyak orang? Apa, itu niat murni sang guru untuk mempermalukan Raline?

“Maaf, Bu. Saya tidak tahu,” jawab Raline sekenanya nan jujur. Percuma, pasti tak ada yang percaya.

“Halah bohong lo!” suara berat khas remaja menggelegar dengan nyaring. Jelas memberikan kontra akan ucapan Raline barusan. Sayang sekali, Raline tidak ketahui empunya suara. Kalau tahu, pasti sang empu sudah Raline hantam!

“Gue nggak bohong,” bela Raline penuh penekanan. Mungkin, ini saat yang tepat untuk membersihkan namanya yang sudah kotor.

“Ibu, sekali lagi, saya nggak bohong. Pertama, saya ke taman kejora saat itu bukan tanpa alasan, melainkan karena Laluna yang suruh saya. Iya, Bu, Laluna. Si anak kebanggaan sekolah.”

Raline tarik napasnya dalam-dalam, sebelum melanjutkan kalimatnya yang menggantung, “Kedua, saat saya tiba di taman kejora, saya nggak langsung ketemu Laluna. Melainkan, Olive yang saya temui di taman itu. Dan di sana, dia mancing-mancing saya supaya saya emosi. Dan setelah itu saya pulang, saya nggak tahu Olive hilang kemana. Pasti Laluna yang menggiring opini, Bu! Bukan saya, saya—”

“Cukup, Raline. Saya nggak mau dengar pembelaan dusta dari kamu.”

Sang Guru berjalan, mendekat ke arah Raline. Intonasinya bicara barusan membuat seisi kelas bergidik ngeri. Netra Raline sudah memburam, dipenuhi kabut biru yang membuatnya ingin teriak sekarang juga. Namun ia tahan. Berkali-kali gadis itu menghela napas, berusaha tabah.

If i lost my serendipity [JANGKKU]Where stories live. Discover now