HARI KE LIMA

133 17 5
                                    

Sunday mornings were your favorite
I used to meet you down on Woods Creek Road
You did your hair up like you were famous
Even though it's only church where we were goin'

Alunan musik mengalun indah seolah menyatu dengan alam, seorang gadis dengan pakaian putih kini tengah menarik panjang napas nya, hatinya begitu sesak saat pertama kali menginjak kan kaki di tempat ini. Dada nya terasanyeri saat ia harus kembali mendatangi pemakaman umum tempat di mana tubuh ayah nya terbaring kaku di dalam tanah ibu pertiwi.

Zuji menghela napas nya panjang, lantas semakin mengeraskan volume musik dengan sebuah earphone berwarna putih yang masih setia melekat di telinga nya.

Dapat ia rasakan suasana sendu kelabu, di tempat peristirahatan terakhir ayahnya, suara tangis orang-orang di sekeliling nya terdengar samar-samar teredam oleh suara musik yang begitu memekakkan telinganya.

Now, Sunday mornings, I just sleep in
It's like I buried my faith with you
I'm screamin' at a God I don't know if I believe in
'Cause I don't know what else I can do

Lirik lagu yang seolah mendukung kegalauan nya saat ini membuat Zuji semakin termakan suasana pemakaman, di setiap langkah dia dapat melihat orang-orang yang tengah menangis, merintih, bahkan meraung di depan nisan.

Zuji meletakkan buket bunga Krisan yang di belinya di atas sebuah makam yang terlihat masih basah. Bahkan kelopak-kelopak bunga yang ia taburi saat pemakaman masih menyisakan bekas, walau tidak banyak tapi cukup memberi warna.

"Ayah, kangen Aku enggak? soalnya Aku selalu kangen Ayah."

Pedih di hati nya semakin menjalar, entah mengapa serangkaian kata itu dapat membuat nya teringat kembali pada kejadian beberapa hari lalu dimana ia baru merasakan pahit asin nya kehidupan tanpa sang Ayah.

"Cengeng banget," gumam Zuji lantas menghapus jejak air mata di wajah nya. Dengan segera gadis itu berbalik berjalan cepat meninggalkan tempat tersebut, rasanya tidak sanggup jika ia berada di sana terlalu lama.

Kaki gadis itu melangkah cepat mengantar nya tepat di depan gapura, seorang pria dengan setelan rapi memandang nya dengan tatapan heran, lalu melirik jam tangan nya sekilas sebelum akhirnya kembali menatap Zuji yang masih setia berdiri di depan gapura.

"Sudah?" Tanya Dante dengan sebelah alis terangkat, pria itu menatap Zuji yang kini tengah menatap nya dalam diam, entah apa yang di pikirkan gadis itu. Dante berjalan mendekat, lalu tangan nya terangkat di udara melambai pelan di depan wajah Zuji seolah mencoba mengembalikan kesadaran gadis itu dari lamunan nya.

Musik yang masih mengalun keras di telinga nya, membuat Zuji tidak dapat mendengar dengan jelas setiap pertanyaan yang di lontarkan padanya.

I'm still holdin' on to everything that's dead and gone
I don't wanna say goodbye, 'cause this one means forever
And now you're in the stars and six-feet's never felt so far
Here I am alone between the heavens and the embers

"Are you okay?!" 

Tanya Dante, pria itu buru-buru merogoh sakunya lalu menyodorkan saputangan putih miliknya. Terlihat begitu terkejut saat melihat cairan bening itu menetes keluar membasahi pipi mulus milik Zuji.

"Terimakasih," ucap Zuji lantas melap kasar wajah nya menggunakan sarung tangan, suaranya bergetar dengan napas tidak beraturan, di susul isak tangis yang semakin kencang, membuat Dante tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Pria itu terdiam menatap wajah Zuji yang mulai memerah karna menangis.

Srottt
srotttt

Zuji menarik ingus nya dengan keras membuat Dante tersentak, lantas menggembung kan kedua pipinya menahan gelak tawa yang hendak keluar dari mulutnya. Entah bagaimana mengatakan nya, bukan kah sangat kejam jika Dante bilang saat ini gadis itu terlihat lucu dengan mata bengkak, dan hidung merah?

DANTE [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang