16. Hokey pokey

82 16 3
                                    

***

“Raline, mau beli cotton candy?”

Raline yang semula memfokuskan diri pada ponsel, langsung mengalihkan atensinya kala Emilia memanggil. Wajah Raline langsung sumringah, matanya berbinar cerah, kepalanya mengangguk sebagai jawaban. Cotton candy, hal yang paling ia sukai di dunia yang kejam ini.


Dulu, saat ia berusia tiga belas tahun, Hiraeth memberikannya permen manis itu sebagai hadiah ulang tahun.

Ah, pria itu lagi.

“Mau rasa apa?” tanya Emilia. Gadis itu melihat menu dengan saksama, banyak nama-nama rasa yang masih asing untuknya. Emilia mengernyit bingung, “Raline, emang ada ya rasa hokey pokey?” tanyanya, sembari menunjuk rasa yang dimaksud.

Raline menggeleng heran, “Nggak tahu deh, asing banget namanya.”

Aneh sekali, hokey pokey.

Mereka berdua mendengar suara tertawa lirih. Lantas, mereka menengok ke sumber suara secara serempak, dan mendapati penjual cotton candy yang mentertawakan mereka.

Sang penjual yang dipergoki sedang mentertawakan rajanya (pelanggan), langsung membungkam mulutnya kaget, “Maaf.” Penjual itu membungkukkan badannya sebagai tanda permintaan maaf. Agaknya takut, pelanggannya tidak jadi membeli dagangannya.

Raline dan Emilia saling bertatapan. Kemudian, kedua gadis itu tertawa serempak.

“Aduh, santai aja, Mbak.” Raline menerbitkan senyumnya, meyakinkan sang penjual bahwa ia tidak tersinggung. Gadis itu merogoh sakunya, lantas memberikan uang kepada sang penjual, “Nih, Mba. Beli rasa hokey pokey dua. Tapi, Mba harus jelasin apa itu hokey pokey,” ujar Raline, dihiasi dengan seringai di wajah.

Penjual itu menangguk. Tangannya langsung bergerak lihai, menuangkan bubuk perasa pada mesin pembuat cotton candy, “Jadi, hokey pokey itu salah-satu rasa ice cream dari Selandia Baru.”

Gagang cotton candy ia gerakkan mengelilingi mesin itu. Sehingga untaian kapas mulai terbentuk. “Rasanya tuh rasa vanila, cuman, ada sesuatu yang membedakan.”

Untaian kapas terlihat semakin membesar. Emilia meneguk ludahnya kasar, tidak sabar untuk menyantap cotton candy itu.

“Jadi, vanila itu ditaburin sama toffee gumpalan sarang lebah. Rasanya enak, madu campur vanila!”

“SARANG LEBAH!?”

Raline dan sang penjual terlonjak kaget saat mendengar teriakkan Emilia yang kelewat kencang. Emilia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, “Maaf, aku kaget. Tapi, masa kita makan sarang lebah!?” Matanya melotot seram, sesekali bergidik ngeri membayangkan sarang lebah memasuki mulutnya.

“Kalau lebahnya eek di sana gimana?”

Raline melotot seram, refleks menutup mulut Emilia yang tidak bisa dikontrol, “Duh, maaf, Mba. Temen saya emang asbun, asal bunyi.”

Sang penjual tergelak puas. Bahkan, tangannya sampai gemetar. Jadinya penjual itu duduk sebentar untuk meredakan tawanya.

“Gakpapa, banyak juga kok pelanggan saya yang shock pas denger hokey pokey,” katanya, sambil menggelengkan kepala tak habis pikir. Sesekali, ia masih terkikik geli mengingat perbincangan mereka beberapa saat lalu.

If i lost my serendipity [JANGKKU]Where stories live. Discover now