10. Ceremony of heartbreak

82 15 3
                                    


***

Pintu apartemennya terbuka. Namun dugaannya meleset. Ia kira pagi ini, Aster akan menyambutnya lagi di depan pintu. Sembari mengocehkan beberapa pertanyaan dan menyerukan kalimat khawatir. Pasalnya, kemarin ia baru saja membuat heboh warga sekolah. Pasti  asyik membahas kejadian tersebut bersama Aster. Apalagi, jika sudah larut dalam obrolan, mereka bagai sahabat masa kecil yang sudah saling mengenal lama. Tapi sayang sekali, Aster tidak menghampirinya pagi ini.

Desah berat Raline serukan. Kakinya terasa berat saat ia coba untuk bawa melangkah. Firasatnya mengatakan; jangan pergi ke sekolah hari ini. Namun, Raline adalah tipe manusia, yang memegang teguh logika daripada perasaan atau firasat. Persetan dengan ucapan hatinya barusan, ia semakin membawa langkahnya menuju sekolah.

Memasuki area sekolah, sudah bagaikan memasuki area neraka bagi Raline. Siswa-siswi menatapnya nyalang sambil berbisik-bisik. Bergunjing dan meracaukan sesuatu yang tidak jelas kebenarannya. Mereka merasa menjadi manusia tersuci, sehingga patut mengkritik jalan hidup orang lain. Dan Raline benci manusia seperti itu.

“Dasar, manusia berisik semua,” gumam Raline, yang hanya bisa didengar oleh angin lalu. Ia memilih untuk tidak menghiraukan mereka di sini. Ia menganggap jiwanya terbang sekarang, menghilang dari sana, sehingga tidak bisa dilihat oleh orang lain. Iya, ia harap, ia tidak pernah ada di dunia ini.

Langkahnya terhenti, saat melihat subjek yang sangat ia rindukan.

Seorang lanang yang beberapa hari ini tidak bertukar sapa dengannya. Namun anehnya, hari ini lanang tersebut menghampiri tubuhnya yang berdiri kaku. Tersenyum hangat, seakan menemukan harta karun yang ia damba.

“Apa kabar, Raline?” tanya lanang itu.

Raline mengulum bibirnya sejenak. Pipinya terasa panas sekali. Gawat, pasti wajahnya sudah merah padam. “B-baik, Hir. Kamu sendiri apa kabar?”

“Baik. Selalu baik.”

Raline tersenyum senang saat mendengar ucapan Hiraeth. Mereka berjalan beriringan, menyusuri area sekolah yang semakin padat. Tatapan nyalang dan benci sangat kentara di wajah siswa-siswi. Raline dan Hiraeth, tajuk 'mean couples' masih belum lepas dari keduanya.

“Lo kenapa berubah, Hir?”

Pertanyaan Raline barusan mengundang tawa Hiraeth. Pria itu merangkul Raline, tersenyum seraya mengucapkan suatu paragraf. “Gue nggak pernah marah sama lo. Maaf ya, kemarin-kemarin gue terlalu emosi,” katanya.

Wajah cantik Raline dihiasi oleh senyum lega. Bagus kalau begitu, kan? Raline sungguh belum bisa melepaskan Hiraeth.

“Ra?”

Raline menengok ke arah Hiraeth. Tatapan matanya melebar, meminta Hiraeth untuk menjelaskan apa yang ia mau.

“Mau ke dufan? Kita beli gelato dan naik carousel. Buat ngerayain hari ulang tahun lo.”

Tentu saja Raline buru-buru mengangguk. Rambutnya loncat-loncat, mengikuti ritme anggukannya.

“Mau dong, hehe. Terimakasih, ya. Maaf ngerepotin.”

Interaksi manis, yang cukup menghantar seseorang pada perasaan sendu. Dari jauh, Aster menatap keduanya naas. Melihat Raline begitu bahagia jika bersanding dengan Hiraeth. Tertawa tanpa beban, seakan hidupnya sangat bahagia.

“Pantes Raline mau aja dibodohin sama lo, Hir.” Aster menggeleng pasrah. Jika disandingkan dengan Hiraeth, dirinya bagaikan batu kerikil. Hiraeth adalah berlian mengkilap, yang mampu merampas atensi Raline sepenuhnya. Sampai habis, tak tersisa. Kalaupun ada sisanya, Aster yang akan dapat sisaan tersebut. Crisping up on your backburner.

If i lost my serendipity [JANGKKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang