15. Playdate

70 12 2
                                    

***

Sebenarnya, kepala Raline sudah terlampau pening. Tadi, ia diguyur air hujan (yang kemungkinan besarnya memiliki zat asam) selama berjam-jam. Jangan lupa, Raline sendiri mempunyai peradangan otak yang dapat kambuh kapan saja. Ditambah, sekarang mentari tengah memancarkan pelitanya kelewat terik. Membuat pening di kepala Raline menggila.

Raline ingin sekali segera memasuki apartemen. Merebahkan kepalanya pada ranjang yang empuk. Namun, sekarang, kedua orangtuanya sedang berada di apartemen. Jadinya, niat itu Raline kubur dalam-dalam.

Sekarang, gadis itu hanya duduk lesu pada kursi di terminal. Tiap kali busway datang, beberapa orang yang ada di sana menitahkannya untuk naik. Namun, Raline hanya menggeleng dan berkata, jika dirinya hanya ingin santai-santai pada kursi terminal.

Lantaran, ia terlalu takut untuk pulang ke rumah.

Di saat, seharusnya ia sudah pulang. Beristirahat, meredakan nyeri pada kepalanya agar tak memburuk. Namun, jika ia pulang sekarang, kedua orangtuanya pasti akan mencercanya habis-habisan. Alhasil, penyakitnya semakin parah.

“Gue harus ke mana lagi....” ucapnya lirih, disusul dengan dengusan gusar.

Raline kembali diam, menatap aspal yang dilindas kendaraan secara sembrono.

Jika diibaratkan, dirinya senasib dengan aspal itu. Sama-sama tidak dipedulikan, sama-sama dilindas sesuka hati oleh yang lebih berkuasa, sama-sama dirusak.

Raline menggeleng setelahnya. Tidak, nasibnya tidak seburuk itu juga. Ia yakin, suatu saat, kebahagiaan akan menghampirinya secara bergiliran.

“Tapi, kapan?”

Tanyanya, kepada dirinya sendiri.

Hening, ia kembali diam dengan segala pemikiran konyol dalam otaknya. Helaan napas terus terdengar, ingin memberitahu semesta bahwa dirinya kelewat lelah. Sangat lelah, sungguh, mengapa tak ada yang percaya dengan rasa lelahnya?

Obisidannya tiba-tiba menangkap seorang lelaki berdiri tepat di depannya. Lelaki itu menggerutu, mencaci busway yang lama datang. Dari suaranya, postur tubuhnya, aromanya, Raline tahu betul siapa lelaki itu. Meskipun, ia belum melihat wajahnya, hanya sekadar memperhatikannya dari belakang.

Ia kenal dengan lelaki itu.

“A-aster?”

Yang dipanggil langsung menoleh ke belakang. Setelah tahu siapa yang memanggilnya, Aster kembali membawa pandangannya ke depan. Bersikap acuh tak acuh.

“Aster, lo mau ke mana?”

Hening, Aster enggan menjawab.

“Aster ... Boleh temenin gue ke mini market sebentar?”

Hening lagi.

Aster meremat ujung jaketnya dengan kuat. Ia enggan berbalik badan, atau bahkan menjawab segala pertanyaan Raline barusan. Dirinya terlanjur kecewa, mengapa Raline tega melakukan hal yang ceroboh? Melakukan tindak kriminal? Ditambah, Laluna dan Kaleesha selalu berkata bahwa Raline bukanlah wanita baik-baik. Awalnya, Aster dengan mudah menyanggah segala tuduhan itu. Namun sekarang, ia percaya.

If i lost my serendipity [JANGKKU]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora