15. Kecewa

16 3 0
                                    

Hai semua selamat membaca.

Keadaan steam hari ini cukup ramai. Sejak pukul 11 siang, waktu di mana steam baru dibuka dan sampai pukul 3 sore, Pandu belum istirahat. Nasi bungkus jatah makan siang dari Om Kumis belum dia sentuh. Ini bukan salah Om Kumis yang tidak memberikan waktu istirahat untuk anak buahnya. Tidak. Tapi ini keinginan Pandu sendiri karena ia ingin mencapai target kerjanya.

Dua puluh motor dalam sehari maka ia akan mendapat uang seratus ribu dari Om Kumis. Tentu saja ini bukan termasuk gaji. Uang itu bisa untuk tambahan membayar hutang sepuluh juta ke Pak Indra.

Dan alasan lain Pandu belum istirahat karena ia tidak nafsu makan. Padahal perutnya sudah minta diisi tapi rasanya begitu malas untuk sekedar membuka bungkus nasi.

“Makan dulu, Pan! Nanti nasinya basi!” ucap Om Kumis yang sedang menghitung uang penghasilan hari ini.

“Bersihin motor ini dulu, Om,” jawab Pandu pelan. Jarinya memegang kuas kecil untuk membersihkan sela-sela motor.

“Udah sini gue aja yang lanjutin.” Bang Aryo— sesama karyawan di steam Om Kumis berdiri di sampingnya.

“Nggak usah, Bang, tanggung.”

“Eh lo belum makan dari tadi, anjir! Makan dulu gih. Muka lo udah pucat!” ucap Aryo sambil mencoba menjauhkan tangan Pandu dari motor.

“Apaan sih, Bang!” Pandu menepis tangan Aryo tapi Aryo berusaha menjauhkan tangan Pandu dari motor. Pandu mendadak emosi dan menepis tangan Aryo lebih kencang tapi keseimbangannya malah hilang sehingga dirinya jatuh terduduk.

“Kok jadi ribut?! Pandu, istirahat dulu nggak?!” Om Kumis memarahinya. Biar bagaimanapun Pandu adalah keponakannya jadi ia tidak ingin disalahkan oleh adiknya jika terjadi apa-apa pada Pandu.

Pandu membanting kuas di tangannya ke lantai yang basah. Kemudian berdiri dan duduk di sofa kayu tempat istirahat. Tangannya mengusap wajah kasar. Hari ini benar-benar hari yang buruk.

Pandu mengambil plastik hitam berisi nasi bungkus di paku tembok. Mengeluarkan nasi bungkus tersebut, karet yang mengikat ia lepaskan. Harusnya nasi, ayam, mie, dan sambal itu tampak menggugah selera tapi kenyataannya ia masih malas untuk memakannya.

“Kenapa sih, Pan?” Om Kumis duduk di sebelahnya. “Ada masalah apa? Coba cerita ke Om.”

Pandu mengambil suapan pertama. “Nggak ada.” Mengunyahnya tanpa nafsu.

“Kamu ini kalau ada masalah itu kelihatan banget, Pan. Nggak usah bohong sama Om.”

Pandu melirik laki-laki berkumis tebal tersebut. “Beneran nggak ada.” Bohong.

Kunyahan pertama ditelan dengan paksa. Susah. Seperti kenyataan pahit ikut serta di dalamnya.

“Omong-omong, tadi Om nggak sengaja liat ibu kamu pergi sama Pak Eko. Ada urusan apa, Pan?”

“Hah? Kapan Om?”

“Barusan. Lima menit sebelum kamu ke sini Om liat mereka keluar gang naik motor.”

Suapan kedua ia ambil dengan porsi lebih sedikit. Rasa makanannya lebih hambar.

“Kamu juga tahu kan kalau kita ini orang miskin? Jadi nggak usah macam-macam...”

Padahal Ibu juga macam-macam.

Tepukan pelan Om Kumis berikan di pundak Pandu. “Cerita aja, gapapa.” Pandu itu sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. Cerita apa pun sudah ia dapatkan dari anak itu karena Pandu suka berbagi cerita dengannya. Dan sekarang dirinya tahu kalau keponakannya ini sedang ada masalah jadi ia ingin Pandu mencurahkan isi hatinya barangkali ia bisa membantu.

OMONG KOSONG KITA (Sistem Sekolah yang Rusak)Where stories live. Discover now